Terdengar - 36

65 5 0
                                    

Dear Diary,

Aku beruntung, memiliki kesempatan untuk berada di pesantren ini. Bagiku, pesantren ini, bukan pesantren biasa.

Ya, awalnya, aku memang ragu untuk ke sini, tapi setelah ada di sini, aku mendapatkan banyak hal yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Teman-teman yang supportif, asatidz yang mengayomi, dan Umi-Abi yang sudah seperti orang tua bagi kami.

Selain itu, hal yang tidak pernah kusangkakan, kudapat di sini. Ayah ternyata memiliki putra lain, dari pernikahan pertamanya dengan Bu Farah. Alvin, dia kakakku, umurnya hanya selisih tiga bulan denganku. Anak yang tidak diharapkan dan tidak dipedulikan ayah, karena terlahir dari rahim perempuan yang tidak dicintainya sepenuh hati.

Alvin, kakakku, dia sangat menyayangiku, sebagaimana Brian menyayangiku.

Bu Farah juga sama baiknya seperti Mbok Inah yang sudah mengasuhku. Payah sekali ayah, menyia-nyiakan Bu Farah. Tapi, ya, jodoh cerminan diri, ayah karakternya serupa dengan mamahku. Beruntung, Pak Davin bisa memiliki Bu Farah.

...

"Ciee gamis baru," ucap Rahma setelah Aliya keluar dari kamar mandi.

Aliya membalasnya dengan senyuman yang cerah.

Gamis warna sage yang tengah ia kenakan, merupakan pemberian dari seseorang yang sudah ia anggap sebagai Ibu—baru—yang tak lain adalah Farah. Perempuan baik hati, yang menyayanginya seperti anaknya sendiri. Kalau mamah Aliya, jelas tidak akan repot-repot membelikan Aliya pakaian, selama ini saja, selalu Inah yang memberikannya.

"Kamu beruntung banget Al, mantan istri ayah kamu itu baik banget. Walaupun kamu sama Alvin lahir dari rahim yang berbeda, tapi mamahnya Alvin gak pernah membeda-bedakan kalian," tutur Teh Anis yang tengah melipat kaos-kaosnya untuk dimasukkan ke lemari.

"Alhamdulillah, Teh," balas Aliya.

"Yuk, ke pameran, yuk!" ajak Teh Hasna yang sedang membawa keranjang sabunnya.

"Boleh, tuh! Mumpung kita libur," sahut Teh Zahra.

Oleh karena itulah, anak-anak kamar nomor dua saat ini berjalan beriringan menuju pameran. Butuh waktu 30 menit jalan kaki untuk sampai ke acara pameran yang enam bulan sekali diadakannya.

Di pertigaan, mereka memilih jalur ke kanan. Sebab, kalau lurus, bisa 45 menit jarak yang ditempuh. Bisa dibilang itu, jalan yang mereka pilih adalah jalan pintas.

Tak lama setelah mereka belok ke kanan, sebuah mobil berwarna putih melintasi jalan di jalur lain. Ia melaju menuju area pesantren Ar-Rahiim. Sesampainya di sana, pintu belakang mobil pun terbuka. Seorang remaja berumur 14 tahun, yang duduk di bangku kelas 8 SMP menapakki kakinya di tanah pesantren.

"Siapa itu?" gumam Ustaz Akmal yang tengah menyirami tanaman.

Ustaz Akmal lekas menghampiri dia yang baru saja datang. "Maaf, mau cari siapa?"

Sebuah senyuman lebar terukir di bibir remaja tersebut. Kemudian, ia membuka kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dan menyelipkan kacamatanya itu di kaos. Ia pun menyalami tangan Ustaz Akmal terlebih dahulu.

"Aku, Brian. Mau bertemu Kak Aliya sama Kak Alvin."

"Ooh, silakan duduk dulu di sana," ujar Ustaz Akmal sembari menunjuk area kantin dengan menggunakan kelima jarinya.

"Baik."

...

"Ra, Mil, nanti kita naik bianglala, yuk," ajak Naira dengan suara pelan, dia memang pemalu.

