Harap yang Belum Usai - 37

72 6 0
                                    

"Gila lah, Kak! Bisa-bisanya mereka kayak gitu sama Kakak?!" Brian tak bisa mengontrol emosinya, setelah Aliya menceritakan apa yang terjadi saat Vina dan Deni menjenguknya kala itu. "Benci banget aku sama mereka!"

"Brian," tegur Aliya sembari memegang pundak adiknya yang terbakar emosi. "Gimana pun, mamah sama papah adalah orang tua kamu. Jangan benci mereka. Sedikitpun."

Sesakit apa pun Aliya merasakan perlakuan orang tuanya selama ini, ia tak mau membencinya, juga tak mau adiknya ikut membenci mereka. Terlebih lagi, setelah belajar di Pesantren Ar-Rahiim tersebut, Aliya diajarkan untuk tidak membenci, terutama kepada orang tua. Sejahat apa pun mereka, kewajiban berbakti tidak akan pernah pupus. Minimal-minimalnya, mendoakan kebaikan untuk mereka tidak boleh sampai putus.

Brian gregetan mendengar kalimat yang keluar dari mulut Kakaknya. Baginya, kakaknya itu terlampau sabar, sampai kebiadaban orang tuanya masih saja ia maafkan. "Kakak .... Please, jangan terlalu baik. Mereka itu gak pantes dapet maaf dari Kakak."

"Brian, aku bukan terlalu baik. Justru, aku jauh dari kata baik, aku masih belajar menata hati. Mungkin, kamu tidak terbiasa menyaksikan hal seperti ini, makanya kamu bilang, Kakak ini terlalu baik. Tapi, perlu kamu tau, ini adalah hal yang biasa, yang udah seharusnya dilakuin sebagai seorang Muslim," papar Aliya lembut dan penuh ketenangan. "Menumpuk benci itu tidak baik, itu hanya akan bikin hati kita berpenyakit."

Alvin berdecak kagum mendengar kata-kata yang Aliya ucapkan. Adiknya yang cengeng dan hampir putus asa kala itu, sekarang sudah dewasa dalam menyikapi permasalahannya.

"Maaf, aku mau menambahi. Brian, kamu adalah anak kesayangan Bu Vina sama ayah. Jangan benci mereka. Yang ada, kamu harus gunakan kesempatan itu untuk meluaskan kebahagiaan," saran Alvin yang baru bisa dipahami Brian setelah sejenak mencernanya.

"Baiklah, Kak," balas Brian, yang akhirnya mau menurunkan egonya untuk tidak mendendam kebencian di dalam dadanya.

"Kakak sayang kamu," ucap Aliya sembari berhambur memeluk Brian.

...

Pintu kamar mandi di kamar tamu terbuka. Gadis itu lanjut menggelar sajadahnya di atas lantai. Mukena berwarna putih yang berhiaskan bunga-bunga cantik, ia kenakan. Setelah dirasanya rapi, barulah kedua tangannya terangkat, melakukan takbiratul ihram. Dengan khidmat gadis itu melaksanakan salat malamnya, di tengah kebanyakan orang masih menikmati nyenyaknya tidur.

Tangisnya acap kali berderaian, karena begitu menghayati setiap makna dari ayat yang ia baca dalam salat malamnya.

Setelah salatnya usai, ia lanjut memuji asma-Nya, mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mengutarakan doa-doa dan pintanya. Tangisnya kembali pecah, saat mengingat sosok kedua orang tuanya yang hatinya masih sekeras batu, bahkan mungkin lebih dari itu.

Sudah hampir tiga tahun ia mengenyam pendidikan di Pesantren Ar-Rahiim. Namun, orang tuanya masih menutup rapat-rapat pintu hati untuknya. Sesak di dada tak dapat disembunyikan lagi di hadapan-Nya. Kerapuhannya tampak jelas di hadapan Sang Khaliq saat ini. Ia terus berharap, berharap, dan meminta.

Tak lagi doanya tergesa-gesa, semenjak menempuh pendidikan di pesantren. Ia memahami, tergesa-gesa itu tidaklah baik, menuduh Allah tak 'kan mengabulkan doa hamba-Nya itu tidaklah baik. Keyakinannya kuat, bahwa Allah pasti akan mengabulkan doanya. Waktu yang tepat pasti akan segera mendatanginya, cepat atau lambat.

Setelah doanya telah selesai ia panjatkan, ia pun membaca mushafnya hingga subuh tiba.

Barulah, setelah salat subuhnya selesai ditunaikan, ia lekas membersihkan badannya dan lanjut membantu menyiapkan sarapan.

"Ini adalah sandwich spesial kesukaan Omah," ucapnya sembari menaruh piring kecil berisi sandwich isi telur dadar, keju, selada, mentimun, dan tomat di hadapan Omah Ranti.

"Aliya, kamu tuh, emang paling bisa bikin Omah bahagia," sanjung Omah yang membuat senyum Aliya semakin merekah.

Ya, di libur semester pertama kelas 12nya itu, Aliya ikut singgah di kediaman Amarta. Namun, itu bukan pertama kalinya Aliya singgah di kediaman Amarta, sejak kelas 10, ia sudah menyinggahinya.

"Kak, tadi aku sama mamah, sama ayah, bertengkar hebat. Dan Kakak tau apa akhirnya? Aku maupun Mbok, gak boleh jengukin Kakak lagi ke pesantren."

Cerita Brian kala itu, setelah pulang menjenguk kakaknya. Membuat Aliya gelisah dan juga merasakan sembilu. Kedua orang yang ia sayangi, tak bisa lagi menginjakkan kakinya di pesantren itu untuk menjenguknya.

Atas inisiatif Alvinlah, Aliya menyinggahi rumah ayah tirinya. Sebab, dengan begitu, Mbok Inah dan Brian tidak akan melanggar perintah Denian. Mereka bisa bertemu Aliya dan melepas kerinduan, tanpa harus jauh-jauh berangkat ke Bandung.

Awalnya, Omah Ranti skeptis pada Aliya. Bagaimana pun, ia masih tidak rela Davin menganggap Alvin sebagai putranya sendiri, lantas mengapa Omah harus menerima anak Denian yang lain, yang bernama Aliya itu? Namun, Aliya pintar mengambil hati Omah.

Sebuah kue cokelat, makanan yang paling disukai Omah, dihidangkan dengan cantik oleh Aliya kala itu. Aliya yang jago masak itu, membuat rasa kuenya benar-benar persis seperti yang dibuat oleh ibunya dulu. Walhasil, Omah pun jadi luluh kepadanya, dan selalu bahagia jika dapat memakan masakan Aliya.

"Mah, Pah, Arsen mau jogging dulu, ya," izin Arsen yang sudah lengkap menggunakan baju olahraganya.

"Eh, makan sereal dulu. Biar gak sakit perutnya, Sayang," ucap Farah sembari mengisyaratkan dengan tangannya, agar Arsen menghampirinya.

"Gak usah, Mah. Tadi, Arsen udah minum susu," kilahnya.

"Kapan? Dari tadi aku di dapur sama Bibi gak liat kamu dateng, apalagi nyeduh susu," komentar Aliya yang baru selesai membagikan sandwich ke orang-orang di meja makan.

"Mending lo gak usah ikut campur!" balas Arsen ketus.

Ya, hanya dia seorang yang tidak bisa membuka hatinya untuk menerima Alvin, apalagi Aliya. Sudah berbagai cara Aliya lakukan agar remaja yang sudah duduk di bangku kelas 2 SMP itu luluh, tapi tidak ada yang berhasil.

"Aku pergi. Assalamu'alaikum."

"Eh, Nak! Arsen!" Farah memanggil Arsen agar tidak lekas pergi, tapi anak ABG itu, tidak mau mendengarnya. Ia tetap bersih kukuh untuk pergi.

"Arsen, kalau Mamah panggil itu jangan didiemin!" tambah Davin dengan lantang. Namun, Arsen tetap tidak mau menghentikan langkahnya.

"Maaf, ya, Aliya," ujar Farah tak enak.

"Ah, enggak masalah kok, Bu," balas Aliya dengan ceria.

"Yah, maklum lah, ya. Arsen emang agak sulit terbuka sama orang baru. Kamu sabar aja," tambah Omah Ranti.

"Iya, pasti Omah."

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now