Kenalan - 2

330 14 0
                                    

Alvin tidak terlalu berat tinggal di pesantren setelah ia melihat-lihat fasilitas yang ada di pesantren tersebut.

Alvin mengakui, benar adanya kalau pesantren ini memang bagus. Arsitektur masjidnya indah, besar, bersih, dan rapi. Mereka pasti sangat menjaga kebersihan dan keindahan di sini. Toilet umum yang berada dekat masjid pun sama bersihnya, tidak bau seperti toilet di SMPnya dulu.

Ia juga melihat ruangan kelas yang ada di pesantren tersebut, meja dan kursinya seperti yang ia lihat di bangku perkuliahan, kursi chitose. Perpustakaannya juga luas, di dalamnya dominan memang buku-buku ilmiah dan juga kitab-kitab tebal, tapi stok buku fiksinya juga terbilang lumayan banyak—itupun novel fiksi islami semua.

Masih banyak fasilitas lainnya lagi, seperti aula, lab komputer, taman bermain karena di sana juga membuka RA; lalu ada dapur, dua ruang makan, kantin dan koperasi, atm, dan area ruang eskul—pintu menuju ke area tersebut dikunci rapat. Selain itu, pemandangan hijaunya sawah dan juga gunung yang menyejukkan mata bisa ia lihat di saung bambu dekat kolam ikan besar milik pesantren.

Untuk area asrama putra, ada delapan ruangan; yang di mana lima ruangan untuk ditinggali santri, dan tiganya lagi untuk ustaz muda yang mengabdikan diri untuk mengajar di sana.

Di setiap ruangan kamar santri, ada empat kasur tingkat, delapan lemari kayu satu pintu, dan satu kamar mandi di dalamnya.

Kalau soal tempat jemuran, itu ada di lantai kedua. Tangganya ada di samping kamar nomor satu.

Selain itu, di pesantren tersebut juga terdapat cctv, yang bagi Alvin, hal tersebut menunjukkan kesan mewah pesantren tersebut.

"Ini kamarnya, ya, Alpha, Ghani. Di dalam sudah ada satu orang, namanya Alvin, kalian bisa berkenalan. Oh iya, siap-siap salat zuhur, ya. Sebentar lagi mau masuk waktu zuhur," terang Ustaz Akmal di luar kamar.

Alvin yang sedang merebahkan tubuhnya di kasur pun lekas duduk setelah mendengar ucapan Ustaz Akmal, yang tadi juga mengantarnya ke depan pintu kamar itu.

Dua orang yang bernama Alpha dan Ghani pun masuk ke dalam kamar tersebut sembari membawa barang-barangnya.

Sementara itu, di kamar Aliya, terdapat empat santri lain yang akan menjalani karantina bersamanya, Fatma, Celine, Queen, dan Rosa.

Mereka sudah saling berkenalan satu sama lain.

Menurut keterangan mereka masing-masing, Fatma dan Queen masuk ke Ar-Rahiim karena mereka benar-benar ingin mendalami ilmu agama, bisa dibilang mereka adalah pemudi hijrah. Sedangkan, Rosa, dia masuk ke pesantren karena permintaan dari kakaknya, ia yatim-piyatu, dan kakaknya hanya bisa menyekolahkannya ke sekolahan yang biayanya tidak besar. Lalu, Celine, ia masuk ke pesantren atas permintaan almarhum kakeknya.

"Kalau kamu, Aliya, masuk ke sini terpaksa atau enggak? Karena apa juga?" tanya Fatma yang terlihat humble sejak awal berjumpa.

Aliya tidak mau menceritakan kemalangan hidupnya yang tidak mendapat kasih sayang orang tua sejak kecil. Ia ingin terlihat baik-baik saja di depan teman-teman barunya itu. "Aku? Aku tertarik sih sama pesantrennya. Liat dari brosur, keren banget pesantrennya."

"Ooh ...," mereka kompak ber'oh' ria.

"Iya sih, keren. Selain dari alasan aku tadi, daya tarik pesantrennya juga yang bikin aku tertarik," ucap Celine sembari tersenyum lebar.

"Eh, bentar lagi azan, kita wudu, yuk," ajak Rosa.

"Ayuk!"

...

Setelah salat zuhur berjama'ah, Alvin dan dua calon santri lainnya kembali ke kamar untuk mengistirahatkan diri, karena pukul dua siang nanti akan ada acara pembukaan karantina.

"Kawan-kawan, kita kenalan dulu, yuk. Soalnya, kita sekamar selama 30 hari, tidak mungkin, kan, kalau kita tidak saling mengenal?" ucap Alpha mencairkan suasana yang sedari tadi terasa canggung.

"Bener lo. Hayuklah kita kenalan," balas Ghani.

"Ok," timpal Alvin.

"Baik, saya dulu, ya. Pertama, perkenalkan nama saya Alpha. Kedua, saya mau minta bantuannya kepada kalian, karena saya ini baru masuk Islam dua minggu lalu."

Alvin dan Ghani terperangah mengetahui Alpha adalah seseorang yang baru saja menjadi muslim. Mereka takjub dengan Alpha, dia baru masuk Islam, tapi semangatnya untuk belajar Islam di pesantren begitu besar. Padahal, orang yang terlahir sebagai muslim saja tidak sesemangat itu masuk ke pesantren. Alvin saja tadi terlihat cemberut.

"Nyokap bokap lo setuju?" tanya Ghani yang masih merasa tak percaya.

Alpha mengulum senyuman. "Orang tua saya ... mereka sudah tidak menerima saya."

Rasa iba seketika merasuk ke dalam hati Alvin dan Ghani.

"Tapi, alhamdulillah, saya menemukan pesantren ini setelah bertemu dengan Ustaz Malik. Sehingga, saya bisa mempelajari Islam, dan merasakan kehangatan keluarga baru saya di sini," lanjut Alpha yang terlihat berkaca-kaca. Mungkin, kenangan buruk ketika ia diusir oleh keluarganya sedang terbayang di pikirannya.

Alvin mampu merasakan pedih yang Alpha rasakan. Meski, mungkin tidak akan sama rasanya. Akan tetapi, Alvin sangat tahu dengan jelas, bagaimana rasanya diasingkan dan tidak dipedulikan. "Alpha, kita pasti bakalan jadi teman baik lo."

"Pasti itu," timpal Ghani.

Di area asrama putri, Aliya menatap kagum perempuan seusianya yang tidak merasa kegerahan atau merasa kerepotan mengenakkan kerudung yang menjuntai hingga ke pahanya. Aura perempuan tersebut terasa positif dan menyejukkan setiap mata yang memandangnya.

"Kenalkan, nama aku Sabila," ucapnya.

"Hai, Sabila," balas Aliya dan teman-temannya sembari melambaikan tangan ke arah Sabila.

"Kamu peserta karantina juga?" tanya Queen ramah.

"Enggak, aku putrinya Abi, eh, maksudnya Ustaz Malik."

"Ooh ...."

"Nanti aku bakal bantu kalian selama menjalani karantina di sini. Yang have fun, ya, di sini. Kalau mau curhat, Sabila bisa jadi pendengar yang baik," tutur Sabila diakhiri dengan mengacungkan kedua jempolnya.

"Siap, Sabila, terima kasih banyak," balas Fatma mewakili.

"Dengan senang hati," ucap Sabila.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now