51 | Hold Me Tight

3.8K 240 21
                                    

Denis duduk di kursi tunggu dengan perasaan serta penampilan kacau. Kepalanya tertunduk, menatap kosong lantai rumah sakit. Wajahnya memerah dan kedua tangannya terkepal erat. Rahangnya mengeras dengan amarah yang mendesak untuk diluapkan.

"Argh!"

Pada akhirnya Denis tidak bisa menahan amarahnya. Tangannya yang terkepal memukul lantai rumah sakit membuat beberapa orang yang berlalu lalang menatapnya terkejut. Papa Diana yang duduk tidak jauh darinya langsung menghentikan kebrutalannya yang memukul lantai rumah sakit penuh emosi. Tangannya memerah dan mulai mengeluarkan darah tetapi dirinya seolah mati rasa, tidak merasakan apa-apa.

"Jangan seperti ini. Doakan saja agar Diana dan calon anak kalian baik-baik saja," meski sama kalutnya, Papa Diana memberikan Denis kalimat penenang karena jika Denis menuruti amarahnya, tentu saja akan sangat mengganggu pihak medis yang di dalam sana tengah menangani sang putri.

Jika ditanya apakah dirinya marah. Tentu saja marah. Ayah mana yang tidak marah saat mengetahui putrinya terjatuh dalam keadaan hamil. Apalagi yang melakukan itu suami putrinya sendiri.

Ingin marah dan memberikan pukulan pada lelaki yang menyandang status sebagai suami putrinya itu tetapi dia berpikir normal, lebih baik diam dan jangan membuat keributan. Memendam kemarahannya yang ingin meledak demi sang putri. Di dalam sana---di ruang perawatan beberapa pihak medis memberikan penanganan terbaik bagi putrinya. Harapannya tentu saja menginginkan yang terbaik bagi putrinya. Bukan hanya untuk putrinya, juga pada sang calon cucu.

"Tidak ada gunanya kamu marah karena itu tidak bisa mengembalikan keadaan."

Papa Diana menepuk bahu Denis yang mulai tenang. Tatapannya mengarah pada pintu ruang rawat yang masih tertutup, menghantarkan ketakutan. Takut jika semuanya jauh dari harapannya.

"Semua salahku. Anakku ...."

Gumaman Denis membuat Papa Diana nyaris kehilangan kontrol diri untuk memukul Denis. Denis seolah hanya memikirkan calon anaknya, bukan pada putrinya yang kesakitan. Teringat jelas raut kesakitan sang putri saat Denis menggendongnya dari kamar. Hatinya turut sakit melihat sang putri kesakitan.

Apa mau dibuat. Semua sudah terjadi. Menyesal pun, tak ada artinya.

Jika menyesal bisa melegakan, mungkin dia akan terus menyesal karena telah memberikan kepercayaan kepada Denis. Berpikir jika Denis semulia itu. Nyatanya Denis adalah musuh dalam selimut sesungguhnya.

"Anak kalian pasti baik-baik saja selagi Ibunya kuat," nada getir terdengar jelas. Papa Diana menatap Denis yang menunduk dengan tatapan sedihnya. Sedih karena Denis memperlakukan putrinya tanpa perasaan.

Apakah ini sifat Denis yang sesungguhnya? Lelaki yang dulu sempat meminta restu padanya untuk menikahi putrinya dan mengaku sangat mencintai putrinya.

Cinta. Apa Denis masih mencintai putrinya setelah apa yang terjadi selama ini?

"Bagaimana dengan anak saya, dok?"

Lamunan Papa Diana buyar saat mendengar suara parau Denis.

Tertegun, Papa Diana menatap Denis dengan tatapan sulit diartikan. Tubuh ringkihnya mendekati Denis yang berdiri di depan dokter, mendengar baik-baik informasi yang disampaikan dokter. Nyatanya, Papa Diana sama sekali tidak mendengar apa yang dokter sampaikan. Pikirannya justru berkelana, memikirkan jalan pikiran Denis yang sulit dimengerti.

Denis lebih mengkhawatirkan calon anaknya daripada putrinya.

Malang sekali nasib putrinya. Papa Diana tertunduk, menatap lantai rumah sakit dengan pedih. Masih tidak menyangka jika nasib putrinya akan seperti ini. Andai ... ah, bukan saatnya berandai-andai karena mau sebanyak apapun berandai-andai, semua telah berlalu. Kenyataannya memang sudah begini.

Hold Me TightWhere stories live. Discover now