Bab 60

120K 4.3K 292
                                    

3 bulan kemudian..

Sang surya mulai menampakkan diri di ufuk timur. Semburat kuning kemerah-merahan mulai menggeser posisi gelap yang bertahta di langit. Jingga begitu menakjubkan, terasa sejuk sekaligus menenangkan. Hembusan udara dingin juga aroma khas embun pagi mengawali kisah baru hari ini.

"Kevin, bangun!"

Suara gedoran pintu diikuti teriakan melengking menggema di seluruh penjuru rumah. Seorang wanita paruh baya dengan daster motif macan tutul yang terlihat kebesaran, tengah menatap garang pintu kayu bercat putih yang tak kunjung terbuka. Terhitung sudah lebih dari tiga puluh menit, Mia berdiri di depan kamar putra bungsunya.

Masih dengan mata terpejam, tangan Kevin meraba sisi ranjang, mencari-cari keberadaan bantal guling. Begitu tangannya menyentuh sesuatu yang dicarinya, Kevin menariknya cepat kemudian meletakkannya di atas kepala.
Suara berisik di balik pintu kamar membuat pria itu semakin kuat menekan bantal tersebut.

"Kevin!! Masih nggak mau bangun?!"

Suara melengking itu kembali terdengar, Kevin mendesah lelah. Pintu kamar digedor kian brutal membuat ia terpaksa membuka kedua kelopak matanya, melempar asal bantal lalu menyibak selimut.

Setelah hari ini, tolong ingatkan Kevin untuk meminta Papanya mengundang Pak Tarno, menyuruh pesulap itu agar menyulap kamarnya menjadi kedap suara.

"Mama hitung sampai sejuta, ya! Kalau pintu ini masih belum dibuka, jangan salahkan Mama kalau warisan Papa beralih hak milik!"

Kevin berjalan gontai menuju pintu. Mengucek mata untuk memperjelas pandangan, beberapa kali mulutnya menguap hingga matanya berair.

"Dimana-mana itu kalau ngitung cuma sampai tiga, Ma. Lagian Mama ganggu mimpi Kevin aja, nggak sopan," ujar Kevin pelan setelah membuka pintu.

Mia memutar bola mata malas. "Cuma sejuta ini, jangan kaya orang susah. Mama disini mau nagih janji.." Mia menjeda beberapa detik. "Nggak sopan, nggak sopan matamu! Biarin Mama berdiri kaya satpam di depan pintu, itu namanya sopan apa enggak?"

"Nagih janji? Udah kaya Merapi aja.. Miapi nagih janji," Kevin terkekeh pelan, mencoba mengalihkan pembicaraan tentang kesopanan. Tapi, apa benar ia menjanjikan sesuatu pada macan tutul di depannya ini?

Wanita paruh baya itu memicingkan mata saat melihat ekspresi bingung yang dibuat-buat. Seraya berkacak pinggang Mia berkata, "Perasaan baru semalam Mama ingatin kamu tentang janji itu.. Mama jadi curiga, jangan-jangan kamu pura-pura lupa? Iri 'kan kamu sama Melvin? Ngaku aja.." tuduhannya.

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Kevin mencoba memberanikan diri menatap mata Mamanya yang seperti akan segera loncat dari tempatnya.

"Oh, jadi ini tentang kak Melvin.." Kevin mengangguk kaku. "Tapi, nggak pagi buta juga, Ma. Mama tolong dong, yang normal sedikit," pintanya memelas. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar, ia selalu di anak tirikan, dijadikan tumbal oleh Mamanya.

Nasib anak bungsu, sana-sini di jadikan babu.. nggak Mamanya nggak kakaknya, masalah perintah memerintah mereka selalu yang tercepat.

"Jadi, maksud kamu Mama kamu ini nggak normal? Begitu? Dasar anak nggak tau diri!" Mia semakin melototkan mata galak, sedikit tersinggung dengan ucapan putranya.

"Mama ini makin tua bukannya makin kalem malah--"

"Terus.. terusin aja jelek-jelekin Mama," potong Mia cepat. "Belum pernah dikutuk jadi ayam cemani, sih. Kamu mau coba?" tanya wanita paruh baya itu tersenyum manis. Namun terlihat menyeramkan di mata Kevin, tanpa sadar dia bergidik ngeri, bulu kuduknya pun berdiri.

Dua Garis Merah | DEOLINDA [Completed]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें