Masih Ada Sayang- 29

69 7 0
                                    

Awalnya, Alvin tidak menyadari atas sikap Aliya yang berubah kepadanya. Ia kira, mungkin hanya sebatas kesalah pahamannya saja. Ketika Alvin berpapasan dengan Aliya di Pasar Kamis dan menyapanya, Aliya seperti tak melihat keberadaan Alvin. Ia tak menggubris, dan terus berjalan melaluinya. Melihat itu, Alvin mulanya berpikir positif, mungkin saja, suaranya pelan, sehingga Aliya tidak mendengar sapaannya.

Akan tetapi, kejadian itu tidak berlangsung satu kali. Setiap ada Pasar Kamis dan mereka tak sengaja berpapasan, Aliya tidak pernah menggubris apa pun jika Alvin menyapanya dengan kata ataupun senyuman.

Kemudian, ketika mereka tak sengaja berpapasan di area toilet masjid, Alvin kembali menyapa Aliya. Tentu saja, suasana toilet tidak seperti ramainya Pasar Kamis, sudah pasti Aliya akan mendengarnya dengan jelas. Namun, reaksi Aliya sama, tidak menggubrisnya. Bahkan, Alvin lihat, Aliya malah memutar bola matanya malas setelah ia sapa.

Selain itu, ketika jadwal masaknya dengan Aliya tiba, Alvin yang berusaha mengajak Aliya bicara, justru mendapat respons yang tak lebih dari 'hmm' ataupun gestur tubuhnya saja; mengangguk atau menggeleng. Baru soal bahan masakan, Aliya angkat suara dan berucap.

Setelah jadwal masak bersama, Alvin baru memahami kalau sikap yang ditunjukkan Aliya adalah ingin menjauhinya. Alvin pun baru menyadari, kalau Aliya sedang marah kepadanya. Meskipun, Alvin sendiri tidak tahu jelas alasan di baliknya apa.

Alvin baru menyadari hal tersebut setelah satu bulan berlalu. Alvin cukup lama untuk peka pada hal tersebut karena ia tidak pernah mengalaminya selama ini. Terlebih lagi, ia tinggal di pesantren, tidak setiap hari ia bisa bebas bertemu dengan Aliya.

Alvin pernah meminta bantuan Sabila untuk menanyai Aliya. Namun, bukannya membaik, justru Aliya dan Sabila yang berkonflik, mereka marahan. Walhasil, Sabila kapok untuk membantu Alvin, karena tidak ingin hubungannya dengan Aliya jadi kacau lagi.

Alvin juga pernah menitipkan surat lewat teman-teman satu karantina Aliya, tapi tak pernah membuahkan hasil. Sehabis dibaca, alih-alih menulis jawaban, justru Aliya merobek surat tersebut dan membuangnya ke tong sampah.

"Gimana kalau lo aja yang ngasih langsung?" saran Ghani ketika mereka bertiga tengah memancing di kolam ikan pesantren.

"Ngaco!" balas Alvin tak setuju.

"Atau gini deh, gue sama Aliya, kan, satu eskul. Lo titipin ke gue aja." Ghani kembali memberikan saran.

"Kalau ngasih surat, auto pelanggaran, Ghan. Apalagi di area pesantren ada cctv," sanggah Alpha.

"Ya, jangan ngasih surat secara zohir. Ngasih barang kek, makanan kek. Terus, dibungkus paper bag gitu, biar keliatannya itu titipan dari keluarganya gitu," Ghani menjeda sebentar ucapannya, "Ah, nanti bilangnya, ortu gue kenalannya ortu dia, dan barang itu dititipin ke gue."

Atas usulan tersebutlah, Alvin berani mengambil langkah baru, yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Namun, semoga saja, usahanya kali ini akan membuahkan hasil.

"Kok bengong aja, Vin? Dimakan dong. Itu, kan, steak kesukaan kamu," tegur Farah yang sejak tadi melihat putranya hanya diam.

"Eh, iya, Mah."

Sebelum Alvin memotong steak, ia terlebih dahulu menangkap raut wajah Arsen yang berubah masam.

"Arsen mau ke toilet dulu," ujarnya.

Alvin jadi mengernyit setelah melihat kelakuan laki-laki berusia 12 tahun itu. Tingkah Arsen terasa aneh di matanya.

"Mah, Alvin juga mau ke toilet dulu deh, kebelet," izin Alvin setelah Arsen berlalu di hadapan keluarganya.

"Oh, dari tadi bengong tuh pengen ke toilet." Alvin menanggapi dengan cengiran. "Silakan, Sayang."

"Permisi, Mah."

Alvin sebenarnya tidak mengerti, mengapa tiba-tiba ia berkeinginan untuk menyusul Arsen. Ya, Alvin memang tidak ada keperluan ke toilet, ia hanya ingin mengikuti adiknya. Sekonyong-konyong, rasa penasaran itu mendorongnya untuk menguntit Arsen.

Setibanya di toilet, Alvin melihat Arsen tengah berdiri di hadapan kaca, sedang tangannya bertumpu pada tepi wastafel.

Arsen yang tengah menatap pantulan dirinya di cermin, langsung menyadari kehadiran kakaknya. Ia menoleh, tapi tak lama kembali dipalingkan tolehannya itu.

"Ada apa?" tanya Arsen dingin. Seakan-akan ia sudah paham, niat Alvin ke toilet adalah untuk menyusulnya.

"Em ... kamu kenapa, Sen?" tanya Alvin sedikit gugup. Maklum, walau sudah lama tinggal satu atap, mereka jarang berkomunikasi. Bagaikan orang asing saja.

Arsen bersidekap di depan dada, lalu menghadapkan dirinya di depan Alvin.

"Arsen sebenernya gak suka kalau ada Kak Alvin di sini. Selama gak ada Kakak, Mamah itu perhatian banget sama Arsen dan Naya. Tapi, kalau ada Kakak, semua perhatian Mamah cuma buat Kakak seorang."

Jleb!

Sudah ia duga, adiknya bukanlah Bryan yang memeluk Aliya dan mengatakan kerinduannya. Adiknya jengah melihat Alvin ada di tengah-tengah keluarganya. Tidak ada yang merindukannya. Justru, mereka bersyukur karena ia tidak hadir di kediaman Amarta selama empat bulan ini.

"Lebih baik gak ada Kak Alvin," lanjut Arsen yang terasa semakin menukik di hati Alvin.

"Ini semua gak akan lama kok. Besok siang, Kakak sudah pulang. Kamu dan Anaya bisa menikmati kasih sayang Mamah sepuasnya," balas Alvin tanpa menunjukkan kesedihannya, ia mengakhiri ucapannya dengan senyuman.

"Baguslah," ujar Arsen yang kemudian berlalu meninggalkan Alvin.

Mata Alvin kini berkaca-kaca. Rumahku bukan rumah.

Ia memutuskan untuk kembali saja ke meja makan. Akan tetapi, belum lama ia berjalan, langkahnya harus terhenti di lorong dekat toilet, karena melihat kehadiran Anaya di dekatnya.

"Kak Alvin," ujar gadis berumur sebelas tahun itu sembari melirik sebentar ke belakang, seakan memastikan tidak ada yang akan melihatnya.

"Ya, Anaya?"

"Ini buat Kakak, bagus, gak? Naya beli di online."

Mata Alvin berbinar ketika melihat Anaya menyodorkan sebuah pulpen yang terdapat hiasan bola basketnya.

"Buat Kak Alvin?" tanya Alvin memastikan.

"Iya," balas Naya sembari mengangguk. "Maaf, ya, Kak. Hadiahnya sederhana, semoga bermanfaat buat Kakak."

"Makasih banyak, Anaya," ucap Alvin sembari mengambil pulpen pemberian adiknya itu. Benar kata orang, anak perempuan itu lebih dewasa daripada anak laki-laki.

"Sama-sama, Kak," balasnya, "Naya izin mau ke toilet, ya, Kak. Naya juga takut keliatan Omah, Papah, atau Kak Arsen, nanti Naya kena omel hehe."

Alvin mengangguk sembari tersenyum. Rupanya, masih ada sayang. Kendatipun harus sembunyi-sembunyi seperti ini.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now