"Ngapain nanti? Sekarang aja lah, yuk!" balas Milka semangat.

"Mau ke mana?" tanya Teh Anis.

"Naik bianglala, Teh Anis," jawab Zahra.

"Ooh, silakan. Mau ke mana juga bebas, yang penting, pukul satu nanti, kita kumpul lagi di sini, di gerbang masuk ini," papar Teh Anis.

"Siap, Teh Anis!" kompak adik kelasnya menjawab.

Aliya, Rahma, dan Sabila pun ikut berpisah dari rombongan. Mereka memilih untuk melihat-lihat area pameran terlebih dahulu, mulai dari jajanannya, wahana bermain, dan barang-barang unik yang dijual di sana.

"Pameran ini berlangsung berapa lama sih, Bil?" tanya Rahma.

"Biasanya berlangsung selama dua minggu. Ini dimulainya baru hari Kamis kemarin kan, berarti masih lama lah selesainya," jawab Sabila.

"Lama juga, ya," opini Aliya.

"Kalau hal-hal yang membahagiakan mah, justru kurang lama dua minggu tuh," komentar Sabila. "Eh, ke sana, yuk! Biasanya kedai makanan di sebelah sana tuh, macem-macem. Ada yang khas korea, jepang, yang ke barat-baratan, sama tradisional. Kayak kuliner mancanegara deh pokoknya!"

"Wah, boleh, tuh!" gubris Rahma dengan semangat.

"Ayo, ayo!" Aliya pun tak kalah semangatnya.

...

"Kalian mau pergi ke pameran gak? Mumpung libur," tanya Alvin kepada Alpha dan Ghani yang sibuk merebahkan diri di kasur. Mereka terlihat tidak bersemangat.

"Minggu depan aja deh, lagi mager," balas Ghani.

"Eh, Alvin ada di sini ternyata," ucap Ustaz Akmal yang akan pergi ke area kamar nomor lima, tapi langkahnya terhenti ketika melihat orang yang dicarinya sedang singgah di kamar nomor satu. "Di depan ada yang nyariin kamu. Namanya, Brian. Dia minta ketemu Aliya sama kamu, tapi Aliyanya lagi jalan-jalan sama teman sekamarnya. Jadi, kamu temuin, ya. Jangan ke mana-mana dulu. Kalau mau jalan-jalan, pending aja dulu."

Setelah mendapatkan kabar tersebut, Alvin pun menunda keinginannya untuk memaksa Ghani dan Alpha pergi ke pameran. Ia lekas ke area kantin untuk menemui adik se-ayahnya yang lain.

"Udah lama nunggu?" tanya Alvin setibanya di sana sembari menduduki kursi.

Brian tersenyum. "Enggak kok, Kak. Santai saja."

"Jadi, ada apa ini, Brian?"

"Malam itu, aku dengar semuanya. Mbok Inah juga dengar. Setelah Kak Alvin dan keluarga Kakak pulang, aku juga dengar semua yang dibicarakan ayah dan mamah di sana. Termasuk, soal Kak Aliya yang dilarang menginjakkan kakinya lagi di rumah."

Alvin cukup kaget mendengarnya. Sesuatu yang Aliya tutupi susah payah, justru terungkap sendiri oleh pelaku pengancamnya.

"Kak Alvin tau?"

"Em, tau. Tapi, lengkapnya, kamu bicarakan langsung sama Aliya. Gimana pun, cuma Aliya yang berhak bicara soal itu."

Brian tersenyum. "Baiklah, tapi anter ke pameran buat jemput Kakak, ya."

"Ya, gak masalah." Alvin tentunya bahagia, karena sejak tadi ia ingin ke pameran. Walaupun untuk saat ini, ia hanya akan melihat area pamerannya saja, tapi tidak apa-apa, yang penting pergi ke pameran.

"Hm, pasti Kakak bahagia banget deh di sini, apalagi sekarang udah ada Kak Alvin."

"Ya, alhamdulillah, Yan. Sebagai kakak, aku harus bisa membuat adiknya bahagia."

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang