Jadi Baik? - 10

110 9 0
                                    

Aliya menjejakkan kakinya di perkebunan teh milik Abi. Pemandangan indah, menyejukkan mata dan sanubari, mampu membuat Aliya merasa lebih segar di pagi itu. Terlebih lagi, langit tidak abu-abu seperti halnya kemarin. Sehingga, perpaduan langit cerah dan hamparan kebun teh yang luas menambah keestetikan yang memanjakan mata.

Sabila dan Fatma sudah berada jauh di depannya sembari berswafoto. Sedangkan Aliya, ia berjalan sendiri di belakang. Bukan karena mereka berdua menjauhi Aliya karena sebuah pertengkaran, tapi itu semua terjadi karena Aliya yang meminta, ia ingin menikmati perjalanannya sendiri, me time.

Segarnya hasil fotosintesis dedaunan, membuat Aliya berulang kali menarik napas dan membuang napas. Namun, bukan semata karena udara segarnya saja yang membuat Aliya melakukan hal tersebut, melainkan ada sesak yang masih menyinggahi relung hati.

Benar saja, Vina dan Deni menyusul Brian ke Ar-Rahiim. Membuat Aliya jadi ketar-ketir. Semakin tak karuan perasaannya.

Saat pintu mobil terbuka, ia cukup dikejutkan dengan penampilan Vina yang memakai kerudung pashmina rapi. Selain itu, raut wajah mereka berdua juga terlihat ramah dan bersahaja.

"Senang, ya, bisa bertemu kembali," ucap Vina terdengar ramah, membuat Aliya, Brian, dan Wina terpaku melihatnya.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu," tambah Deni yang sama lembutnya.

Aliya lantas dikejutkan lagi dengan Vina yang tiba-tiba berhambur memeluknya dengan erat. "Belajar yang rajin, ya," katanya lembut.

Mendapat perlakuan seperti itu, bibir Aliya lantas melebar, mengukir lekukan yang sangat indah dan manis. Matanya berkaca-kaca, karena terharu. Sudah sekian lama, Aliya mendambakan pelukan Vina, ibu kandungnya. Kini, semua itu terjadi, Aliya merasakan pelukan hangatnya.

Brian dan Wina yang melihat itu, perlahan mengukir senyuman indah. Orang tuanya sudah mau luluh untuk putri sulungnya itu.

"Aliya," bisik Vina, "Tetap tersenyum, jangan berekspresi lain, selain tersenyum."
Mendengar bisikan tersebut, Aliya sedikit mengerutkan dahi.

"Ingat, kamu harus tetap tersenyum."

Aliya pun membuang keheranannya dan tetap menjaga raut wajahnya tetap ceria.

"Kamu tidak akan kami terima di rumah. Kalau kamu pulang, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah sesenti pun."

Jleb!

Batin Aliya menjerit mendengarnya. Semua isak yang ingin keluar, tercekat di kerongkongannya. Bibirnya tetap tersenyum, tapi air matanya sudah berlinang membasahi pipi—yang dikira Brian maupun Wina adalah air mata kebahagiaan.

"Bagaimana pun caranya, Inah, Wina, ataupun Brian, jangan sampai tahu mengenai ini."

Menukik!

Aliya sudah tersekat di mana-mana. Tidak ada rumah tempatnya pulang. Tidak ada pelukan yang membuatnya hangat. Ia merasa sebatang kara setelah ancaman itu melayang. Tidak ada tempatnya membagi duka lara ketika hatinya kacau balau sekarang ini.

Vina telah membatasi geraknya.

Air mata Aliya pun luruh lagi. Jenuh mulai merasuki ruang hati. Batinnya terus menjerit tiada henti. Entah harus berapa banyak lagi pil pahit yang harus ia terima?

"Aku sudah dibuang," lirihnya.

Aliya mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang dijejakki Sabila maupun Fatma. Ia mendengar suara aliran sungai di sekitar sana. Tak lama kemudian, ia menemukan sungai mengalir di depannya. Sumbernya mungkin sangat jauh dari tempatnya berada.

"Airnya tenang," gumam Aliya yang kemudian menghampiri tepi sungai itu, ia menciduk air dan membasuhkannya ke wajah.

Kemudian, ia pun duduk di atas batu besar sembari mengamati air yang mengalir.

"Rasanya, aku sudah tidak punya harapan lagi." Aliya kembali bergumam. "Bukankah lebih baik aku ini mati saja?"

"Kadang, aku juga berpikir begitu," timpal seseorang yang membuat Aliya jadi celingak-celinguk.

Sejak tadi, ia berjalan sendirian, bagaimana bisa ada yang menyahut ucapannya? Apalagi, itu suara pria. Apakah dedemit di tempat itu tertarik mengobrol dengan Aliya? Aliya seketika merinding.

"A'udzubikalimatillahi tammati min syarri maa khalaq." Aliya langsung menengadahkan tangan dan meminta perlindungan kepada Sang Pencipta.

"Lo pikir gue jurig apa?"

Aliya buru-buru menoleh ke sumber suara. Kini, tampak jelas di sebelahnya, ada Alvin yang tengah berdiri sembari mengerucutkan bibirnya.

"Tadinya, gue tuh mau ngumpet aja ngobrol sama lo nya. Eh lo malah overthingking, nyangka gue jurig!" gerutu Alvin yang membuat Aliya mengatupkan tangannya dan meminta maaf atas kesalah pahamannya.

Alvin kemudian duduk di batu besar yang berada di sebelah Aliya, tentunya berjarak. Ia ikut memandang air yang begitu tenang mengalir di depannya.

"Lo kok bisa ke sini? Lo ngikutin gue, ya?"

"Iya," balas Alvin santai.

Mata Aliya langsung terbelalak, telunjuknya langsung mengarah ke raga Alvin. "Lo ngapain nguntit gue?! Jangan macem-macem lo!"

Alvin tertawa kecil. "Su'uzan!"

"Ih malah ketawa, gak lucu ah!" marah Aliya yang kemudian bersidekap di depan dadanya. Wajahnya kusut, perlu disetrika. Bibirnya maju, menampilkan rasa kesalnya kepada makhluk bernama Alvin itu.

"Dari MES, gue liat lo jalan sendirian. Gue bilang deh ke Alpha, gue mau jalan-jalan sebentar, padahal yang sebenernya gue mau ikutin lo. Takut lo kenapa-napa. Apalagi, gue sampe denger lo ngomongin mati tadi. Gue takut lo nekat bunuh diri," jelas Alvin setelah mengambil kerikil-kerikil di sekitar sana. Ia berbicara sembari melempar satu per satu kerikil ke sungai tersebut.

Sekilas, Aliya melirik Alvin yang memasang wajah datar sembari melemparkan kerikil. Kalau diingat-ingat, Alvin memang punya basic wajah dingin. Namun, sikapnya tidak sedingin kulkas. Menurut Aliya, Alvin memiliki sisi empati yang bagus.

"Em, btw, lo kok ngekhawatirin gue?" tanya Aliya penuh selidik.

"Lo itu biasanya cerah. Tapi, kali ini, gue rasa aura lo suram. Sebagai manusia yang memiliki rasa kemanusiaan, bukannya wajar, ya, khawatir gini?"

Mendengar hal itu, Aliya melebarkan senyumnya. Ia merasakan kehangatan lagi sekarang. Entah mengapa, walau rasanya sederhana, apa yang Alvin lakukan untuknya, membuat hatinya terasa terobati.

Mungkin, selama ini, tidak ada teman, apalagi teman pria yang perhatian kepadanya. Semua teman pria di SMPnya bersikap skeptis, mengolok-ngolok, tidak pernah ada yang peduli dengan perasaannya. Berbeda dengan Alvin yang peduli kepadanya.

"Thanks, ya," ucap Aliya.

"No problem."

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now