Belajar Nyuci - 6

169 8 0
                                    

Alvin tergolong anak yang cerdas, sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu mendapat juara kelas setiap tahunnya. Begitu pun di madrasahnya, ia selalu mendapatkan juara demi juara. Bahkan, dibanding anak-anak yang lain, Alvin lebih cepat hapal juz 'amma. Namun, menyayangkannya, setelah lulus SD dan tidak mengaji lagi di madrasah, hapalannya cukup banyak yang hilang karena jarang diulang. Walhasil, di karantina ini, Alvin mentok di surat Asy-Syams.

Akan tetapi, progress Alvin cukup baik. Setor hapalan pada bakda asar dan bakda isya tadi, membuatnya sudah sampai di surat Al-Balad.

Ketegaran Farah yang selalu terbayang di pikiran Alvin, menjadi lecutan yang sangat jitu untuk membuatnya terus semangat menghapal. Doa Farah yang tak berhenti mengalir juga pasti menjadi jalan bagi Alvin untuk mudah menyerap ayat-ayat Al-Qur'an untuk dijaganya di dalam memori ingatan.

Sementara itu, Farah merasa harinya berbeda. Kini, ia tengah duduk di samping ranjang Alvin, lalu mengusap seprainya. Kerinduan semakin merasuk ke dalam dadanya. Bukan ia rindu melihat putranya begitu tersiksa dengan sikap suami dan mertuanya, tapi ia rindu pada celotehnya, gurauannya, dan pedulinya.

Alvin, putra yang menemaninya pada saat-saat memilukan di masa lalu itu, sekarang berada di tempat yang jauh.

Melihat foto Alvin saat masih bayi, Farah tersenyum haru. Dialah laki-laki kedua yang ia cintai setelah ayahnya. Pria yang membuatnya setegar karang ketika pedih begitu meradang di sanubarinya. Cahaya harapannya, yang membuatnya bangkit dari keputus asaan.

Akan tetapi, sebagai seorang ibu dan juga perempuan yang trauma dengan pernikahan yang gagal. Farah merasa, dia bukanlah ibu yang baik bagi Alvin, Arsen, dan juga Naya.

"Mah, tolong, jangan asingkan Alvin," pinta Farah.

"Arsen ini cucu saya, darah dagingnya Davin. Kamu jangan banyak berharap kalau anak kamu itu dapat perhatian dari keluarga ini!"

"Mah ... bukannya sebelumnya Mamah menyayangi Alvin?"

"Itu karena pewaris sah Amarta belum lahir ke dunia ini."

"Mah ...-"

"Cukup, Farah! Cukup membujuk saya, kalau kamu tidak ingin saya ceraikan dengan Davin dan kehilangan Arsen," ancam Omah Ranti sebulan setelah Arsen lahir ke dunia.

Ia tidak bisa membayangkan percerainnya yang kedua. Apalagi, setelah Arsen, lalu Naya lahir. Ia tidak mau, anak-anaknya tersiksa karena menyaksikan kedua orang tuanya berpisah. Farah sangat sayang kepada anak-anaknya dan ingin mereka mendapat kasih sayang yang cukup. Meskipun, Alvin yang harus menjadi korban dari semua itu.

"Maafkan Mamah, Sayang. Setidaknya, dengan kamu masuk ke pesantren, kamu tidak harus selalu mendapatkan apa yang kamu dapatkan di rumah ini. Semoga kamu merasakan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan di sini."

...

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!" suara azan subuh telah berkumandang, memanggil umat Islam untuk lekas bangun dan memulai hari dengan beribadah kepada-Nya.

Alvin langsung terbangun tatkala azan berkumandang. Biasanya, jika di rumah, ia baru bisa terbangun ketika Farah membangunkan. Kalau untuk suara azan subuh, jarang sekali ia dengar. Terlebih lagi, Alvin salatnya belang-belang, kadang salat, kadang tidak. Namun, karena letak masjid di pesantren dekat dengan asramanya, suara rambatan dari speaker yang kencang, mampu membangunkannya.

Alvin lihat, Alpha baru saja keluar dari kamar mandi, sepertinya ia habis berwudu. Tampilannya sudah rapi berbaju koko, berbeda dengan Alvin yang rambutnya masih acak-acakan dan berbalut selimut bergambar bola.

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now