Dijenguk - 8

131 11 0
                                    

Selama karantina, ada jadwal masak, digilir setiap harinya dengan dua perempuan dan satu laki-laki, didampingi oleh ustaz dan juga ustazah yang merupakan suami-istri, Ustaz Jafar dan Ustazah Bintun. Namun, tidak setiap hari ustaz dan ustazah ada, tapi tenang saja, santri dan santriwati tidak pernah macam-macam, cctv pun selalu mengawasi mereka. Apalagi, untuk anak-anak yang tahu Allah Maha Mengawasi, ada dan tidak adanya pengawasan dunia, mereka selalu memiliki rasa takut berbuat di luar batas, karena cctv Allah jauh lebih hebat, mengawasi kapan pun dan di mana pun.

Setiap giliran masak selalu berbeda-beda. Akan tetapi, khusus untuk Aliya, ia setiap hari memasak, karena Aliya sudah banyak tahu tentang dunia masak dan masakannya pun benar-benar lezat.

Kadang, kalau Ustaz Jafar atau Ustazah Bintun sedang ada keperluan, Aliya menjadi kepala kokinya. Kalau biasanya—saat ada mereka—Ustaz Jafar dan Ustazah Bintun yang lebih dominan memberi arahan, Aliya hanya mengoreksi sedikit agar makanannya terasa lezat.

Selama Aliya di dapur, Aliya kenal satu per satu karakter dari rekan-rekannya. Apalagi, yang laki-laki. Dari ketiga orang peserta karantina itu, hanya Ghani yang paling cerewet, ia tidak segan dan malu untuk berceloteh sekalipun di hadapan ustaz dan ustazah. Kalau Alpha, meskipun tidak secerewet Ghani, tapi terkesan asik jika sudah mengobrol. Begitupun Alvin, mengobrol soal bahan makanan dan macam-macam masakan bersamanya terkesan asik. Bisa dibilang, Alvin juga jago memasak, tapi tidak sehebat Aliya. Makanya, Alvin tidak setiap hari memasaknya.

Walaupun, pernah satu tim di dapur, tapi selama perjalanan, mereka tidak banyak mengobrol. Keduanya saling membisu satu sama lain. Mungkin, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, karena akan bertemu dengan orang tersayangnya.

"Alvin!" seru Farah yang tengah duduk di meja kantin bersama Wina.

"Lho, Mbak Wina?" gumam Aliya ketika melihat kehadiran Wina dan tidak ada Inah di sekitar sana.

Alvin melirik Aliya sedikit setelah menangkap gumamannya. Ia juga sama herannya, mengapa mamahnya dengan orang yang menjenguk Aliya itu bisa duduk bersama?

Mereka berdua pun sama-sama menghampiri meja tersebut tanpa banyak bertanya lagi.

"Ooh jadi ini Mbak Wina, yang namanya Aliya," ucap Farah setelah melihat sosok Aliya. "Manis, ya," lanjutnya memuji.

Aliya mendadak tersipu mendengar ada yang memujinya selain Inah. "Terima kasih, Bu."

"Sama-sama, Sayang."

Mengingat, selama ini ibunya ataupun teman-temannya yang membulinya—karena teman-teman Aliya salah paham kalau Aliya anak pembantu—Aliya merasa senang sekali ada orang lain yang memujinya. Semenjak berada di Ar-Rahiim, banyak kata-kata baik yang ia dengar. Aliya sangat bersyukur sekali.

Sementara, Alvin merasa aneh mendengar ibunya memuji seorang perempuan—selain Naya atau Omah—di hadapannya. Secara, Alvin tidak pernah berhubungan akrab dengan perempuan selama ini, hanya sebatas kenal biasa. Jadi, momen di mana Farah memuji perempuan lain di hadapannya itu terdengar tak biasa.

"Duduk dong," ajak Farah.

Keduanya pun lantas duduk di kursi tersebut. Satu meja bersama.

"Mbok ke mana? Aliya udah kangen banget, tau!" tanya Aliya yang mengakhiri dengan mengerucutkan bibirnya.

"Ibu sakit, Al. Kemarin muntah-muntah terus," balas Wina yang terlihat sedih.

