dua puluh lima : Peron

1.1K 125 28
                                    

Tara baru saja sampai di Serafin Beauty saat Edo dan Silvia keluar dari ruang Staff dengan membawa masing-masing paperbag berwarna serupa. "Ada apa, nih?" tanyanya.

"Sarah bagi-bagi rezeki. Abis sakit dapet hidayah doi," jelas Edo sembari mengangkat paperbagnya.

Tatapan Tara beralih pada Silvia yang kini tersenyum lebar. "Serius?"

Silvia mengangguk. "Iya, Mbak. Bu Sarah beliin kita-kita berlian."

Wanita itu menggeleng pelan mendapat jawaban ngawur dari kedua rekan kerjanya. Tara memutuskan untuk menaiki anak tangga ke ruang staff tanpa memedulikan Edo dan Silvia yang kini terkekeh geli.

Di ruang staff, Dewi, Wina, bahkan Meri berhamburan keluar dari ruangan Sarah dengan senyum lebar.

"Pada kenapa, sih? Mbak Sarah beneran bagi-bagi berlian?" tanyanya pada Meri yang mulai duduk di mejanya.

Sontak saja wanita berusia empat puluhan itu tergelak. "Sarah beliin anak kantor parfum Dior. Wanginya sesuai sama karakter kita. Gih, masuk," ujarnya.

Tara akhirnya bergilir memasuki ruangan bosnya. "Pagi, Mbak," sapanya dengan senyum tipis.

Tanpa banyak basa-basi, Sarah memberikan paperbag padanya. "Khusus designer yang sukses narik para konglomerat ngelirik Serafin Beauty," katanya.

Wanita itu menerimanya sembari tertawa pelan. Tara baru mendapati kabar semalam kalau Nilam merekomendasikan butik Sarah pada teman-teman sosialitanya dan tentu itu semua ladang uang bagi kami. "Makasih, mbak."

Sarah mengangguk. "Pastikan hari ini lo longgar banget buat ketemu klien kita."

"Siap, Mbak. Gue ke ruangan dulu." Setelah mendapat persetujuan Sarah, ia pun keluar dari sana dan memasuki ruangannya bersama asistennya, Amiya.

Dan benar saja, hingga waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, ia baru bisa bernapas lega. Beberapa klien rekomendasi Nilam, juga anak pejabat yang akan melangsungkan pernikahannya dalam waktu dekat. Matanya perih karena menatap layar tablet sejak tadi guna merevisi desain gaun yang sesuai keinginan klien.

Ia menatap sekotak bento yang tadi sempat dibelinya, mungkin hanya beberapa sendok yang masuk ke dalam mulutnya dan kini perutnya terasa mual. Tara segera membuka laci meja kerjanya dan mulai meminum obatnya. Padahal ia sudah memulai tekad untuk makan teratur seperti ucapan Vian.

Ngomong-ngomong soal Vian, pria itu meminta waktunya hari minggu nanti untuk membeli bunga baru yang akan menempati rak-rak mahal milik Nilam di kebun bunga keluarga mereka. Tara tidak sabar menanti hari itu karena ini kali pertama ia akan mengunjungi florist.

"Mbak Tar?" panggil Silvia. "Hpnya bunyi terus." Ia menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja tak jauh dari jangkauannya.

Tara mendapati nama sang ibu yang tertera di layar ponselnya. "Halo, Bu? Kenapa?"

"Dek, ini ada paket buat kamu, atas nama Seila Dara Dirgantara."

"Seila Dara?" Dahinya berkerut dalam mendengar nama itu.

"Iya. Dirgantara bukannya keluarga Raka ya?"

Wanita itu menghela napas kasar. "Isinya apa, Bu?"

"Gaun." Suara Eva terdengar bingung. "Buat apa?"

"Makasih, Bu, nanti Tara kabarin lagi, ya." Setelah sambungan telepon terputus, Tara memeriksa DM Instagramnya.

Seiladara : I hope you join my party tonight.

"Sabtu malam, ya," gumamnya. Tara kembali melihat jam, masih ada waktu untuk ia bersiap pulang ke Bogor.

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang