Eskul - 20

76 5 0
                                    

"Wallahu samii'un 'aliim ... allahummarhana bil qur'an." Aliya menutup bacaannya setelah menyetorkan hafalan yang berakhir di ayat 224 surat Al-Baqarah.

"Alhamdulillah ...," ucap Ustazah Kaila selaku musyrifah (pembimbing) eskul tahfidz akhwat. "Bisa dipertahankan setor hafalan dua lembarnya, ya. Semoga ke depannya bisa setor tiga lembar, sesuai target, ya, Aliya. Insyaallah kamu bisa! Tetap semangat!"

Senyuman Aliya mengembang setelah mendengar harapan dan juga motivasi dari ustazah Kaila. Ya, selama empat minggu ini, usaha Aliya dalam mengikuti eskul tahfidz cukup signifikan. Pada minggu pertama dan kedua, Aliya hanya bisa setor satu setengah lembar. Kemudian, pada minggu ketiga dan keempatnya, meningkat menjadi dua lembar. Perkembangan yang cukup bagus bagi dirinya yang merupakan jebolan sekolah umum.

Setor hapalan pasti ada untuk semua santri. Bedanya, santri biasa diwajibkan setor dalam satu minggunya hanya satu lembar, sedangkan untuk yang mengikuti eskul, harus setor tiga lembar dalam satu minggu. Target dalam tiga tahun pembelajarannya pun berbeda. Jika santri biasa target dalam tiga tahunnya 10 juz, maka untuk yang mengikuti eskul targetnya adalah 30 juz.

Aliya memilih eskul tersebut, memang belum murni untuk menjaga kalam-Nya. Ketulusannya belum benar-benar putih. Tentunya, ada alasan lain mengapa ia memilih eskul tersebut. Tak lain, agar ia punya alasan, fokus menghapal, agar Inah maupun Brian tidak mencurigai ada ancaman di balik ketidak pulangan Aliya.

Sungguh riskan. Namun, mau bagaimana lagi.

Aku yakin, lambat laun ... aku akan menikmati kegiatan eskul ini sepenuh hatiku, batin Aliya.

Ruangan eskul tahfidz, dipakai oleh akhwat. Sedangkan, untuk ikhwannya, mereka melakukan kegiatan di saung yang ada di area esktrakulikuler. Pesantren Ar-Rahiim memang hebat, menyediakan area ruang-ruang eskul seukuran ruangan kelas.

"Wa maa taf'aluu min khairin fa-innallah bihii 'aliim ... shadaqallahul 'azhiim." Ghani menutup bacaannya pada ayat ke 215 surat Al-Baqarah.

"Masih satu setengah lembar, ya. Tidak apa-apa, pelan-pelan saja. Insyaallah, nanti kamu bisa setor tiga lembar, seperti halnya santri eskul tahfidz yang lain," ucap Ustaz Jamaludin (27), yang akrab di sapa Jamal dengan ramah.

Musyrif muda yang bersahaja dan juga memiliki paras baby face itu membuat Ghani tidak terlalu tertekan mengikuti eskul yang—sebenarnya—tidak ia ikuti sepenuh hati itu. Sengaja memang, ia ingin menghindari pertanyaan Alvin dan Alpha, yang masih suka menanyainya, walau sudah tak sesering dulu.

Set!

Sebuah anak panah menancap di papan target berwarna merah. Sontak sorak dan tepuk tangan pun riuh di lapangan pesantren Ar-Rahiim. Walaupun tidak menancap di bagian kuningnya, setidaknya merah sudah cukup baik untuk mencetak poin dalam ujian bulanan panahan yang merupakan program eskul OAN.

"Good job, Alvin!" seru Alpha yang menonton ujian tersebut di bangku penonton.

Ya, Alvin mengikuti eskul tersebut dengan keinginannya yang kuat. Ia ingin menjadi seseorang yang andal dalam olahraga renang, memanah, dan juga berkuda. Selain itu, ia juga ingin melatih konsentrasinya dan juga melatih dirinya untuk bisa bersikap tenang meskipun pikiran dan hatinya berkecamuk. Sebab, ketiga olahraga tersebut, tidak akan bisa terlaksana dengan baik jika pelakunya tidak bisa tenang.

OAN memang mengutamakan tiga olahraga tersebut. Akan tetapi, di dalam OAN juga mereka mempelajari ilmu-ilmu beladiri. Membuat peserta eskul tersebut menjadi kuat, tangkas, dan juga gagah.

Mengenai Alpha, ia bisa menjadi penonton ujian eskul OAN karena hari kumpul eskulnya dilaksanakan pada hari Jumat, bukan hari Senin. Alpha mengikuti IPMA, sama halnya dengan Sabila. Hal itu dikarenakan permintaan Abi kepada mereka berdua, agar kelak bukan hanya memakmurkan masjid dalam lingkup anak-anak sekolah Ar-Rahiim saja, tapi juga bisa memakmurkannya bersama masyarakat setempat. Jadi, Abi berharap, mereka yang merupakan kedua anaknya, dan tinggal di lingkungan tersebut, bisa lebih power full dalam menjalankan roda eskul IPMA Ar-Rahiim.

Jika Alpha hanya mengikuti IPMA saja, lain dengan Sabila. Sabila mengikuti OSIS. Itulah mengapa, pada deretan penonton akhwat, tidak ada batang hidung Sabila di sana, ia sedang kumpul bersama rekan-rekan satu organisasinya dan menerima materi dari kakak kelas.

Terlihat dalam ruangan OSIS, terdapat meja dan kursi, layaknya kelas yang biasa mereka tempati ketika KBM. Bisa dibilang, ruangan OSIS merupakan ruangan mewah kedua setelah ruang eskul Estetika. Selain meja dan kursi, terdapat dua lemari kayu dua pintu, dispenser, kulkas yang katanya merupakan hadiah lomba, dua komputer, satu printer, proyektor, dan lain-lain.

Senior mereka dari kelas sebelas sedang menuliskan materi mengenai tugas-tugas dari jabatan yang ada di OSIS. Sementara, kakak kelasnya dari kelas dua belas sedang melakukan rapat di ruang kelas untuk membahas laporan pertanggung jawabannya, karena sebentar lagi pemilihan ketua OSIS baru akan diselenggarakan.

Di sana, Sabila menatap tak suka ke arah Bima yang memilih tidak menulis. Biasanya, Bima suka menulis materi OSIS. Namun, pada kesempatan kali ini, entah sengaja atau tidak, dia datang tanpa membawa alat tulis. Lalu, ketika kakak kelas menyuruhnya untuk membawa buku terlebih dahulu, Bima memilih tidak menulis.

"Ah, gak usah pake buku. Aku catat di otak aku aja, Kang," ucap Bima pada kakak kelasnya. Panggilan untuk senior OSIS di sana adalah Akang-Teteh. "Aku pasti bakal paham kok."

Nada bicaranya yang terdapat bumbu-bumbu angkuh, membuat Sabila jengah melihat kelakuannya. Sudah banyak sekali kabar mengenai keangkuhan Bima yang sampai di telinganya. Sabila tidak habis pikir dengannya.

Semoga Allah beri dia hidayah, batin Sabila.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang