Perkembangan - 25

66 5 0
                                    

Tombol dispenser asrama putri dipencet, mengisi tumblr kaca cantik yang harganya mampu menguras uang jajan Aliya selama sebulan. Ya, kini tumblr tersebut sudah berada di tangan Rahma.

Namun, bukan Rahma namanya jika menerimanya cuma-cuma. Sebelum botol itu ia dekap erat, ia sudah mengajukan syarat terlebih dahulu kepada Aliya, dan Aliya tidak boleh menolaknya ataupun merasa keberatan atas syarat yang diajukan Rahma.

"Pokoknya, pas Pasar Kamis minggu depan, aku traktir kamu belanja sepuasnya. Gak usah mikirin harga deh pokoknya, ambil aja apa yang kamu mau, Al."

"Waw ... rezeki kamu tuh, Al!" timpal Sabila yang bahagia mendengarnya.

Pengorbanan Aliya untuk memperbaiki kesalahannya, rupanya berbuah bonus luar biasa seperti ini.

"Tapi, Ma-"

"Eits, udah gue bilang, terima. Gak boleh gak enakan gitu. Rezeki, tau! Gak boleh ditolak. Atau, tumblr ini gak usah aku bawa deh, aku pecahin aja!" ancam Rahma sembari melipat kedua tangannya di depan dada dan menekuk muka.

Atas desakan Rahma, mau tak mau, Aliya pun menerima syarat tersebut. Kemudian, mereka bertiga pun berpelukan hangat.

Semenjak kejadian tersebut, atmosfer kamar asrama nomor dua tidak terasa lagi menyesakkan. Ketiga santri kelas 10 itu tidak lagi saling bersinggungan, justru mereka mulai saling memahami dan berbagi kisah pula.

Bahkan, hari ini, setelah mengisi air ke tumblr. Mereka bertiga jalan-jalan bersama menuju kebun Abi. Lalu, mereka saling berbagi cerita satu sama lain, setibanya di MES karyawan yang tidak ditempati.

"Hah? Kok ada orang tua yang kayak gitu sih, gila banget!" komentar Rahma setelah mendengar cerita mengenai keluarga Aliya.

"Umi-Abi aku, mereka bahkan nerima aku yang perempuan, dan bukan darah daging mereka dengan sepenuh hati. Tapi, orang tua kamu ...? Ah, aku gak habis pikir." Rahma mengusap-ngusap pundak Aliya. "Tapi, aku salut banget sama kamu, Al. Bisa bertahan sejauh ini, dan sesabar itu. Masyaalllah."

Kemudian, Rahma pun memeluk Aliya dengan erat. "Maafin aku, Al. Kemarin malah nambahin beban kamu."

"Gak usah ngerasa bersalah, Ma. Kamu, kan, gak tau. Yang terpenting sekarang, kita bisa hidup damai!" balas Aliya ceria.

Rahma melepas pelukan, kemudian menatap manik Aliya cukup dalam. Entah sosok apa yang berada di hadapannya itu, mengapa kesabarannya begitu luas dan terasa dalam? Namun, sepertinya ia tak perlu banyak mengherankan semua itu dari Aliya, karena gadis sebayanya tersebut memang sudah dipaksa keadaan untuk dewasa sebelum waktunya. Sejak Aliya kecil, ia sudah harus merasakan getir atas sikap pilih kasih dari kedua orang tuanya.

"Sabila," ujar Rahma, membuat Sabila yang tengah menyemil kripca pedas pun memfokuskan matanya melihat Rahma, "Maaf, kalau misalnya yang mau gue ucapin ini kurang pantas. Tapi, setelah gue denger ceritanya Aliya, mata ini lebih kebuka gitu. Jadi tersadarkan, bahwa selama ini rasa syukur gue kurang. Dan karena itulah, gue juga mau bilang makasih sama Aliya, karena dia udah bikin gue menyadari hal itu."

Sabila tersenyum. Akhirnya, Rahma bisa memahami apa itu syukur. Bukan sekadar tahu namanya saja.

"Alhamdulillah, suatu hal yang bagus, cerita Aliya bisa bikin kamu lebih bersyukur. Aku rasa, Aliya tidak akan keberetan dengan hal tersebut, kan?" jawab Sabila.

"Tentu saja, Bil. Aku justru senang. Siapa tahu, jadi pahala buat aku, kan?"

"Masyaallah ...," kagum Sabila. "Sambil ngopi dong ngobrolnya, yuk. Aku nyemil sendiri nih dari tadi, temenin dong."

"Hehe, iya deh."

"Siap."

...

Meskipun ini adalah hari libur, ketiga ustaz tidak menikmati waktu senggangnya dengan baik. Mereka bertiga yang terlibat di tempat itu adalah ketua yayasan, ketua pembimbing asrama, dan juga guru BK. Di hari libur ini, mereka harus mengurusi permasalahan yang terjadi di antara kedua santrinya. Hal itu terjadi, karena orang tua dari Bima maupun Ghani bisa hadir ke pesantren pada hari libur kantor saja.

"Kamu bikin onar lagi di sini, Ghani?!" tanya ayahanda Ghani dengan nada geram yang terdengar jelas.

Ghani merasa kelu untuk mengucapkan satu huruf pun. Ia hanya bisa menunduk saat ayahnya bertanya seperti itu.

"Jangan bikin malu, kamu tuh," tambah ibunya mengomeli.

"Jangan omeli Ghani, Bu, Pak. Justru di sini Ghani adalah korbannya," bela Alpha yang menghampiri mereka, setelah melihat Ghani seperti disalahkan oleh kedua orang tuanya.

Orang tua Ghani langsung melihat ke arah Alpha yang datang bersama dengan Alvin. Mereka mengernyit, bingung. Namun, setelah melihat luka lebam di ujung bibir Alvin, orang tuanya geleng-geleng. Menyangka kalau Alpha berusaha menutupi kesalahan Ghani.

"Alvin yang kamu bully?!" tanya ayah Ghani tegas sembari menunjuk Alvin.

"Afwan," Ustaz Akmal datang menyela pembicaraan mereka, "Sebaiknya, kalian semua segera memasuki ruang BK. Kebetulan, dari pihak Bima sudah hadir."

Mendengar itu, Ghani bergegas menuju ke ruang BK. Ia terlihat tidak sabar untuk menjumpai seseorang yang sudah lama tidak ia temui. Semenjak kejadian itu, Ghani tidak melihatnya lagi di Jakarta, konon katanya, ia menjalani pengobatan di Singapura.

Kedua orang tua Ghani sama-sama heran. Mereka mendapat panggilan dari pihak pesantren, tapi mereka tidak mengetahui kasus apa yang tengah dihadapi putranya di pesantren ini.

Tiba di lawang pintu, mata Ghani membulat. Rasa haru pun langsung memenuhi rongga hatinya detik itu juga. Matanya berkaca-kaca. Perasaan bersalah, sedih, bahagia, semuanya bercampur aduk dalam hatinya.

"Bagas," panggilnya.

Bagas, laki-laki yang usianya satu tahun lebih muda dari Ghani itu menoleh ke sumber suara. Laki-laki yang duduk di kursi roda itu lantas berkaca-kaca ketika mendapati pria yang sangat ia kenali berdiri di hadapannya.

Bibirnya perlahan bergerak. "Kak ... Ghani," ucapnya terbata.

Reaksi yang ditunjukkan Bagas seketika membuat keluarga Bima terkejut mendengarnya.

Selama sepuluh bulan, Bagas tidak pernah angkat suara. Ia selalu membisu, tatapannya selalu terlihat kosong, dan telihat tidak bergairah. Bahagia, sedih, marah, takut, jijik, emosi-emosinya itu tak nampak. Hidupnya kelabu, suram, dan muram.

Namun, kali ini, setelah bertemu dengan Ghani, Bagas menunjukkan perkembangan yang baik.

Ghani lekas menghampiri Bagas dan tersenyum haru ke arahnya.

Ghani duduk bertumpu pada kedua lututnya. Tangannya memegang pegangan kursi roda Bagas. "Setelah gue pulih, gue sempet nyari lo, Gas. Tapi, lo udah pergi ke Singapur. Padahal, gue mau ngucapin makasih banyak sama lo."

"Makasih? Maksud lo apa?" tanya Bima tak mengerti.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang