Keberangkatan - 1

409 20 0
                                    

Farah menutup resleting koper putranya setelah ia mengecek ulang semua barang yang harus masuk di dalam koper sudah tertera di sana. Kemudian, ia mengecek isi tas ransel yang akan putranya bawa, isi di dalam tas itu adalah buku-buku yang telah disampul rapi, untuk Alvin gunakan nanti ketika belajar.

"Oh iya, Al-Qur'annya belum dimasukkin."

Farah menghampiri keresek putih berisi Al-Qur'an yang baru ia beli kemarin. Selama ini, Alvin hanya memiliki Al-Qur'an tanpa terjemah saja, karena hal itulah, Farah pun membeli Al-Qur'an baru untuk Alvin yang dilengkapi dengan terjemah dan tajwid.

Setelah memastikan barang-barang di ransel sudah komplit. Farah pun menghampiri keresek hitam besar yang berisi ember, sikat cuci dan deterjen, serta alat mandinya. "Beres deh semuanya."

Pintu kamar mandi di kamar Alvin pun terbuka. Alvin baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya, setelah salat subuh bersama dengan Farah. Untung saja, pengaturan shower ada air hangatnya, Alvin jadi tidak terlalu mengigil ketika harus mandi dini hari begitu.

"Alvin, semuanya udah beres, Sayang. Kita tinggal berangkat deh. Terus, nanti kita nyimpang dulu beli bubur buat sarapan, ya," ucap Farah dengan senyum hangat yang melekat di bibirnya.

Sedangkan Alvin hanya menatapnya dengan tatapan tak bersemangat.

Ia yang hanya memakai kaos putih polos dan celana hitam, yang panjangnya tidak sampai mata kaki, lantas memakai baju koko warna navy yang sudah disetrika oleh mamahnya itu.

"Mamah kayaknya bahagia banget, ya, mau berpisah sama Alvin," sindir Alvin yang melihat Farah begitu ceria.

Sontak Farah pun mengerutkan dahi. Lalu, ia mendekat ke arah putranya dan memegang kedua pundaknya. "Jangan berpikir begitu, anak Mamah tersayang," Farah menatap Alvin lekat, "Mamah sejujurnya sedih harus jauh dari kamu. Selama ini, Mamah gak pernah jauh-jauh dari kamu. Kamu yang menjadi semangat Mamah, Nak. Yang membersamai di saat-saat tersulit Mamah."

Farah membelakangi Alvin, karena ia menyadari, akan ada bulir bening yang jatuh dari pelupuk matanya. Sudah sekuat tenaga ia berusaha untuk bersikap baik-baik saja di depan Alvin. Namun, rupanya ia tidak bisa menahan air matanya untuk jatuh.

Alvin yang menyadari mamahnya tengah meneteskan air mata pun lantas berdiri di hadapannya dan menghapus bulir-bulir bening itu.

"Mamah sayang sama kamu, Alvin," ucap Farah yang seketika langsung berhambur memeluk putra pertamanya itu.

"Alvin juga sayang Mamah," balas Alvin diikuti dengan air matanya yang menitik.

"Jangan berpikir Mamah bahagia jauh dari kamu. Jangan berpikir Mamah membuang kamu, Sayang. Justru, Mamah ingin kamu bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi di pesantren. Jadi orang yang saleh, yang bisa bikin Mamah bangga di dunia dan tentunya di akhirat nanti."

...

Inah dan Aliya langsung masuk ke dalam bus dan duduk di sana, setelah melihat bus jurusan Bandung di terminal. Mereka berangkat pagi-pagi sekali dengan membawa dua tas besar dan satu ember yang berisi camilan.

Selagi Inah mengantar Aliya ke pesantren, pekerjaan rumah digantikan oleh anaknya, yang bernama Wina. Sehingga, tuan rumah pun tidak perlu khawatir pekerjaan rumah terbengkalai.

Wina sama gesitnya seperti Inah kalau soal bersih-bersih. Tidak diragukan lagi. Karena, setelah lulus SMK, Wina pernah menjadi ART di sebuah mansion, dan karena pekerjaannya yang selalu sempurna di mata tuan rumah, Wina diangkat menjadi kepala ART, sebelum akhirnya ia menikah dan mengundurkan diri di sana pada usia ke 22.

"Mbok yakin, Al. Kamu gak akan kerepotan di pesantren. Kamu kan udah bisa beres-beres, nyuci, nyetrika, masak."

"Iya, ya, Mbok. Beruntung lho, Al suka bantuin Mbok dari kecil, jadinya Al gak bakal bingung deh di sana."

Inah tersenyum sembari mengelus puncak kepala Aliya yang terbalut oleh hijab putih.

"Al juga makasih banget sama Mbok. Walaupun aku emang belum mantep di gamis sama di hijab, tapi aku bersyukur banget udah Mbok kenalin ke arah itu. Ngajak pengajian juga, ngajak Al ngaji. Jadi Al tinggal biasain diri buat istiqamah pake kerudung, Mbok."

"Iya, Neng, sama-sama. Semoga di pesantren nanti Neng Aliya bisa jadi anak yang salehah."

"Aamiin."

Setelah menempuh waktu perjalanan selama empat jam, Aliya dan Inah pun sampai di depan Pesantren Ar-Rahiim. Turun dari bus, Aliya langsung memesan taksi online untuk sampai di Pesantren tersebut.

Aliya yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung itu lekas menyerahkan uang ke sopir taksi sebelum turun dari mobil.

"Sini, Aliya bawa tasnya sama embernya," tutur Aliya sembari mengambil tas dan ember dari Inah.

"Gak usah, Neng, berat," cegah Inah sembari menahan tas dan ember tersebut.

"Gak pa-pa, Mbok, orang ini barang punya Aliya. Gak usah khawatir, Mbok," tolak Aliya yang langsung menjinjing tas dan embernya setelah Inah menyetujui.

Mereka pun masuk ke dalam pesantren dan menuju lobi kantor di pesantren tersebut, karena di sana terlihat sudah ada beberapa santri lulusan SMP tengah melakukan daftar ulang.

Ya, hanya calon santri lulusan SMP saja yang tengah melakukan daftar ulang; ketika yang lain di bulan ini tengah menikmati liburan, mereka tidak. Mereka harus melaksanakan karantina terlebih dahulu. Hal itu dikarenakan, materi yang diajarkan di tsanawiyah dengan SMP berbeda. Makanya, pesantren membuat kebijakan bagi siswa/ (i) yang mau menjadi santri di Ar-Rahiim untuk mengikuti karantina.

Karantina selama 30 hari tersebut membina calon santri untuk bisa memahami materi dasar dari pelajaran-pelajaran yang akan diajarkan. Selain itu, diharapkan selama 30 hari itu, mereka bisa hapal 1-2 juz, dan hapal seluruh matan tuhfatul athfal (tentang tajwid).

Saat tiba di depan meja pendaftaran ulang, mereka berdua melihat, ada seorang ibu yang tengah menorehkan tinta hitam pulpen di atas kertas yang disediakan pihak pesantren. Sembari menulis, ia berkata kepada putranya, "Alvin itu hebat, kamu pasti bisa menjalani karantina ini. Bulan depan, Mamah pasti ke sini buat jenguk kamu."

"Iya, Mah," balas putranya terlihat kurang bersemangat.

Dia terlihat terpaksa sekali masuk ke sini, batin Aliya.

"Neng," tegur Inah.

Aliya yang sejak tadi fokus mengamati ibu dan anak itu pun menoleh ke arah Inah. "Eh, iya, kenapa?"

"Ayok, Neng, kita daftar ulang."

Aliya mengangguk semangat.

Aliya bisa semangat begitu karena Mbok Inah telah menceritakan betapa indahnya menjadi santri. Selain itu, Inah juga terus memotivasi Aliya untuk jangan putus asa menghadapi pelajaran dan juga permasalahan yang mungkin saja bisa terjadi.

Keraguan yang Aliya rasakan sebelumnya menjadi sirna.

Setelah mengisi data, Inah pun melirik area sekitar pesantren. Namun, ia berhenti menatap ketika ia melihat sosok ibu yang putranya bernama Alvin tadi. Ia merasa mengenal sosok perempuan tersebut.

Farah yang merasa sedang diperhatikan pun lantas menoleh. Namun, Inah sudah mengalihkan pandangannya, karena Aliya mengajaknya untuk melihat asrama putri.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now