Sesuatu - 17

76 5 0
                                    

Setelah mempresentasikan hasil diskusi bakda isya dan juga menyetorkan hapalan malam, santri dan santriwati pun memasuki area kelas yang telah ditentukan untuk menjadi tempat mereka berpejam mata pada malam ini.

Jumlah kelas ada enam, untuk kelas di lantai pertama, satu kelas dipakai panitia. Kemudian, kelas tengah dipakai untuk kelompok satu sampai tiga, dan kelas terakhir dipakai oleh kelompok empat dan lima. Begitu pun pembagiannya dengan kelas pria yang ada di lantai dua.

Semua orang masih belum bersiap tidur, karena batas maksimal mereka tidur adalah pukul 22.00, masih ada satu setengah jam lagi. Di antara mereka ada yang mengobrol, jalan-jalan di sekitar area, dan ada juga yang jajan, bervariasi.

"Bentar, gue rasanya haus nih," ucap Aliya di tengah-tengah obrolan bersama rekan satu kelompoknya.

Ia pun mengambil botol minumnya dari tas, dan berjalan keluar kelas sendiri. Sebuah dispenser berdiri tegak di antara kelas panitia dan kelas kelompok 1-3. Ia pun mengisi air dingin dan panas dengan perbandingan 1:1 ke dalam botolnya. Setelahnya, ia pun kembali ke kelas tanpa menutup rapat botol minum tersebut.

"Kalau mau air anget boleh mint ... eh!"

Semua orang lantas memusatkan perhatian kepada Aliya yang baru datang membawa botolnya dan mengelami sedikit kecelakaan. Kakinya tersandung pada tepi karpet, yang membuat lututnya mencium alas dan isi botolnya tumpah ke tas orang lain.

"Hah ...!" Aliya tercengang saat mengetahui air tersebut tumpah ke tas siapa.

Teman satu kelompoknya yang mengetahui jelas pemilik tas tersebut pun tak kalah kagetnya. Perlahan-lahan, Aliya dan teman-teman satu kelompoknya itu pun menoleh kepada sang pemiliknya. Tercipta jelas di raut wajahnya, ekspresi kesal yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Pipinya merah padam dan matanya menghunus begitu tajam.

Perempuan itu berjalan menghampiri Aliya yang belum merubah posisinya setelah ia jatuh. Ia mengangkat tubuh Aliya, agar bisa berdiri sejajar dengannya dan menatap ketajaman matanya.

Aliya menjadi takut. Air liurnya mendadak seperti kerikil yang susah untuknya telan. Masalah besar telah terjadi, akibat tak memperhatikan langkahnya. Aliya merasa sangat ceroboh sekarang ini. Seakan-akan, ia sudah menantang singa untuk bertanding.

"LO GILA, HAH?! TAS GUE JADI BASAH! BAJU GUE BASAH!"

Deg!

Mata Aliya semakin terbelalak saat menyaksikan amukan yang begitu dahsyat.

Sementara itu, di sekitar toilet, Ghani tengah menunggu seseorang di luar kamar mandi. Ia tak memberitahu siapa pun mengenai aksi yang akan dilakukannya itu. Ia akan beraksi sendiri, tak peduli apa pun risikonya.

Cklek

Ketika pintu terbuka, Ghani lekas menghadangnya dengan lengan. Sedangkan, orang yang dihadang Ghani mengerutkan dahinya, tapi tak lama ia pun memberikan 'senyuman' yang sepertinya memiliki maksud lain.

"Ghani Muhammad Fatih."

Pria tersebut begitu lancar menyebutkan nama panjang Ghani, padahal Ghani tidak pernah menyebutkan nama panjangnya kepada pria yang belum ia kenali secara akrab.

"Lo-?"

"Ya. Gue tau lo siapa ...," sela Bima yang membuat Ghani semakin merasa heran, "Tukang Bully!"

"Lo siapa?" tanya Ghani penasaran.

"Kenalin," Bima menyodorkan tangannya untuk disalami, "gue, Bima Adi Saputra, kakak dari Bagas Adi Saputra."

Mata Ghani sontak terbelalak ketika mengetahui siapa sosok Bima yang sebenarnya. Tangan yang sebelumnya ia pakai untuk menghadang jalan Bima, Ghani turunkan.

"Bagaimana? Kamu ingat sesuatu?" tanya Bima yang mengakhiri ucapannya dengan senyuman miring.

Byur!

Rahma tanpa tega menyiram Aliya dari ujung kepalanya dengan air yang masih penuh di botolnya. "RASAIN ITU!"

Orang-orang yang sejak tadi menyaksikan peristiwa tersebut, langsung bangkit melerai mereka berdua. Di antara mereka pula, ada yang pergi keluar ruangan untuk melaporkannya kepada pihak keamanan MTP.

Di malam yang gelap itu, Aliya yang disiram air merasakan kedinginan yang lebih menusuk. Selain itu, apa yang Rahma lakukan baru saja kepadanya, mengingatkannya pada kejadian serupa yang beberapa kali ia alami ketika membuat kesalahan di rumah. Pun, peristiwa perundungan yang ia dapatkan di SMP.

"Jangan muncul di hadapan temen-temen sosialita saya. Kamu itu bikin malu tau, gak?!" Vina menariknya ke kamar mandi dan di saat itu pula ia menyiramnya tanpa tega.

"Harusnya kopi ini kamu hangatkan lagi! Kenapa dingin begini, hah?!" bentak Deni yang kemudian menyiramkan kopi itu di atas kepala Aliya.

Byur!

"Hahahahaha! Rasain tuh!" tawa para perundung itu saat Aliya membuka pintu toilet dan tersiram air yang terdapat pada ember—disimpan di atas pintu.

Mengingat semua itu, tangis yang tak ingin Aliya suarakan dan perlihatkan, tak dapat lagi ditahannya. Dinding ketegarannya runtuh di hadapan orang lain. Air matanya yang mengalir bukan semata karena apa yang dilakukan Rahma barusan, melainkan ada luka lain yang terasa, menambah beban kepiluan di hatinya.

Aliya menangis tersedu-sedu sembari memeluk dirinya sendiri. Ia juga menatap kosong apa yang ada di depannya. Mengundang rasa iba orang-orang yang menyaksikannya.

Aliya dan Rahma di bawa keluar kelas. Pihak keamanan tidak terlihat menghakimi satu di antara keduanya, karena mereka paham, keadaannya tidak tepat untuk mengutarakan kemarahan. Keduanya sedang sama-sama larut dalam emosinya masing-masing. Oleh karena itulah, Rahma tidak banyak diajak bicara soal apa yang telah ia lakukan di saat itu, tapi ia diperintahkan untuk tidur di kamar asrama bersama dengan dua panitia. Barulah esok hari, kejadian tadi akan diperbincangkan bersama.

Alvin yang tengah mengamati bintang di lantai atas, tak sengaja melihat Aliya yang keadaannya memprihatinkan. Sembap di pelupuk mata, tangisnya yang sesegukan, dan tatapan matanya yang kosong, membuat Alvin merasa khawatir.

"Ada apa dengan Aliya? Apa dia mendapat perundungan?" lirih Alvin.

Sabila berusaha menenangkan Aliya di sana. "Aliya tidur sama Sabila aja ya di rumah Abi, Aliya bisa nenangin diri di sana."

Aliya terlihat pasrah, ia menuruti apa yang Sabila katakan.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang