Beginilah - 13

85 5 0
                                    

Aliya tengah menyetrika mukena putih yang memiliki sulaman bunga-bunga cantik berwarna putih. Sebab, mukenanya yang dipakai salat Magrib tadi, tidak sengaja terkena kotoran kucing yang terpajang di depan teras asrama putri. Aliya yang jalan lebih dulu dan terkena ranjau itu, menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak terkena ranjau yang sama. Pun lekas menyingkirkan kotoran kucing itu ke tempat sampah.

"Al, mau ditungguin?" tanya Sabila yang baru selesai mengambil wudu.

"Mau duluan juga gak pa-pa kok, soalnya ini masih lama juga," jawab Aliya sembari memaju-mundurkan setrikanya.

"Oke, Al. Ditunggu di masjid, ya."

"Siap."

Di kamar nomor dua itu, semua orang sudah berangkat ke masjid, menunggu azan Isya berkumandang. Kecuali, Aliya yang tengah menyetrika dan Rahma yang tengah rebahan di atas punggung ranjangnya.

Suasananya hening. Aliya merasa canggung untuk mengajak Rahma berbincang. Apalagi, setelah Aliya mendengar gerutu Rahma dan raut wajahnya yang skeptis, ia semakin canggung berada di dekatnya.

Setelah Aliya selesai merapikan mukenanya, ia pun menaruhnya di atas ranjang.

"Heh."

Aliya menoleh ke arah Rahma, yang kebetulan tempat tidurnya terletak di tingkat keduanya atau di atas tempat tidurnya. Aliya lantas mengerutkan dahinya, tak mengucap tanya.

"Pindah dong lo. Lo yang di atas, gue di bawah."

"Abis salat Isya, ya, pindahnya. Aku mau ambil wudu."

"Gue duluan ah yang wudu," cegah Rahma yang kemudian turun.

"Loh ...," lirih Aliya tak bisa cerewet.

Rahma pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi, melewati Aliya yang tengah berdiri dan menyenggol bahunya keras.

"Aw!" keluh Aliya sembari memegang bahunya yang sedikit sakit.

"Sorry, ya. Sengaja," ucap Rahma sembari tersenyum, ia terlihat tak merasa bersalah setelah melakukan itu, langsung masuk ke kamar mandi dan menutup rapat pintunya.

"Astagfirullah ... aku salah apa sampai dia cari gara-gara begitu?" gumam Aliya sembari mengusap dada.

Aliya pun memutuskan untuk mengambil wudu di toilet umum yang ada di dekat masjid, karena Rahma cukup lama berada di kamar mandi—yang di kamar. Setiap ditanya "Masih lama?", Rahma selalu melontarkan jawaban 'masih'. Entah mengapa, ia seolah sengaja menguji kesabaran Aliya.

Sembari menenteng mukena di lengannya, Aliya terus-menerus berujar istigfar. Sebagai manusia yang masih fakir ilmu, Aliya merasa emosinya mudah tersulut. Mungkin, karena selama 30 hari karantina tahfidz, teman sekamarnya tidak melakukan hal yang aneh-aneh, seperti halnya Rahma.

Usai berwudu di kamar mandi, Aliya pun berkaca terlebih dahulu, di kaca yang berada di wastafel depan. Kemudian, ia pun memakai atasan mukenanya dan merapikannya. Setelah itu, barulah ia membuka pintu kamar mandi dan keluar dari area kamar mandi akhwat.

"Eh, Aliya," sapa Alvin yang juga baru keluar dari area kamar mandi ikhwan, ruangan sebelah.

Aliya membalas senyuman ketika melihatnya. Laki-laki yang kemarin menyampaikan nasihat yang begitu memukau hatinya. Aliya hanya terpesona dengan kata-katanya, tidak dengan orangnya. Aliya yakin itu.

Tak lama azan pun berkumandang, dan mereka pun sama-sama pergi ke dalam masjid, lewat pintu yang berbeda.

Setelah salat Isya dan bersalam-salaman dengan teman-teman sekarantinanya dulu, Aliya dan Sabila pun jalan berdua. Dari arah masjid, mereka pun menuruni lima buah anak tangga dekat kantor dan berjalan di lorong yang sepi. Di sana, terdapat taman bermain untuk anak-anak RA, madrasah RA dan kantor pengajar RA, kolam ikan, saung, dan tentunya rumah Ustaz Malik dan Ustazah Syakira yang akrab disapa Abi dan Umi oleh orang-orang.

Sabila mau mengambil keripik pedas di rumahnya, yang lupa ia bawa saat pindahan tadi. Ya, meskipun ikut asrama dengan Aliya, Sabila bebas pulang-pergi rumahnya, karena memang berada dalam satu lingkungan Pesantren Ar-Rahiim. Pindah-pindah barang pun tidak pakai koper, tapi mengangkut barang dengan tangan saja, walaupun bola-balik.

Sampai di dapur, terlihat Umi tengah menyeduh matcha untuk ia nikmati. Mereka pun berbincang-bincang ringan sebelum akhirnya Umi pergi ke ruang keluarga untuk me time bersama matchanya itu.

Sabila tidak langsung mengambil kripik pedas dan pergi dari rumah, ia justru malah memanggang roti yang telah diberi selai dan tambahan isian lainnya. Aliya pun dipaksa Sabila untuk menerima jamuannya itu, tanpa boleh menolak. Walhasil, Aliya pun ikut membantu, daripada numpang makan saja.

"Btw, Bil, emang wajar ya ada orang yang nakal di pesantren?" tanya Aliya sembari mengoles selai cokelat ke atas roti.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, Sabila justru tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan tersebut.

"Lho, pertanyaanku salah, ya?" tanya Aliya yang merasa malu.

"Begini, Aliya Syakira, Cantikku." Sabila mengawali penjelasannya dengan memuji Aliya, sehingga Aliya pun jadi semakin tertarik untuk menyimaknya. "Kita tidak bisa mencap semua orang yang sekolah di sekolah umum itu nakal. Kita juga tidak bisa mencap semua orang yang sekolah di pesantren itu saleh-salehah. Karena pada kenyataannya, ada kok yang sekolah di umum justru akhlaknya mengagumkan seperti sekolah di pesantren, dan justru ada juga yang sekolah di pesantren, tapi kelakuannya, em aku gak mau nyebut seperti sekolah di umum, ya. Soalnya, akhlak seseorang yang tidak baik itu, di mana pun, seperti orang yang tidak belajar. Tidak bisa memahami intisari dari apa yang ia pelajari."

"Ooh ... jadi, di mana pun itu, pasti ada aja anak yang nakal, ya?" tanya Aliya.

"Benar, Aliya. Hidup gak semulus itu, di mana pun dan kapan pun, pasti akan kita jumpai ujian. Gak bisa diingkari itu."

Aliya manggut-manggut paham mendengar penjelasan Sabila.

"Kamu abis digangguin Rahma, ya?" Aliya membalas senyum mendapat pertanyaan itu dari Sabila. "Udah keliatan kok anaknya pasti begitu. Cari perhatian. Dan kasus begitu bukan pertama kalinya, Al."

"Oh, ya, di kamar Fatma pun ada yang trouble, Teh Sarah namanya, tadi dia cerita. Dia kelas 11, Al, suka ngomong bahasa kasar gitu dan kalau gak salah, tahun kemarin, denger dari Umi, Teh Sarah suka bolos, enggak setor hafalan," lanjut Sabila sembari membalikkan roti yang sedang ia panggang di teflon.

"Terus, di kamarnya Celine sama Queen, mereka cerita juga, ada Lisa yang sebelas-dua belas sama Rahma di kamar kita. Jadi, ya, intinya kita harus bisa sabar ngadepin yang kayak gitu. Kalau mereka kasar, jangan dibalas kasar lagi. Kita harus bisa jadi tetes demi tetes air yang bisa melawan kerasnya baru."

"Masyaallah ... baiklah, Bila. Makasih banget udah jelasin itu semua."

"Siap," balas Sabila sembari mengambil piring melamin berwarna krem dari rak. "Yuk, kita santap!"

"Oke!"

***

Bukan Pesantren Biasa✓On viuen les histories. Descobreix ara