Kisah - 3

258 14 0
                                    

Selesai salat asar, Aliya justru larut dalam lamunannya. Tangannya memang menengadah, tapi pikirannnya melayang ke mana-mana. Hatinya pun mengimbangi, dengan rasa gundah yang mendominasinya.

Pada acara pembukaan karantina tadi, calon santri mendapatkan arahan dan juga motivasi. Sebab, ilmu-ilmu yang dipelajari di pesantren banyak sekali yang tidak dipelajari di sekolah umum, dan tidak menutup kemungkinan, hal tersebut akan membuat mereka merasa lelah dan ingin menyerah. Sehingga, Ustaz Malik pun harus menyuntikan semangat ke dalam jiwa anak-anak muda itu.

"Anak-anak yang kami banggakan, ada sebuah kisah, di mana di sekolah tersebut mengadakan hari ayah. Ibu si anak tersebut meminta agar ayahnya bisa datang ke acara itu, karena selama ini, si Ibu yang selalu datang ke sekolah tiap ada acara. Bahkan, hari ayah sekali pun. Si ayah yang biasanya mementingkan pekerjaannya untuk masa depan anak dan keluarganya pun mau menghadiri acara tersebut."

"Si ayah tersebut duduk di kursi belakang. Ia menyaksikan peserta didik yang menampilkan drama, nyanyi, dan tampilan lainnya. Lalu, tibalah dengan giliran putranya yang masih duduk di bangku kelas empat SD. Di saat yang lain menampilkan drama atau pentas lainnya, anaknya justru tampil di sana dan meminta guru agamanya untuk melakukan sambung ayat pada surat An-Naba' di panggung itu."

"Selesai menampilkan itu, anaknya pun berkata, bahwa ia akan berusaha menjadi penghapal Al-Qur'an, agar kelak bisa memasangkan mahkota terindah untuk ayah dan ibunya di surga nanti."

"Dari situ, ayahnya pun langsung meneteskan air mata. Di saat ia begitu rajinnya bekerja siang-malam hanya untuk mencukupi hal duniawi, justru anaknya berpikir jauh lebih ke depan daripada dirinya. Anaknya memikirkan nasib kedua orang tuanya di akhirat. Ayahnya pun lantas naik ke atas panggung dan langsung memeluk putranya."

"Ada satu cerita lagi. Ada sepasang suami istri, yang satunya saleh, dan satunya lagi salehah. Dalam pernikahan mereka itu, mereka dikaruniai seorang putra. Lalu, mereka pun bertekad supaya anaknya bisa menjadi seorang penghapal Al-Qur'an. Ibunya terus merawat anaknya dengan baik dan menuntunnya untuk menjadi seorang hafidz. Sedangkan, ayahnya bekerja keras untuk memberikan rezeki yang halal dan baik untuk putranya."

"Suatu ketika, anaknya sudah berhasil menghapal juz 'amma, juz ke-30 dalam Al-Qur'an. Tapi, saat ia mencari ibunya dan akan membacakannya. Ia justru mendapati ibunya terbaring di rumah sakit. Rupanya, ibunya mengidap kanker yang sudah semakin ganas."

"Mendengar anaknya sudah dapat menghapal juz 'amma, ibunya pun meminta untuk dibacakan. Akan tetapi, setelah anaknya selesai membacakan juz 'amma tersebut, ibunya terpejam untuk selama-lamanya."

"Setelahnya, ustaz yang mendidik anak tersebut pun berkata, kalau dia akan terus mendidik anak tersebut untuk menjadi hafidz, dan ia juga meminta ayah anak tersebut untuk terus mencari rezeki yang halal. Supaya, mereka semua bisa berkumpul kembali di surga nanti."

Tak terasa, air mata Aliya pun mengalir membasahi pipi. Teringat akan kedua orang tuanya yang begitu abai terhadapnya. Tak sekejap pun ia terima perkataan manis dari mereka. Mereka pun jauh dari agama, apakah mereka akan menerima mahkota pemberiannya jika ia sudah menjadi seorang hafidz Al-Qur'an?

"Aliya!" tegur Fatma yang berada di sebelah Aliya.

Aliya lantas terbangun dari lamunannya dan menoleh ke arah Fatma.

"Kenapa?" Teman-temannya terlihat khawatir menanyakan keadaannya.

"Hah?" Aliya belum sadar kalau ia telah meneteskan air mata.

"Kok nangis?" tanya Celine.

Aliya pun lekas menghapus bekas tangisnya dan menampilkan senyuman manis. "Enggak kok, cuma inilah biasa, kangen rumah aja hehe."

"Tapi, kalau ada apa-apa atau mau cerita bilang aja, ya. Jangan dipendem," saran Queen yang dibalasi anggukan.

Kalau cerita ke banyakan gitu ... aku gak nyaman. Apa aku cerita ke Sabila aja, ya?

...

Setelah mendengar kisah yang disampaikan Ustaz Malik, Alvin mendapat suntikan semangat lagi. Apalagi, ketika ia mengingat sosok ibunya yang paling menyayanginya di muka bumi ini, rasa semangat semakin bertambah-tambah.

Kalau saja ada gawainya di sini, ia pasti akan langsung mengabari Farah mengenai hal barusan. Ia akan katakan, kalau ia akan berusaha keras untuk bisa memasangkan mahkota terindah kepada ibunya itu di surga nanti.

"Vin, kalau ayah lo di mana?" tanya Ghani sembari melipat kain sarung yang baru saja ia gunakan untuk salat asar tadi.

Sosok ayah? Untuk sekadar mengingat namanya saja Alvin enggan. Lebih tepatnya, ia tak tahu bagaimana sosok seorang ayah dalam hidupnya.

Ia pun mengidikkan bahunya. "Mamah gak mau gue tau soal ayah. Yang gue tau, cuma namanya doang di akta kelahiran. Gak tau deh orangnya gimana."

"Gak lo coba cari di google gitu? Siapa tau bokap lo famous, Vin!"

Ucapan Ghani lantas membuat Alvin tertawa. "Gue gak pernah kepikiran ke sana haha."

"Cari aja kali, siapa tau ada, kan?" saran Ghani diakhiri tawanya yang renyah.

"Boleh deh, gue coba kapan-kapan," gubris Alvin pada guyonan Ghani itu. Dalam lubuk hatinya, ia tidak begitu yakin kalau ayahnya seterkenal itu.

"Rame banget nih," timpal Alpha yang baru saja keluar dari kamar mandi dan kemudian duduk di tepi ranjang Ghani. "Oh iya, Ghani, kamu belum ceritakan alasan kamu masuk ke sini."

Ghani menepuk jidatnya. "Oh, iya, lupa hehe. Udah janji kan tadi, ya."

"Iya, cepet lah cerita," suruh Alvin yang kemudian ikut duduk di tepi ranjang Ghani.

"Gue ini anak bandel sebenernya. Makanya, nyokap bokap gue masukin gue ke sini, udah gedeg banget kali sama gue, ya, haha."

Alvin yang sempat melihat seragam SMP Great School di koper Ghani; yang di mana sekolah tersebut satu rumpun dengan sekolah dasar tempat Arsen dan Naya belajar, pun paham mengapa Ghani bisa masuk ke ranah pesantren. Tadinya, Alvin kira Ghani masuk ke sini karena sukarela dan mungkin saja ia manusia hijrah, karena tidak ada raut keterpaksaan yang terpasang di wajah Ghani sejak awal mereka berjumpa.

"Gue suka ngerokok, clubbing, bahkan di SMP gue suka ngebuli."

"Astagfirullah," lirih Alpha seketika.

"Lo gak ada niatan ngebuli anak-anak di sini, kan?" tanya Alvin dengan tatapan mengintimidasi, takut juga kalau ia jadi bulan-bulanan Ghani. Secara, tubuh Ghani terlihat atletis.

"Ngadi-ngadi lo!" Ghani menoyor kepala Alvin, tapi tidak kasar. "Kalau gue ngebuli di sini, dosa gue bakal banyak banget, orang-orang di sini kan saleh-salehah," jelas Ghani yang langsung mendapat timpukan bantal dari Alvin.

"Maksud lo, lo bakal ngebuli orang kalau di luar area ini, hah?!"

"Ampun, Bang!" Ghani mengatupkan kedua tangannya, "Enggak gitu juga, Bang."

"Ghani pasti jadi saleh juga, doain aja," tutur Alpha yang mendinginkan suasana yang sedikit panas.

"Aamiin."

*** 

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang