Berbagi Kisah - 11

111 8 0
                                    

"Yah ... kadang gue juga pengen mati. Tapi, semenjak gue masuk Ar-Rahiim, kayaknya keinginan gue buat cepet mati itu hampir gak ada," pungkas Alvin yang sedari tadi menceritakan kisah pahit hidupnya kepada Aliya.

"Gue juga sama sih, Vin. Keinginan itu hampir gak ada semenjak gue di sini." Aliya mencair kepada Alvin, ia yang bersih kukuh tidak mau terbuka kepada orang lain, sekarang sudah tidak. Ia juga tidak mengerti, ia merasakan kenyamanan bisa berbincang bersama Alvin. "Tapi, setelah orang tua gue kemarin ke sini ...-"

"Orang tua lo? Dateng? Kok gue gak liat?" sela Alvin yang terkejut mengetahui orang tua Aliya yang cuek dan kasarnya minta ampun itu menghampiri Aliya. "Mereka ngapain, Al?"

"Bentaran doang mereka, sekalian jemput Brian sama Mbak Wina. Itu pun, mamah ngancem."

Mendengar apa yang telah terjadi kemarin, Alvin jadi ikut terbawa kesal dengan orang tua Aliya. Tangannya sampai mengepal saking kesalnya.

"Omah Ranti sama Pak Davin aja gak mungkin lho lakuin itu ke darah daging keluarganya sendiri. Orang tua lo tega banget!" komentar Alvin sembari berkacak pinggang. Mungkin, jika ada sosok kedua orang tua Aliya di depan matanya, akan langsung dicakarnya.

"Gue emang gak beruntung, Vin," lirih Aliya yang kemudian menghapus air matanya yang tiba-tiba jatuh.

Rasa iba begitu memenuhi rongga hati Alvin. Dibanding dirinya, Aliya lebih malang nasibnya. Ia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya, meskipun ia berstatus sebagai anak kandung. Meskipun Alvin hanya memiliki kasih sayang mamahnya saja, rasanya, ia tidak lebih menderita daripada Aliya.

"Lo pasti gak tahu, apa gunanya lo hidup kalau keadaan justru menikam lo terus-menerus. Nasihat seperti, 'masalah itu ada untuk menempa jiwa lo semakin kuat', faktanya malah membuat lo semakin jatuh ke dasar jurang, kan?"

Aliya melirik ke arah Alvin saat kata-kata yang diutarakannya sangat sesuai dengan apa yang ia rasakan. Hilang arah dan sudah berdiri di penghujung keputus asaan.

"Kita hidup di dunia ini untuk Allah, Al. Terserah Allah mau bawa kita ke mana, yang penting hati ini bertawakal kepada-Nya. Yang penting, kita percaya dan yakin sama Allah, setiap saat, dalam keadaan apa pun," nasihat Alvin sembari menatap langit yang tetap kokoh meskipun tanpa tiang, "Suatu saat nanti, pasti akan ada kebahagiaan yang sangat-sangat indah. Karena Allah gak akan biarin hamba-Nya sengsara, Al. Pertolongan Allah itu nyata."

Bagi Alvin saat ini, Alpha adalah figur yang menginspirasinya untuk kuat. Rasa takjub di hatinya, akan apa yang terjadi dalam perjalanan hidup Alpha dan keyakinannya kepada Allah yang begitu kuat, melekat erat di dalam hatinya.

Aliya terkagum-kagum dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Alvin. Ia tidak menyangka, seorang Alvin yang sering membahas soal masakan di dapur, bisa berbicara seperti itu juga. Kata-katanya bagaikan akar pohon yang kokoh dan menumbuhkan buah-buahan yang lezat dan juga manis.

"Abi udah jelaskan di pelajaran 'Ulumul Qur'an waktu itu, Al-Qur'an itu obat, Al. Al-Qur'an juga salah satu bentuk dzikir, itulah kenapa hati kita tenang kalau baca itu. Kan, hanya dengan mengingat Allah, hati kita menjadi tenteram," sambung Alvin.

"Gue selalu keinget mahkota, kalau inget Al-Qur'an," kata Aliya sembari menunduk.

Alvin berpikir sejenak mengenai maksud Aliya soal mahkota itu. Ia pun memahami kondisi hati Aliya yang dirajam oleh luka-luka yang orang tuanya berikan.

"Udah, Al, gak usah terlalu lo pikirin soal itu. Yang penting, lo fokus aja mencintai dan menjaga Al-Qur'an dan yakin dengan sebenar-benarnya keyakinan kepada Allah," saran Alvin agar Aliya tidak terlalu banyak overthingking, "Dalam hidup ini, kan, ada hal-hal yang gak bisa kita kendalikan. Nah, buat bagian itu, kita serahin aja ke Allah. Allah yang bakal nyelesain masalah lo. Percaya deh, Al. Gak ada masalah yang besar, yang ada, Allah Yang Maha Besar dan masalah itu kecil bagi-Nya."

"Terima kasih banyak," ungkap Aliya yang begitu terharu dan kagum akan apa yang Alvin sampaikan. "Tapi, maaf, ya. Kita udah terlalu lama. Abi, kan, bilang, kita yang bukan mahram ini jangan berduaan."

Alvin menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Hehe, iya. Semoga ngobrol beginian gak jadi masalah serius, ya? Kita juga gak macem-macem, kan, dari tadi?"

Aliya hanya membalas dengan senyuman. Karena sejujurnya, ia pun masih bergitu awam dengan hal-hal tersebut. Mungkin, perbincangannya dengan Alvin tidak menjadi masalah? Entah, Aliya juga tidak tahu jelasnya. Namun, hati nuraninya merasa, bahwa tidak baik terlalu lama duduk berdua.

"Sekali lagi, terima kasih. Assalamu'alaikum," pamit Aliya yang kemudian berlalu.

"Wa'alaikumussalam."

Di persimpangan jalan yang tadi Aliya lewati, ia berpapasan dengan Fatma dan juga Sabila yang sudah berjalan-jalan bersama. Aliya sedikit terkejut melihatnya, karena bagaimana pun, hati nuraninya merasa, perbincangannya dengan Alvin tadi kurang tepat. Mungkin, jika Sabila dan Fatma mengetahuinya, mereka akan mengatakan hal tersebut 'salah' kepadanya.

"Kamu sudah dari mana, Al?" tanya Sabila yang terlihat khawatir.

"Iya, Al. Dari mana? Kamu nyasar?" tambah Fatma yang juga khawatir.

Aliya tersenyum lebar melihat mereka khawatir kepadanya. Artinya, masih ada orang-orang yang menyayanginya. Alvin benar, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya sengsara.

"Tadi aku denger ada suara sungai, jadi liat deh ke sana," balas Aliya sembari menunjuk jalan yang ia lewati.

"Wah, ada sungai? Mau dong ke sana. Anter, Al!" Fatma terlihat antusias ingin pergi ke sungai.

Aliya jadi bingung harus bagaimana. Pasalnya, Alvin masih berada di sana. Aliya tidak ingin, ia disangka yang bukan-bukan oleh Sabila dan Fatma.

"Nanti aja lah, Fat. Bentar lagi zuhur soalnya. Lebih baik kita istirahat dulu, baru kita lanjutin petualangan kita," sergah Sabila yang membuat Aliya bernapas lega.

"Iya, siap, siap," balas Fatma dengan senang hati.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now