Kabur - 9

135 10 0
                                    

Aliya dan Wina tidak duduk di meja yang sama lagi dengan Farah maupun Alvin. Sebab, bagi Aliya maupun Alvin, mereka menginginkan quality time-nya masing-masing dengan orang tersayang mereka. Walhasil, Aliya dan Wina pun berada di meja yang jaraknya agak jauh dengan keberadaan Alvin, selisih tiga meja saja.

"Mamah tuh bawa makanan kesukaan kamu loh," ucap Farah sembari mengeluarkan kotak makan dari totebag yang ia bawa.

"Tadaa ...! This is croffle." Farah membuka tutup kotak makannya dan menunjukkan isinya; lima buah croffle dengan saus cokelat yang tersimpan dalam wadah kecil yang tertutup rapat.

"Thank you so much! Alvin udah lama banget gak makan itu. Di sini, gak ada alatnya sih, Mah."

"Ya udah, kamu makan, Sayang. Ini Mamah bikin spesial buat kamu."

Aliya yang tengah berbalas pesan dengan Inah, menggunakan pesan suara, sejenak melirik ke arah Alvin dan ibunya. Aliya langsung terfokus pada apa yang dipegang Alvin. Alvin tengah memasukkan croffle ke mulutnya, yang sebelumnya ia cocol ke saus cokelat. Pasti, itu Farah yang membawanya.

Melihat croffle, ia jadi cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Makanan itu, sangat Aliya sukai. Jika uang simpanannya sudah banyak, Aliya suka mengambil sebagian uang tersebut untuk membuat croffle sendiri.

"Kak Al," panggil seseorang yang dirasa Aliya tak asing di telinganya, begitu pula di telinga Wina. Mereka berdua pun lantas menoleh ke sumber suara. Seketika, mereka berdua pun terbelalak ketika menjumpainya berada di sekitar mereka.

"Brian? Bukannya kamu dilarang keras oleh tuan dan nyonya?" tanya Wina yang menyaksikan secara langsung betapa tegas Vina dan Deni melarang Brian ikut bersamanya ke pesantren.

Brian tak langsung menjawab. Ia duduk terlebih dahulu di kursi, sembari menyimpan keresek yang tertera logo sebuah toko kue. Hal itu, lantas membuat Aliya penasaran dan segera melihat apa yang ada di dalamnya.

Aliya tersenyum lebar setelah melihat apa yang ada di dalamnya. Baru saja ia melihat Alvin memakan sebuah croffle, kali ini, croffle itu ada di depan matanya. Pemberian spesial dari adik kesayangannya.

"Croffle! Makasih banyak, Biyan," ucap Aliya yang langsung berhambur memeluk adik kesayangannya itu.

Brian membalas pelukan Aliya dengan erat, menyiratkan kerinduannya yang teramat dalam kepada Aliya. Akhirnya, setelah 30 hari tak berjumpa, tak bersama, tak berbagi dan berbincang, kerinduan Brian pun terpupus dalam pertemuan ini.

Alvin seketika berhenti mengunyah tatkala netranya memperhatikan Aliya yang begitu akrab dengan seorang pria yang baru datang menemuinya. Sepertinya, itu saudaranya. Entah adik atau kakak, karena perawakan pria itu lebih tinggi daripada Aliya.

Andaikan saja, Naya ataupun Arsen bisa akrab denganku. Pasti bahagia sekali rasanya. Seperti halnya Aliya yang bahagia berjumpa dengan pria itu, batin Alvin merasakan kecemburuan, karena tak pernah merasakan betapa serunya mempunyai hubungan akrab dengan adiknya.

Jika saja Omah tidak mempunyai gengsi yang tinggi, mungkin Alvin akan hidup bahagia di rumahnya. Rumahnya tidak akan terasa seperti neraka. Ia akan merasakan indahnya bersaudara dan hangatnya kebersamaan.

Alvin jadi teringat, ketika ia menguping pembicaraan kedua adiknya di kamar Farah. Sebelumnya, Farah memanggil Arsen dan juga Naya ke dalam kamar, karena saat di taman, Arsen maupun Naya tidak mengacuhkan Alvin yang jatuh karena tersandung.

"Coba katakan pada Mamah, kenapa kalian gak bantuin kakak kalian yang terluka? Kakinya berdarah lho. Apa kalian gak kasian sama Kakak kalian? Mamah gak pernah lho ngajarin kalian buat jadi orang yang cuek. Mamah kan selalu ajarin kalian untuk saling tolong-menolong."

"Tadinya Naya mau bantu, Mah. Tapi, Kak Arsen gak bolehin Naya," balas Naya yang waktu itu masih kelas satu SD.

"Lho, Arsen kenapa gak bolehin Naya bantu Kak Alvin?" tanya Farah sembari menatap mata Arsen dengan tatapan lembut.

"Omah kan udah bilang ke Naya sama Arsen, kalau kita gak boleh deket-deket sama Kak Alvin. Gak boleh ngobrol sama ngajak main," jawab Arsen sembari tertunduk malu di depan Farah.

Hati Alvin teriris mendengarnya. Rasa sesak pun langsung berkumpul memenuhi rongga hatinya, hingga tetesan-tetesan air pun tak bisa tertahan lagi di pelupuk matanya.

"Kalau gak nurut sama Omah, Arsen takut. Omah kan galak," lanjut Arsen.

Farah sejak tadi tersenyum melihat Aliya sangat bahagia dengan kehadiran saudaranya. Farah bahagia, masih ada yang menyayangi Aliya. Masih ada yang menyemangatinya ketika serangan-serangan tajam dari mulut orang tuanya menghantam hatinya terus-menerus.

Seketika, Farah pun teringat akan putranya. Jika putranya melihat hal tersebut, hatinya pasti akan teriris. Benar saja, putranya tengah menyaksikan pemandangan di depannya dengan tatapan penuh harap.

"Aliya beruntung, ya, banyak yang sayang kepadanya. Tidak seperti Alvin, yang bahkan, adik-adik Alvin saja tidak bisa dekat dan mencurahkan perhatiannya."

Farah memegang bahu Alvin sembari tersenyum. "Alvin, dalam hidup ini, kita tidak bisa membandingkan nasib kita dengan orang lain. Sebab, setiap orang punya ujian hidupnya masing-masing."

"Alvin punya ujiannya sendiri. Aliya pun punya ujiannya tersendiri."

Alvin menatap lekat mata Farah yang tengah menjelaskan kepadanya. Sepertinya, Mamah tahu apa yang tengah Aliya tanggung.

"Jika kita lihat, ada orang yang tampil begitu bahagia. Kita tidak tahu, hal-hal di baliknya, Nak. Kita tidak tahu, apa saja yang sudah Allah ambil dalam hidupnya. Kita tidak tahu, kepahitan apa yang sedang ia reguk diam-diam," jelas Farah mengingat percakapannya dengan Wina tadi, kalau Aliya sangat tidak ingin kesedihannya diketahui orang-orang.

"Iya, Mah. Mamah benar," komentar Alvin, ia pun langsung teringat dengan temannya, Alpha, yang harus pergi dari keluarganya setelah menjadi mu'allaf. "Oh, iya. Mah, teman Alvin ada yang mu'allaf. Mamah mau bertemu dia?"

"Boleh, Sayang."

Alvin dan Farah pun beranjak dari sana. Sementara, Aliya merasa resah setelah Brian menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke pesantren.

"Mamah sama Ayah bakal nyariin kamu kalau kamu sampai kabur begini," ucap Aliya cemas.

"Gak pa-pa, biar mereka sekalian ke sini, terus diruqyah sama Pak Ustaz!" balas Brian tidak ada takut-takutnya, berbeda dengan Aliya yang selalu jadi sasaran kemarahan Vina dan Deni—rasa cemas benar-benar menghantuinya sekarang ini.

"Wush! Kamu itu," komentar Wina. "Yang ada, tuan sama nyonya marahin Neng Aliya."

"Brian gak akan biarin itu, Mbak. Percaya sama Brian," ucap Brian yakin.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now