Di balik Kebaikan Mereka (End) - 41

203 11 0
                                    

Usai sesi foto bersama, MC pun menutup acara tersebut dengan iringan doa yang menyentuh qolbu, hingga air mata pun tak terasa menetes di tiap-tiap mata yang hadir. Setelah salam penutup diucapkan, MC kemudian mengimbau kepada semua yang hadir untuk menikmati jamuan yang telah tersedia di area kelas. Nasi kebuli, telah menanti mereka di sana.

"Bu Farah sama Pak Davin, beneran gak tau?" tanya Aliya ketika yang lain sudah pergi dari aula.

Farah dan Davin membalasnya dengan gelengan.

"Mbok juga enggak?"

"Enggak, Neng. Mbok juga kaget liat mereka ada di sini. Soalnya, Tuan sama Nyonya ada di luar kota seminggu ini."

Aliya manggut-manggut paham. Mungkin saja, selama satu minggu urusan kerja atau apa pun itu di luar kota, ada suatu hal yang membuat hati mereka tergerak untuk memperbaiki diri.

"Eh, kalian masih ada di sini. Kami kira kalian nyusul buat makan nasi kebuli," ujar Vina yang kembali lagi ke aula bersama Denian.

"Kami mau ke sana kok, Nyonya," balas Inah.

"Ya udah, yuk!" ajak Vina tampak bersahaja. "Ayo, Aliya. Kita ke sana." Vina memberikan isyarat dengan tangannya, agar Aliya mau menghampiri.

Seketika Aliya dan Inah pun bertukar pandang. Lalu, Aliya beralih melirik Farah. Ia ingin meyakinkan dirinya, kalau ia tidak sedang bermimpi.

Farah yang masih merasa ragu dengan kebaikan yang ditunjukkan Vina dan Denian, merasa takut kalau Aliya akan di apa-apakan lagi. Mengingat, waktu dulu, Vina sempat membisikkan ancaman menyakitkan kepada Aliya.

Akan tetapi, Farah tak bisa menyangkal, kalau Aliya sangat ingin bisa berada dekat dengan kehangatan mereka. Apa mungkin ia harus memberi Denian dan Vina kesempatan untuk saat ini?

Inah menggenggam tangan Aliya sembari menatap cukup dalam. Sebelum berkata, ia menghela napasnya terlebih dahulu. "Hampiri mamahmu, Sayang."

Aliya pun mengangguk, dan kemudian menghampiri Vina yang langsung merangkul bahunya dengan nyaman.

"Ayo, semua!" ajak Vina.

"Ya, silakan, duluan saja dulu," balas Farah.

Walhasil, mereka bertiga pun keluar dari ruangan tersebut.

"Menurut Mas, mereka keliatan bersandiwara gak? Atau benar-benar tulus?" tanya Farah masih meragukan kebaikan mereka.

"Sayang, Mas cuma manusia biasa, gak tau isi hati orang. Ada baiknya, mungkin kita husnuzan saja dulu. Siapa tau, kan, mereka udah dapet hidayah," jawab Davin.

"Iya, Bu Farah. Tenang saja. Nanti di rumah, kan, Mbok bisa ngawasin dan jaga Neng Aliya kalau misalnya, na'udzubillah, terjadi hal yang aneh-aneh."

"Baiklah, Mbok."

...

Meski bahagia, bisa sedekat itu dengan orang tuanya, tapi jauh dalam lubuk hati Aliya, ia juga takut dan cemas. Sebab, mereka juga pernah bersikap manis kepadanya saat kelas 10 dulu dan semua itu hanya kepalsuan saja. Di balik sikap yang manis itu, justru ada ancaman pahit yang menyayat-nyayat hatinya tiada henti. Apakah kali ini, mereka tidak akan melakukan hal yang sama kepadanya?

"Tunggu dulu, Aliya," ucap Denian dengan suara dingin, yang membuat langkahnya terhenti.

Degupan di jantung Aliya terpompa cepat, takut kalau-kalau mereka akan memberinya luka batin kembali. Tangannya seketika memilin ujung khimar karena rasa gugup dan cemasnya yang mendominasi hati. Matanya tertunduk, tak berani menatap wajah orang tuanya.

Tangan Denian tiba-tiba mendarat tepat di atas pundaknya. Hal itu, sontak saja membuat Aliya terperenjat. Ritme detak jantungnya semakin kencang, dan perasaannya semakin tak karuan.

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang