Hukuman? - 31

85 5 0
                                    

"Mbok, apakah Ayah pernah menikah dengan Bu Farah?"

"Hah? Neng dapet kabar dari siapa?"

"Jawab pertanyaan Aliya, Mbok. Please ...," pinta Aliya yang sudah kepalang penasaran setelah Ghani memanggil 'Tuan Dinata' kepada Alvin.

Terdengar Inah seakan berat untuk menyampaikannya, helaan napasnya terembus panjang. "Nanti saja, ya."

"Sekarang aja, Mbok. Jangan bikin Aliya penasaran, nanti Aliya gak bisa tidur nyenyak lhoo. Lagian, Aliya berhak tau, kan, Mbok?"

"Baiklah, Neng. Begini ... dulu, Pak Surya menjodohkan Tuan yang padahal sudah memiliki pacar, yaitu Mamah Neng, Bu Vina, dengan perempuan bernama Farah, anak dari salah satu investor perusahaannya. Dulu, Mbok gak bekerja bersama Tuan Deni, tapi sama Pak Surya. Ya, yang Mbok tau, pernikahan mereka tidak berjalan baik. Tapi, suatu ketika ada perkembangan baik dalam hubungan mereka. Mereka terlihat romantis, Neng."

Mendengar hal tersebut, Aliya jadi mengherankan mengapa Bu Farah dan ayahnya bisa berpisah setelah ada perkembangan yang baik itu.

"Tapi ... keromantisan itu semu. Tuan tidak menjalankannya sepenuh hati, ia melakukan hal-hal romantis itu karena Pak Surya yang mendesaknya agar tidak bersikap buruk terus-terusan ke Bu Farah. Lama-kelamaan, Tuan muak dengan kepura-puraannya, diam-diam ia pun menikah dengan Bu Vina. Sebulan setelah pernikahan Tuan dengan Ibu, Tuan pun menceraikan Bu Farah yang baru saja periksa kandungan. Kandungan Bu Farah saat itu sudah dua bulan, Neng."

"Neng tau apa yang dilakukan Tuan setelahnya?"

"Apa, Mbok?" tanya Aliya yang sudah berkaca-kaca, karena setelah 15 tahun, Aliya baru mengetahui kisah ini.

"Tuan menceraikan Bu Farah dan tidak mau peduli pada anak yang dikandungnya."

...

Jam dinding telah menunjukkan pukul 00.10. Langit malam semakin pekat gelapnya. Udara dingin terasa semakin menusuk kulit. Suasana malam yang hening, membuat telinga mampu mendengar detak dari detik jam yang melaju. Hal tersebut, semakin menambah hawa-hawa ketegangan yang meliputi hati di tengahnya malam ini.

Perempuan itu duduk di sebuah kursi dan dihadapkan dengan keenam asatidz yang raut wajahnya tak bersahaja. Bagaikan penjahat yang telah tertawan, nuansa di malam ini, membuatnya merasa tengah menjalankan persidangan untuk menerima hukuman dan masa hukumannya pula.

Pembimbing asrama putri, Ustazah Rara, Ustazah Kaila, dan Ustazah Hana, tidak membiarkan Aliya tidur malam ini. Setelah menemukan surat itu, ia langsung membawa Aliya ke aula tertutup. Pun, mengundang pembimbing asrama putra, Ustaz Akmal dan Ustaz Jamal untuk ikut membahas kasus tersebut, karena bagaimana pun santri di asrama putra bernama Alvin, merupakan pelaku utama dalam kasus tersebut.

"Ketika ada yang menjenguk kalian, Ustazah memang izinkan kalian berdua pergi bersama. Tapi, Ustazah pesan jangan melewati batas, jangan macam-macam. Terus kenapa? Kenapa kalian tidak bisa jaga amanah?" marah Ustazah Rara.

"Saya benar-benar kecewa dengan kamu, Aliya," tambah Ustazah Kaila, musyrifah eskul tahfidznya.

Aliya hanya tertunduk di hadapan mereka. Ia merasa tak kuasa untuk berkata-kata.

"Apakah surat itu ada di bingkisan yang Ghani berikan?" tanya Ustaz Jamal, mengingat kejadian tadi siang.

Aliya diam, bibirnya terasa kelu untuk berucap.

"Jawab, Aliya!" pinta Ustazah Hana dengan nada rendah, tapi terkesan dingin dan tajam.

"Ya."

"Berarti, pelaku dalam kasus ini bukan hanya Aliya dan Alvin, tapi Ghani juga terlibat di sini," opini Ustaz Akmal.

"Sebaiknya kita panggil Ghani ke sini," saran Ustaz Jamal.

"Bukan cuma Ghani, Alpha juga. Selain itu, Sabila juga harus dibawa ke sini," timpal Ustazah Rara.

Aliya tidak tahu harus berbuat apa. Bukan hanya ia yang akan berada di sidang ini, ia juga menyeret Ghani, Alpha, dan Sabila ke ruangan tersebut. Aliya merasa sangat bersalah kepada mereka, jika bukan karena kelalainnya, kejadian ini tidak akan pernah terjadi.

"Jadi, kamu tahu soal surat itu, Ghani?" tanya Ustaz Jamal setelah ketiga orang yang tadi disebut hadir di aula.

"Iya, Ustaz," balas Ghani sembari menunduk. "Tapi, jika asatidz ingin memberikan hukuman, hukum saya saja. Alvin tidak akan melakukannya kalau saya tidak memberikan ide itu."

"Ooh, antum. Hebat sekali!" sindir Ustaz Akmal. "Baru selesai kasus kemarin, sekarang kamu berulah lagi, Ghani? Bukannya kamu ini mau berubah?!"

Ghani menunduk, menyadari kesalahannya. Ia tak berpikir panjang mengenai ide yang ia sarankan. Ceroboh!

"Sabila, kamu tidak tahu soal surat ini?" tanya Ustazah Rara.

"Afwan, tidak tahu, Ustazah."

"Kamu tidak berbohong, kan?" tanya Ustazah Hana.

"Jujur, saya tidak tahu." Sabila menjeda ucapannya. "Tapi, Alvin memang sudah berulang kali menitipkan surat, dan Aliya tidak pernah meresponsnya, ia suka langsung membuangnya. Mungkin, kali ini, Aliya lupa untuk membuangnya."

"Benar itu, Alpha?" tanya Ustaz Akmal tiba-tiba, membuat Alpha merasa tersentak.

"Iya," balasnya sembari tertunduk.

"Kita kecolongan banyak sepertinya, Ustaz, Ustazah," ucap Ustazah Kaila setelah mendengar penuturan Sabila dan juga pengakuan Alpha.

"Sabila, tuliskan siapa saja yang pernah dititipi surat oleh Alvin."

Seketika mata Aliya membulat. Kasus ini, semakin melebar ke mana-mana. Akan lebih banyak orang yang ia seret ke dalam jerat hukuman jika ia tidak mau angkat suara mengenai kenyataan antara dirinya dengan Alvin.

Namun, bagaimana cara Aliya menyampaikannya? Jangankan orang lain, Aliya sendiri masih kesulitan untuk menerima kenyataan tersebut, kalau Alvin adalah kakaknya, anak laki-laki pertama ayahnya.

Sabila disodorkan kertas dan pulpen oleh Ustazah Hana. Sekilas, Sabila melirik Aliya yang kulitnya memucat karena ketegangan yang menyelimutinya. Dengan perasaan ragu, Sabila pun memegang pulpen tersebut untuk menuliskan nama teman-teman satu karantina Aliya.

"Sabila," ujar Aliya sembari memegang tangan Sabila yang menggenggam pulpen, guna mencegahnya untuk tidak menuliskan nama teman-temannya.

Sabila yang dicegah pun bertukar pandang dengan Aliya.

"Al ...?"


***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now