Pingsan - 22

89 6 0
                                    

Perlahan-lahan, mata yang terpejam itu terbuka. Ketika terlihat remang-remang, empunya mengerjap untuk bisa menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Seperti biasa, meski langit masih menampakkan kekelaman warnanya, bagian dari sepertiganya malam, maka ia pun terbangun otomatis atas izin-Nya.

Ia mendudukkan diri di atas punggung ranjang. Ia kumpulkan nyawanya terlebih dahulu. Ringisan pelan lolos dari bibirnya. Kepalanya terasa sakit, seperti ditarik-tarik. Ah, mungkin karena sebelum tidur ia menangis begitu deras, sehingga kepalanya menjadi sakit.

Sesak di dada masih terasa, karena selama menangis, sekuat tenaga ia menahan isakan keluar dari mulutnya.

Tinggal di asrama begini, dalam satu kamar yang berisi delapan orang, kalau ia terisak-isak, pasti akan mengundang tanya banyak orang. Jelas, ia tidak mau begitu. Baginya, lebih baik menyimpan dukanya diam-diam.

Sejak dahulu, ia memang sesulit itu untuk membuka dukanya. Selalu tidak ingin membuat orang lain terlalu khawatir dan iba kepadanya. Ia ingin selalu terlihat kuat, walau kenyataannya, ia adalah makhluk tercengeng di dunia, menurutnya.

Entah mengapa, ia merasa lebih baperan saat ini. Hanya karena Rahma belum juga membuka hati untuk memaafkannya, rasa sesak begitu menyeruak di dalam dada. Jika sudah begitu, ingin rasanya menghilang saja dari bumi.

Bisikan kerap kali mendatangi hatinya. Terkadang, ia berpikir, kehidupan tidak pernah baik kepadanya. Selama 15 tahun tinggal di kediaman Deni, tidak setetes pun manisnya madu ia rasakan. Selalu pahit dari empedu yang ia terima.

Lalu, apakah setelah lepas dari kandang harimau itu, Aliya harus terbebani dengan perasaan sesak yang tercipta dari konflik antara dirinya dan Rahma?

Rasa betah seakan memusuhi Aliya. Ia menjauh, dan tidak membiarkan Aliya merasakannya lama-lama.

Kapan Aliya bisa bahagia?

Lekas batinnya beristigfar sebelum bisikan negatif itu semakin meracuni hatinya yang tengah merasa sendu.

Aliya pun berjalan gontai memasuki kamar mandi, diiringi rasa sakit kepala yang masih menghinggapi.

...

Seragam cokelat dikenakan oleh para santri di hari Jumat yang barokah ini. Begitu pun dengan Alvin, yang sudah rapi mengenakkan seragam pramukanya dan tengah memasangkan kacu di kerah. Ia selalu berkemas lebih awal, apalagi kalau hari Jumat. Sebab, pelajaran pertama di kelasnya hari ini adalah pelajaran tahfidz. Alvin selalu memuroja'ah (membaca ulang) hafalannya agar lebih lancar ketika disetorkan kepada Ustaz Jamal nanti.

Tempat ternyaman Alvin untuk memuroja'ah hafalannya berada di depan teras masjid—dekat pintu masuk ikhwan—. Dini hari begini, biasanya fajar baru menyingsing di ufuk timur. Sehingga, ketika ia berdiam di teras tersebut, maka ia juga bisa memandang kuasa Allah yang begitu indah terlukis di cakrawala sana.

Setelah mengucapkan isti'adzah (meminta perlindungan; biasa dikenal dengan ta'udz), Alvin pun mulai membacakan hafalannya. "Wa qaalatil yahuudu laysatin-nashara 'ala syai-i ..."

Sampai di penghujung halaman, Alvin tidak melanjutkan ke halaman berikutnya. Ia menghentikan dahulu muroja'ahnya, setelah melihat Dokter Lina mendatangi pesantren menggunakan motor gunungnya. Dokter satu-satunya yang berasal di kampung ini.

Alvin mengenal dokter tersebut, karena pernah ada penyuluhan dari pihak puskesmas Kampung Kembang ke Ar-Rahiim. Dulu, beliau datang bersama pegawai puskesmas lainnya dan juga satu dokter pria, bernama Rama, orang kota yang mengabdikan diri di kampung.

Dahulu, pernah dipaparkan, kalau di pesantren ada yang sakit cukup parah, bisa menghubungi Dokter Rama untuk ikhwan, dan Dokter Lina untuk akhwatnya.

Alvin jadi penasaran, siapa yang sedang sakit.

Ketika Dokter Lina melewati teras yang sedang ia diami, ia pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Assalamu'alaikum, Dokter Lina."

"Eh! Wa'alaikumussalam," balas Lina, ia kira tidak ada orang di sana, makanya ia terlihat cukup kaget.

"Ada yang sakit, Dok? Siapa?"

"Iya, A. Ada yang hubungin saya tadi teh. Di asrama putri ada yang pingsan, namanya, em ... Ini, Al ... Aliya."

Mata Alvin melebar mendengar teman yang pernah berbagi kisah bersamanya di pinggir sungai kala itu, pingsan. Jelas, ia sudah lama tidak berkabar ataupun mengobrol bersamanya. Mendapat kabar begitu, ia merasa tercengang.

"Innalillahi ... Semoga dia cepet sembuh, ya, Dok."

"Amin."

"Mangga atuh, Bu Dokter, diperiksa pasiennya. Semangat, ya, Bu Dokter," ucap Alvin terlihat bersahaja.

"Iya, siap! Terima kasih, ya," Alvin mengangguk setelah mendapat respons tersebut. "Kamu juga semangat menghapalnya, jaga kesehatan juga."

"Insyaallah."

"Permisi atuh, ya," pamit Lina.

"Iya, mangga."

Alvin memandang punggung Bu Dokter yang semakin menjauh. Tatapannya terlihat sendu. Bibirnya pun melengkung ke bawah.

"Kalau aja kita gak beda jenis, mungkin gue udah bisa jenguk dia," lirih Alvin.

Di asrama putri, Dokter Lina langsung memeriksa keadaan pasiennya yang masih terpejam.

Rahma yang melihat itu, hatinya terusik. Aliya terkapar lemah, membuat ia iba melihatnya. Terlebih lagi, dialah yang menemukan Aliya pingsan di atas sajadahnya tadi.

Posisi sajadah Aliya, dihamparkan dekat dengan ranjang Rahma. Sehingga, saat Aliya ambruk dari posisi tegaknya, Rahma mendengar suara jatuh yang cukup jelas.

Rasa khawatir terus-menerus mengusik hati Rahma. Apalagi, hubungannya dengan Aliya akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja. Rahma takut, kalau Aliya jadi sakit begitu karena kelakuannya selama ini. Aliya yang baik hati itu, pasti selalu memikirkan penerimaan maaf darinya.

Aku sudah sangat keterlaluan sepertinya. Aliya bisa sampai begini, gara-gara sikap kekanak-kanakkanku.

Rahma sangat berharap, Aliya bisa segera membuka matanya. Ia ingin segera memeluknya dan meminta maaf atas perlakuan tidak mengenakkan yang telah ia lakukan.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now