Alasan - 16

86 6 0
                                    

Selama menyimak power point mengenai struktur pesantren, profil asatidz dan juga perkenalan esktrakulikuler yang ada di Ar-Rahiim, Ghani yang berada di kelompok satu, sering menoleh ke arah Alvin. Setiap ia menoleh kepada rekan satu karantinanya itu, ia menangkap raut wajahnya tengah menahan sakit. Berkali-kali pula, ia melihat Alvin tengah memegangi perut.

"Ada yang gak beres," lirih Ghani.

Setelah salat asar, Ghani menghampiri Alpha yang sedang berkumpul bersama teman satu kelompoknya. Mungkin, mereka sedang membahas materi diskusi yang akan dipresentasikan malam nanti.

"Maaf, Brother-Brother, boleh pinjam Alpha? Dijamin, nanti dianterin lagi dalam keadaan utuh kok," ucap Ghani yang terkenal akan keramahan dan kebawelannya.

"Hahaha ... boleh-boleh, mangga sok," ucap Indra, ketua kelompok lima.

Ghani mengajak Alpha untuk berbicara berdua di depan koridor kelas ikhwan, yang tak jauh dari keberadaan masjid. Area kelas ikhwan, berada di lantai dua dan untuk kelas akhwat-nya berada di lantai pertama. Mereka berdua menyandarkan lengannya di atas pegangan tembok.

"Ada apa, Ghani?" tanya Alpha yang ke sekian kalinya, karena sejak perjalanan menuju ke tempat tersebut, Ghani tak kunjung menjawabnya.

Ghani pun menceritakan apa yang ia lihat siang tadi di kamar mandi. Ia selaku mantan pembully pun memaparkan kecurigaannya. Keberadaan Alvin yang seperti sudah dipukuli, membuat Ghani khawatir keberadaannya sedang terancam.

"Mungkin dia mules, Ghani. Pengen buang hajat," komentar Alpha.

"Enggak, Pa. Gue bisa bedain, yang mana sakit perut karena pengen buang hajat sama sakit perut abis ditonjokkin."

"Emmm ...," Alpha tampak berpikir, "Alvin tidak mau jujur, ya."

"Mungkin dia takut, Pa. Kita, kan, tahu sendiri gimana kehidupan keluarga dia. Terus, diancem sama yang nge-bully, pasti dia ...-"

"Enggak," sela seseorang, yang membuat Ghani dan Alpha menoleh.

"Percaya sama gue, gue baik-baik aja kok."

"Alvin, sejak kapan lo ada di sini?!" tanya Ghani yang terkejut, karena Alvin seperti hantu saja, tiba-tiba muncul.

"Gue ngikutin kalian, dan dengerin obrolan kalian sambil duduk di tangga."

Ghani dan Alpha pun lantas bertukar pandangan satu sama lain. Niat membicarakan Alvin di belakangnya, justru malah didengar oleh orangnya langsung.

"Bima berbuat macam-macam kah?" tanya Alpha, mengingat Bima merupakan sosok orang yang cukup sarkas.

"Oh, iya. Sebelum gue ke area kamar mandi, gue ketemu tuh sama orang itu," argumen Ghani memperkuat dugaan Alpha.

"Gak pa-pa, santai aja. Bukan hal yang serius kok," balas Alvin yang terlihat tenang-tenang saja.

"Lo bego apa gimana sih? Bukan hal serius ... bukan hal serius!" protes Ghani kesal.

"Astagfirullah, Ghani," ujar Alpha.

"Liat aja, gue pasti datengin itu orang nanti!"

"Udah, gak usah nyari ribut, Ghan," komentar Alvin. "Mending sekarang kita jajan aja, mumpung masih ada waktu sebelum sesi setor hapalan."

Mendengar ajakan tersebut, Ghani yang tengah emosi pun langsung luluh dan berwajah semringah. Walhasil, mereka bertiga pun menuju ke area kantin. Kebetulan, perut mereka sudah meminta diisi lagi—walau sudah makan siang tadi.

"Bila, itu Rahma ngeselinnya lebih dari Lisa deh. Lisa mending, masih bisa diatur. Kalau Rahma, dia seenaknya banget," keluh Queen yang merasa lelah menegur satu anggotanya itu.

"Emang Rahma itu sebenernya kenapa sih?" tanya Aliya yang menemani Queen duduk di saung dekat balong—katanya mau me-refresh otak sejenak.

Kebetulan, ada Sabila dan Celine yang baru saja keluar dari rumah Abi, jadinya mereka pun mengobrol.

"Subuh tadi kan aku mandinya ke rumah Abi. Nah, beres mandi, Sabila tanya ke Abi soal Rahma. Soalnya, dia temen sekamarnya Sabila juga kan, biar Sabila bisa ngadepin dia dengan baik." Mereka mendengarkannya dengan seksama. "Abi bilang, kalau Rahma itu diadopsi sama umi-abinya saat umur sembilan tahun. Anaknya emang udah begitu semenjak di panti asuhan, suka bikin onar."

"Umi-abinya kenapa dah ngadopsi dia?" tanya Celine tak habis pikir.

"Mungkin pengen ngedidik dia jadi lebih baik lagi, Sel," jawab Sabila. "Rahma dimasukin ke Madrasah Ibtidaiyyah, ke Tsanawiyah, sampe akhirnya ke sini. Pokoknya, umi-abinya sudah mengusahakan semaksimal mungkin untuk pendidikan Rahma."

"Rahma itu pinter, tapi suka males gitu. Soalnya, mungkin karena dia pengennya masuk ke sekolahan umum," jelas Sabila yang membuat teman-temannya manggut-manggut paham.

"Dari cerita kamu, aku liat, Rahma ini hidupnya beruntung loh. Meski memang, rasanya orang tua kandung dan angkat itu berbeda, tapi setidaknya Rahma harus selalu menghadirkan rasa syukur yang bisa bikin hidupnya jadi indah," komentar Queen.

"Memang, Queen. Bersyukur itu perlu. Tapi, Rahma perlu mengerti dulu soal syukur untuk bisa mensyukuri apa yang dia miliki. Yah ... seperti biasa, kita harus pelan-pelan ngasih taunya, jangan terlalu dipaksa," gubris Sabila menerangkan dengan lembut.

"Karena dakwah itu merangkul kan, Bil?"

"Betul sekali!"

Setelah berbincang-bincang, mereka pun mendengar bel, tanda kegiatan selanjutnya akan segera dimulai, yaitu menghapal dan setor hapalan kembali. Mereka beranjak dari saung tadi, untuk kembali ke masjid, melaksanakan kegiatan tersebut.

"Aduh, ada si Trio," celetuk Celine saat melihat Alpha, Alvin, dan Ghani baru saja sampai di depan masjid. "Calon imam Sesel."

"Astagfirullah, gak berubah-berubah nih si Sesel. Tiga-tiganya mau diembat?" ucap Aliya sembari terkekeh melihat tingkah Celine.

"Jangan gitu, Sel. Aliya suka sama Alvin tuh," goda Sabila yang membuat Aliya langsung disoraki 'cie' oleh teman-temannya.

"Astagfirullah. Udah, jangan bahas yang gitu," protes Aliya yang mempercepat langkahnya untuk segera masuk ke dalam masjid.

"Salting tuh!" Sabila lanjut menggoda Aliya.

"Enggak, ya!" balas Aliya.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang