Teman Sekamar Baru - 12

126 10 0
                                    

Keesokannya, seusai salat asar, Pesantren Ar-Rahiim menjadi ramai dan terasa lebih hidup daripada biasanya. Sebab, hari ini, santri dan santriwati mulai berdatangan memasuki wilayah pesantren. Warna baru menghiasi pesantren tersebut, yang semula hanya baru dua angkatan, sekarang sudah ada angkatan baru, angkatan ketiga yang siap menjalankan MTP mulai dari pukul setengah tujuh besok.

Teman-teman sekamar saat masa karantina, tidaklah sama dengan teman sekamar untuk saat ini dan setahun ke depan. Pihak pesantren telah menempel daftar nama yang akan mengisi kamar, dari kamar nomor satu hingga lima di depan pintunya masing-masing.

Sebelum azan asar, Aliya dan Fatma sudah berkemas dan memindahkan barang ke kamarnya masing-masing. Mereka tidak ditempatkan dalam satu kamar lagi. Aliya berada di kamar nomor dua, sedangkan Fatma di kamar nomor lima.

Aliya membaca daftar orang-orang yang akan sekamar dengannya, "Kelas 12nya Teh Hasna sama Teh Danisha. Kelas 11nya Teh Zahra, Teh Milka, sama Teh Naira. Kelas 10nya aku, Rahma, sama Sabila. Sabila? Wah, alhamdulillah sekamar sama Sabila."

Aliya begitu antusias mengetahui dirinya bisa sekamar dengan Sabila. Orang yang ia percayai untuk menjadi tempat ceritanya. Jika satu kamar begitu, Aliya akan lebih mudah bercerita dengan Sabila, tanpa harus izin ke kamar sebelah.

Di sisi lain, Alvin berada di kamar nomor lima. Ia tidak sekamar lagi dengan Alpha. Alpha berada di kamar nomor satu, kamar yang ditinggali olehnya saat masa karantina. Jadi, Alpha enak, tidak usah mengemas barang dan memindahkan ke kamar lain, seperti halnya Alvin.

"Hmm ... Ghani si anak mamih papih," gumam Alvin saat melihat teman kelas 10 yang akan sekamar dengannya—salah satunya—Ghani.

Selain Ghani, Alvin mendapat satu teman baru yang duduk di bangku kelas 10, namanya Ramdan. Lalu, untuk kelas 11nya ada Fajar, Badrun, dan Zidan. Sementara, untuk kelas 12nya, ada Huda dan Nurdin.

Mungkin, pihak pesantren sengaja menggabungkan kelas 10 hingga kelas 12 dalam satu kamar, adalah cara agar santri Ar-Rahiim tidak canggung kepada yang lebih tua atau merasa senior. Pihak pesantren pasti ingin, santri-santrinya bisa memiliki rasa kekeluargaan.

"What's Up, Bro!" Ghani langsung menepuk pundak Alvin dengan karakternya yang selalu semangat dan ceria.

"Eh, Ghani. Assalamu'alaikum," ucap Alvin sembari mengingatkan Ghani yang seharusnya mengucapkan salam apabila bertemu.

"Eh, hehe ... wa'alaikumussalam," balas Ghani sembari menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, "Kita sekamar, Bro Vin!" Ghani mengepalkan tangannya, lalu kepalan tangannya beradu dengan kepalan tangan Alvin.

"Yoi."

"Si Alpha di kamar nomor satu, ya. Misah kamar sama kita."

"Heem, Ghan."

"Gue mau beresin barang-barang dulu ke dalem nih, bantuin dong," pinta Ghani diakhiri kekehan kecil.

"Kebiasaan lo!"

...

Setelah salat Magrib berjama'ah, semua orang di asrama putri pun berkumpul di kamarnya masing-masing. Sebab, sore tadi mereka semua masih sibuk dengan urusannya masing-masing dalam mengemas barang. Selain itu, masih ada orang tua santri yang sedang mengistirahatkan diri, jadinya quality time di detik-detik terakhir perpisahan pun santri-santri manfaatkan dengan baik bersama orang tercintanya.

"Teteh namanya Danisha, panggil aja Teh Anis, ya. Nah, kebetulan Teteh ditunjuk sama Bu Rara buat jadi ketua di kamar asrama nomor dua ini. Jadi, Teteh yang akan bertanggung jawab soal kalian di sini. Awas, ya, jangan pada macem-macem!" tutur Anis yang terlihat supel pada orang-orang. Meski kalimat akhirnya mengancam, tapi terdengar nyaman di telinga mereka. Sampai-sampai orang-orang pun tertawa kecil mendengarnya.

"Sekarang, Teteh yang perkenalan. Nama Teteh, Hasna. Teteh ditunjuk sama Teh Anis jadi bendahara di kamar ini. Jadi, nanti tuh uang jajan kalian Teteh yang pegang. Sehari kalian jajan, tidak boleh lebih dari lima ribu rupiah." Hasna pun tidak kalah ramah. Jika dilihat dari gerak-geriknya dan caranya berbicara, ia seperti sudah ahli dalam urusan pembendaharaan.

"The real beruntung!" celetuk seseorang—yang belum diketahui namanya. "Teh Anis itu wakil ketua OSIS, dan Teh Hasna bendahara OSIS. Bakal keren kayaknya kamar nomor dua ini."

"Emmm ... Zahra bisa aja ngegodanya," balas Anis sembari tertawa kecil.

"Nah, itu nama aku Zahra, ya, adek-adek!" ucap Zahra memperkenalkan diri. "Yang ini, Naira. Dia orangnya pemalu."

Perempuan bernama Naira itu pun tersenyum kikuk ke arah adik-adik kelasnya. Benar, perempuan berkacamata tebal itu memang terlihat pemalu.

"Kalau aku, Milka," kata perempuan berkacamata—tidak setebal Naira—sembari melambaikan tangan dan tersenyum riang.

Barulah setelah kakak-kakak kelasnya memperkenalkan diri, Aliya, Sabila, dan Rahma pun memperkenalkan dirinya masing-masing. Setelah semuanya berkenalan, barulah mereka saling bertanya mengenai asal sekolah, tempat tinggal, dan lain sebagainya.

"Lho ...," Anis mendapati sesuatu yang menarik perhatiannya sejak tadi. Ia pun menghampiri sebuah benda berwarna merah yang berada di atas lemari. "Liptint, bedak, maskara, shadow?" gumam Anis sembari mengambil satu per satu barang tersebut.

"Ini punya siapa?" Anis pun bertanya lantang.

"Aku, Teh," balas Rahma polos.

Semua orang yang tengah bercanda ria pun seketika melirik Rahma. Semua mata terpusat padanya.

"Maaf, ya, Rahma, barang-barang ini harus Teteh sita. Kalau facial wash sama pelembab wajah boleh dipakai. Tapi kalau ini, enggak boleh, ya."

"Yah, Teh. Nanti aku gak cantik dong," protes Rahma.

Hasna menatap penuh selidik ke wajah Rahma. Ia baru menyadari, sejak tadi, Rahma sudah memakai make up, tapi tidak terlalu menonjol. "Hapus make up-nya, Rahma," pinta Hasna.

Anis yang mendengar itu pun langsung melihat wajah Rahma. "Eh, iya, kok aku gak sadar, ya. Kamu pake make up ternyata."

Jebolan tsanawiyah pun bisa begitu, ya? batin Aliya yang masih awam.

Rahma memutar bola matanya jengah. "Ngatur-ngatur," gerutunya pelan.

Orang-orang tidak mendengar ucapan tersebut dengan jelas. Akan tetapi, Aliya yang duduk di sampingnya mendengar kata-kata itu dengan jelas. Sehingga, Aliya pun merasa terkejut dengan hal tersebut, ia yang sejak kecil tidak tumbuh di lingkungan pesantren, merasa tidak percaya ada lulusan madrasah yang seperti itu.

"Ngomong apa kamu, Ma?" tanya Anis yang kurang mendengar jelas.

"Iya, mau ngehapus," jawab Rahma tidak sesuai dengan gerutunya tadi.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang