40 | Hold Me Tight

5K 318 26
                                    

Denis melempar semua barang di ruang kerjanya dengan pikiran kacau. Setelah mengusir paksa Vanya dari ruang kerjanya, pikiran Denis tidak menentu dan kedua kakinya seperti tidak memiliki pijakan. Tubuhnya lemas dan emosinya tidak stabil.

Meski Vanya tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Denis merasa tidak ingin mendengar semua yang Vanya katakan. Denis terlalu kacau sehingga mengusir Vanya tanpa mengetahui kenyataannya. Rahangnya mengeras dan dengan sisa-sisa kekuatannya Denis meraih ponselnya, menghubungi bawahannya untuk menambah pasukan mencari keberadaan Diana.

Mengesampingkan soal Vanya, Denis harus menemukan Diana. Sudah cukup dia memberi Diana kebebasan, sudah saatnya Diana kembali padanya dan memberikan hukuman setimpal karena berani pergi darinya.

Setelah panggilan terputus, Denis melempar asal ponselnya. Merebahkan kepalanya di meja kerja dan perlahan matanya terpejam. Denis tidak tertidur, dia hanya memejamkan mata dengan pikiran kemana-mana. Semuanya rumit, bukannya menjadi ringan setelah segala usaha yang dilakukannya, justru semakin rumit dan Diana semakin menambah kerumitannya!

Kenapa perempuan itu tidak bisa bertahan? Apa susahnya berada di sampingnya?!

Argh

Denis menggebrak mejanya dan mengacak kasar rambutnya disusul dengan cairan merah mewarnai tangannya. Ah, dia lupa jika tadi dia mencabut infusnya dan membiarkan lukanya terbuka, ditambah dengan gebrakannya pada meja membuat darah kian merembes dari punggung tangannya.

Sialan!

Mengabaikan sakitnya, Denis beranjak mendekati jendela dan memandang jauh ke luar sana. Pikirannya menerawang namun rahangnya kembali mengeras. Dia pernah mengalami situasi rumit dalam hidupnya tetapi dia tidak menyangka jika dia kembali mengalami kerumitan, jauh lebih rumit hingga rasanya ingin membunuh orang-orang yang menyumbang kerumitan dalam hidupnya, termasuk Diana.

Apa dia mampu membunuh Diana? Ah tidak, lebih tepatnya membunuh Diana yang mengandung anaknya? Anaknya belum lahir, setidaknya dia harus sabar membunuh Diana hingga anaknya lahir. Tapi, ke mana perginya si sialan itu?!

Brak

Kini tembok menjadi sasaran emosinya. Emosinya tidak stabil dan setiap emosinya terpancing, selalu wajah Diana yang terbayangkan.

Ketika hendak kembali memukul tembok, ketukan yang berasal dari pintu ruang kerjanya membuat Denis terdiam. Teriakan putrinya yang memanggilnya membuatnya mengusap kasar wajahnya dan sesegera mungkin membersihkan darahnya sembarangan asalkan di tangannya tidak ada noda darah yang nantinya akan membuat putrinya sedih.

Setelah tangannya bersih, meski tak benar-benar bersih karena bau darah masih tercium, Denis merapikan penampilannya kemudian membuka pintu, dan disambut raut sedih putrinya.

"Anak cantik kenapa menangis, hm?" Denis menekuk lututnya di hadapan putrinya dan mengusap air mata putrinya.

"Mama mana, Pa? Chika gak bisa tidur kalo gak ada Mama."

Diana lagi.

"Kan, Papa sudah bilang kalau Mama lagi ada urusan di luar. Chika bisa kan, tunggu urusan Mama selesai?"

"Urusan Mama lama? Urusan Mama sepenting apa sampai ninggalin Chika?"

"Tidak, Sayang. Sebentar lagi Mama pulang. Chika tunggu ya. Kalau Chika cengeng, nanti Mama gak mau pulang. Chika sama Papa dulu ya?"

Putriny itu mengangguk dan berhambur ke pelukannya membuat Denis tersenyum lebar mengusap rambut putrinya sayang. Namun itu tidak bertahan lama ketika mendengar dering ponselnya yang dia letakkan di meja kerjanya.

"Chika ke kamar, nanti Papa susul. Papa mau angkat telfon dulu."

Tanpa diperintah dua kali, putrinya itu bergegas menuju kamar dan Denis bergegas mengangkat panggilan masuk dengan terburu-buru, tidak sabar menantikan informasi yang akan disampaikan oleh bawahannya.

Hold Me TightWhere stories live. Discover now