"Ya Allah ... semoga Mbok cepet sembuh." Wina langsung mengaminkan. "Kayaknya Mbok makan pedes terus, ya. Makan bakso Mas Kumis pake cabe tiga sendok. Padahal, setengah sendok aja udah pedes itu sambel."

"Tau aja, Al," ucap Wina sembari terkekeh.

"Wah, cerewet banget. Titik koma itu dilabrak semua, Aliya," komentar Alvin yang memerhatikan obrolan mereka sejak tadi.

"Eh, jadi malu," balas Aliya yang kemudian menutup mulutnya. "Oh, iya, Ibunya Alvin sama Mbak Wina kok bisa duduk bareng di sini?"

"Kebetulan, saya kenal Wina saat saya menginap selama tiga hari di rumah teman suami saya. Saat itu, Wina jadi kepala ARTnya, dan dia orangnya ramah banget dan pekerja yang baik," jelas Farah yang membuat Aliya manggut-manggut paham.

"Aduh, saya jadi malu, Bu," kata Wina sembari tertawa kecil.

"Emang benar, Wina," balas Farah. "Jadi, pas liat dia di terminal Jakarta tadi, saya samperin. Eh, ternyata mau ke sini, ya udah saya ajak bareng, Aliya."

"Terima kasih banyak, ya, Bu. Ibu baik sekali. Alvin beruntung, ya, memiliki Ibu," ucap Aliya sembari menatap Farah hangat.

Wina lekas mengusap punggung Aliya. Ia tahu, di balik kata-kata itu, ada pengandaian, kalau saja Vina juga seperti Farah. Atau, Aliya berharap ia terlahir dari rahim Farah.

Wina begitu iba dengan nasib Aliya. Nasibnya tidak beruntung, meskipun ia terlahir dari keluarga kaya.

"Lo bener. Mamah gue adalah yang terbaik di seluruh dunia ini," respons Alvin sembari memeluk Farah dengan begitu mesra.

Aliya yang melihat itu pun seketika menggenggam tangan Wina dengan begitu erat. Melihat kedekatan Farah dan Alvin, menunjukkan bahwa hubungan mereka sangat-sangat akrab. Berbeda jauh dengannya. Aliya jadi iri. Bahkan, matanya pun langsung berkaca-kaca.

"Al, Mbok nitip ke Mbak buat ngasihin ini," ucap Wina agar Aliya teralihkan dari perasaannya, yang Wina rasa sedang merasakan kepiluan.

Aliya lekas mengambil keresek berwarna merah jambu dari tangan Wina. Ia pun melihat isi di dalam keresek tersebut dan membawanya keluar dari keresek itu. Saat ia beberkan kain tersebut, ternyata, itu adalah kerudung geblus panjang.

"Mbok kok bisa tahu ini," lirih Aliya terharu. Ia langsung mendekap kerudung berwarna hitam tersebut dengan erat.

"Mbok ngobrol sama tetangga yang anaknya di pesantren, katanya, anaknya itu semenjak masuk pesantren, jadi suka pakai kerudung yang panjangnya sampai ke bawah pusar gitu. Mbok mungkin mikir, Al, kamu juga akan tertarik pakai kerudung itu," jelas Wina sembari mengusap puncak kepala Aliya lembut.

"Wah, kebetulan banget, Mbak. Aliya bener-bener tertarik pake kerudung panjang setelah liat pakaian Sabila, anaknya Ustaz Malik. Tadinya, Al mau beli kerudung di Pasar Kamis yang suka berjejer depan pesantren. Tapi, uang Aliya kemarin tuh tinggal sedikit," tutur Aliya sembari curhat kalau uangnya sudah menipis.

"Hahaha, tenang, Al. Mbak udah bawa uang jajan kamu kok."

Melihat Aliya, Farah tersenyum lebar. Selama perjalanan, Wina sudah menceritakan hal-hal mengenai Aliya kepadanya. Mendengar apa yang Wina sampaikan, tentunya hati Farah jadi kasihan. Sejak bayi sudah terenggut kebahagiaannya karena orang tuanya yang menginginkan anak laki-laki.

Namun, melihat Aliya yang manis dan begitu bahagia mendapatkan kasih sayang dari seseorang yang justru bukan keluarganya, membuat Farah bangga dengan Aliya. Ia tidak putus harapan, walaupun cobaan berat sudah ia pikul di pundaknya sejak kecil.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora