Dipanggil Bersama - 7

132 11 2
                                    

Lingkungan yang baik dan pembiasaan yang baik mampu menghasilkan perubahan yang lebih baik bagi diri seseorang. Itulah yang dirasakan oleh anak-anak karantina selama 30 hari ini, mereka merasa kebiasaan yang mereka lakukan lebih baik daripada sebelum mereka datang ke pesantren itu.

Awal-awal berada di pesantren, rasa kemalasan begitu kuat menjangkit di hati mereka, ketika harus selalu salat lima waktu di masjid secara berjama'ah dan kegiatan-kegiatan lainnya lagi. Untungnya, hal tersebut bisa teratasi dengan baik tatkala ada teman yang rajin, sehingga rasa semangat tersalurkan pada mereka yang malas.

Bangun subuh yang juga selalu susah, apalagi bagi Ghani yang susahnya bukan main, perlahan-lahan ia berubah semangat bangun subuh. Bahkan, semakin ke sini, ia jadi rajin bangun lebih awal, bahkan sudah mandi lebih dulu. Katanya, ia baca buku di perpustakaan, kalau mandi subuh itu menyehatkan, dan tentunya bikin fresh di pagi hari.

Untuk hapalan, yang awalnya terasa sulit sekali. Namun, karena selalu dibiasakan empat kali sehari setoran hapalan, lama-kelamaan yang sulit sekali itu berubah jadi agak sulit atau sedikit sulit. Walau masih ada sulitnya, tapi setidaknya kadarnya sudah berkurang.

Perihal target, semuanya mencapai target, ada yang 1 juz dan 2 juz, tapi ada juga yang melebihi target, 2,5 juz, yang diraih oleh Fatma.

Kalau untuk matan tuhfatul athfal, semuanya sama, tinggal setengah lagi.

"Aku pamit dulu, ya," ucap Celine sembari bersalam-salaman dengan teman sekamarnya selama karantina.

"Aku juga, ya," sambung Queen.

"Sampai jumpa lusa, ya, Fatma, Aliya," tambah Rosa yang juga akan pulang.

Fatma dan Aliya memang tidak pulang, seperti kata Rosa, mereka akan bertemu lagi lusa. Sebab, lusa semua santri sudah masuk ke pesantren ini. Untuk santri dan santriwati baru akan melaksanakan MTP (Masa Ta'aruf Pesantren), untuk kelas tiga menjadi panitia MTP, dan untuk kelas dua mereka ada acara tahfidz camp yang nantinya diselenggarakan di perkebunan milik Abi.

"Fii Amanillah," ucap Fatma dan Aliya kompak.

Di asrama putra, hanya Ghani saja yang akan pulang. Jika santriwati sudah berkemas dan berdandan rapi, Ghani masih membereskan pakaiannya ke tas ranselnya.

"Gue udah gak sabar ketemu nyokap bokap, terus ceritain gimana serunya berkawan sama lo pada. Tadinya, gue pikir, gue gak akan betah lho di sini. Ternyata, gue justru betah banget. Ini pesantren udah jadi rumah kedua bagi gue," celoteh Ghani sembari memasukkan pakaiannya yang baru saja ia lipat.

"Anak mamih papih banget, ya, lo," ledek Alvin diakhiri tawa.

"Gitulah, Mas Alvin, gue ini anak satu-satunya soalnya."

Alpha hanya tersenyum menyaksikan obrolan mereka berdua, ia tidak menimbrung obrolan. Sebab, di dalam lubuk hatinya, ia juga ingin pulang ke rumah kedua orang tuanya. Namun, ia masih belum berani untuk menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Bayangan ketika ia diusir masih terasa memilukan ketika terlintas di pikirannya.

"Makasih, ya, udah ngajarin gue nyuci, nyetrika, bersih-bersih, dan makasih juga udah maksa gue nyemlung di empang. Gue kira bakal gatel-gatel dan membahayakan, ternyata enggak, ya."

"Kebanyakan overthingking sih lo!" komentar Alvin sembari mengingat kejadian seminggu yang lalu, di mana Ghani ogah-ogahan ketika Abi mengajak mereka untuk membedah ikan di kolamnya.

"Ya, kan, gue gak pernah," alibi Ghani diakhiri dengan bibirnya yang mengerucut. "Terus, ngebon juga seru. Gue jadi tertarik buat nerusin perkebunan bokap gue," lanjut Ghani berceloteh dengan ceria

"Wah, jadi jalan buat kamu nentuin cita-cita, ya," Alpha pun akhirnya menimbrung obrolan mereka.

"Haha, iya, ya. Selama ini gue emang ngalir aja hidup, gak pernah mikirin cita-cita."

"Ghaniii ... ada orang tua kamu, mereka sudah sampe," ucap ustaz Akmal yang menghampiri ke kamar mereka. "Ternyata ngemasnya belum beres."

"Eh, bentar lagi kok, Ustaz." Ghani langsung buru-buru membereskannya.

"Ya, gitulah, Ustaz. Anak ini disuruh beresin dari semalem malah bilang 'besok pagi juga jadi'," ucap Alvin sembari meniru gaya bicara Ghani.

"Dasar emang si Ghani mah," balas ustaz Akmal sembari terkekeh.

Setelah mereka yang pulang dijemput orang tuanya, dan juga berkenalan dengan teman anak-anaknya beserta orang tua yang datang, mereka pun pergi dari area pesantren, membawa anaknya kembali ke rumah dan melampiaskan kerinduan yang selama ini bersemayam di dalam dada.

Fatma, Aliya, dan Sabila kini tengah bermain bersama di rumah Abi. Begitu pun dengan Alvin dan Alpha, mereka juga ada di sana, tapi mereka berdua mengobrol di kamar Alpha. Sementara, ketiga cewek-cewek itu berada di ruang tamu sembari memainkan play doh bersama adik Sabila yang berumur delapan tahun.

"Walau permainannya anak kecil banget gitu, ya. Tapi, seru, ya?" ucap Sabila sembari mencetak play doh tersebut ke bentuk donat.

"Asli, Bil. Aku juga di rumah suka main ini. Adik aku punya tuh dua, yang eskrim sama pizza. Tiap hari suka mainin ini," tutur Fatma yang sejak tadi memang anteng sekali bermain itu.

Aliya hanya tersenyum mendengarnya. Ia tidak bisa bercerita soal pengalamannya bersama play doh. Seperti biasa, semuanya pedih bagi Aliya. Ketika ia hendak memegang mainan itu saja, mamahnya langsung memborbardirnya dengan kemarahan demi kemarahan.

"Eh, Teh Rara, ada apa Teh?" tanya Sabila ketika melihat ustazah muda yang baru mengajar setahun di pesantren tersebut tiba di depan pintu rumah.

"Mau manggil Aliya sama Alvin. Sudah ada yang menjenguk di depan."

"Cie, dipanggil barengan sama Alvin," goda Fatma sambil menyenggol lengan Aliya.

Sabila terkekeh melihat raut wajah Aliya yang terlihat kesal dan berucap istigfar.

"Bentar, manggil Alvin dulu biar kamu barengan ke sananya, Al." Sabila ikut menggoda.

"Eh, Bil," protes Aliya.

Sabila tidak menggubris ucapan Aliya, ia langsung beranjak dan menghampiri kamar Alpha yang ada di bawah tangga.

"Alpha!" seru Sabila. "Itu, ke Alvin, ada yang jenguk."

"Iya, Sabila," balas Alpha dan Alvin berbarengan.

"Bareng ke depannya sama Aliya, ya. Nitip!" tambah Sabila yang seketika membuat Aliya tercengang.

"Sabilaa ...," lirih Aliya yang tak sanggup berkata-kata banyak.

Sabila tertawa kecil sembari menghampiri keberadaan Aliya, Fatma, dan adiknya kembali.

Tak lama, Alvin pun keluar dari kamar dan menghampiri keberadaan mereka. "Ayo, Aliya!" ajak Alvin tanpa segan.

Aliya yang sudah terlanjur malu pun terpaksa mengiyakan. Ia mengangguk, lalu berjalan di belakang Alvin untuk menghampiri ustazah Rara yang masih ada—duduk di kursi depan.

"Kalian ke depan berdua aja, ya. Teteh ada keperluan bareng ustazah di asrama. Tapi inget, jaga jaraknya, jangan macem-macem, ya. Jangan gandengan, awas lhoo," nasehat Ustazah Rara yang terdengar tegas, tapi juga mampu mengundang tawa.

"Siap, Ustazah," balas Alvin yang sedari tadi terlihat biasa saja, tidak seperti Aliya yang merasa malu.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang