Cerita - 4

218 12 0
                                    

Aliya memijakkan kakinya di area saung dan kolam ikan berada. Penerangan yang berasal dari lampu-lampu taman yang berada di sekitar jalan membuat sisi estetik tempat tersebut semakin bagus. Setelah melewati tempat tersebut, Aliya pun mengetuk sebuah rumah yang berada tak jauh dari kolam ikan Pesantren Ar-Rahiim berada.

Sejak sore tadi, Aliya merasakan kegundahan yang membuatnya tidak bisa fokus untuk menghapal surat Al-Insyiqaq. Resah tak menentu. Membuatnya ingin menerjunkan air matanya segera, tapi hal itu hanya bisa terpendam dan menyesakkan dadanya. Aliya bukan tipe orang yang terbuka mengenai masalah pribadinya.

Itulah mengapa, Aliya memutuskan untuk menghampiri Sabila saja setelah makan malam. Mumpung waktu azan isya masih ada setengah jam lagi.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," balas seorang perempuan, yang sepertinya adalah ibu dari Sabila.

Aliya lekas mencium tangan perempuan tersebut.

"Em, Bu, Aliya boleh ketemu sama Sabila?"

Perempuan itu pun tersenyum lebar. "Tentu saja, Sayang. Sabila ada di kamarnya, mari Umi antar."

"Iya ... U- Umi," balas Aliya agak gugup.

Setelah menaiki anak tangga dan sampai di kamar ketiga, Aliya pun melihat Sabila tengah memandang langit malam lewat jendela kamarnya.

"Silakan kamu ngobrol sama Sabila, ya."

"Iya," balas Aliya sembari menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Terima kasih, Umi."

"Iya, sama-sama."

Aliya pun mengetuk pintu kamar Sabila yang terbuka.

Sabila yang sedang asik menatap langit malam bertabur bintang itupun lantas menoleh. "Eh, Aliya, sini masuk."

Sabila menghampiri sofa di kamarnya dan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. "Sini, duduk."

Aliya pun menghampiri dan tersenyum kikuk ke arah Sabila. Hawa canggung terasa membeban di hati Aliya setelah sampai di sana. Biasanya, ia selalu bercerita pada Mbok Inah mengenai kegundahan hatinya. Namun, sekarang ia memilih orang baru untuk menjadi tempat ceritanya.

"Betah di sini ... Aliya, ya, kamu teh?" ucap Sabila sembari memastikan orang yang baru dikenalinya bernama Aliya.

Aliya mengangguk. "Alhamdulillah betah kok, Sal."

"Oh, iya, kamu mau cerita, ya?" tanya Sabila yang langsung membuat Aliya tertawa kecil.

"Emm ... Sal," Sabila memperhatikan dengan seksama, membuat Aliya merasa akan didengar dengan baik, "Aku gak cerita soal ini ke temen yang lain, mau ceritanya ke kamu aja. Aku percaya sama kamu, Sabila. Bukan berarti yang lain meragukan, cuma aku ini tipe orang yang lebih nyaman cerita ke satu orang aja."

"Ooh ... iya, iya, aku ngerti. Kamu mau cerita soal apa, Al?"

"Tadi, Aku denger, salah satu keutamaan menjadi seorang penghapal Al-Qur'an itu, ketika di akhirat nanti sang anak akan bisa memakaikan mahkota terindah kepada orang tuanya," tutur Aliya yang lekas dibenarkan oleh Sabila. "Tapi, Bil ... bagaimana jika kedua orang tua itu tidak peduli pada anaknya?"

Sabila mengerutkan dahinya tatkala Aliya bertanya seperti itu.

"Aku adalah anak yang tidak diinginkan, karena terlahir sebagai perempuan, bukan laki-laki. Apakah atas perlakuan mereka yang selalu buruk, mereka berhak mendapat kemuliaan dipakaikan mahkota jika Aku menjadi seorang hafizhah?"

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang