Pagi yang Baru - 14

98 8 0
                                    

Pukul 03.30, di saat yang lain masih sibuk mengumpulkan nyawa, Aliya sudah berada di kamar mandi, tengah menggosok giginya. Sembari membersihkan gigi, ia pun mengingat obrolan Abi di ruang tamu kemarin malam, ketika ia dan Sabila tengah menyantap roti panggang di dapur.

"Alvin, Abi mohon maaf, ya, sekali lagi. Kalau harus memindahkan Ghani dari kamar tersebut dan menggantinya dengan Bima yang sebelumnya berada di kamar Alpha," ucap Abi lembut.

"Tidak apa-apa, Abi. Saya ikhlas menerimanya. Seperti yang Abi sampaikan sebelumnya, Alpha selaku mu'allaf perlu lingkungan yang baik untuk membantunya menjadi seorang Muslim yang baik. Insyaallah, saya akan bersabar menghadapi Bima."

Alvin terdengar menerima dengan tulus apa yang Abi pintakan kepadanya. Aliya dengar, Alvin yang sekamar dengan Ghani, harus membarternya dengan Bima yang sekamar dengan Alpha. Di mana, Bima itu, dari apa yang disampaikan Abi, adalah seorang santri lulusan salah satu pesantren di Jakarta, yang pintar dan sudah meraih banyak prestasi. Namun, minusnya, Bima memiliki sifat angkuh dan suka berbicara kasar.

"Kok ada orang yang kayak gitu, Bil?" tanya Aliya yang juga terkejut dengan kenyataan baru yang ia dengar.

Sabila tersenyum. "Ada saja, Aliya. Kadang, ilmu yang dipelajari seseorang, ada yang justru bukan membuatnya merunduk seperti padi, tapi malah membuatnya semakin congkak. Mungkin, ada yang salah dari caranya belajar. Wallahu'alam. Yang jelas, kita sebagai seorang hamba, harus selalu meminta hidayah taufik kepada Allah, agar selalu diberikan kepada kita."

Di asrama putra sana, Alvin sudah rapi, bersih, dan wangi, berdiri di atas sajadahnya. Pukul tiga dini hari, yang di mana udara masihlah sangat dingin, menusuk pori-pori kulit, Alvin sudah mandi dan mencuci pakaiannya, lalu mendirikan salat tahajud dengan khidmat. Disusul dengan Huda, Nurdin, dan Zidan yang tahajud secara munfarid di dekat Alvin.

Setelah pukul empat lebih sepuluh, Alvin diminta untuk membangunkan Ramdan dan juga Bima yang masih terlelap. Sedangkan, kakak-kakak kelasnya ada yang bersiap mandi, dan berkemas-kemas. Kebetulan, Nurdin adalah anggota pramuka yang akan menjadi panitia di acara tahfidz camp.

Setelah membangunkan Ramdan, Alvin pun beralih membangunkan Bima yang terlihat pulas.

"Bima, bangun Oy!" ucap Alvin sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Bima mendesah kasar, lalu berkata, dengan matanya yang masih terpejam, "Apaan sih Anj***?!"

"Astagfirullah!" ucap orang-orang yang ada di kamar tersebut sembari mengusap dadanya.

Nurdin lantas berdiri, karena tempat tidur Bima ada di atas tempat tidurnya. Ia menggoyangkan tubuh Bima dengan kasar, tidak ada lembut-lembutnya. Mungkin, itulah sisi Nurdin apabila sedang kesal pada seseorang.

"Bangun lo!" ucap Nurdin sembari menarik kerah baju tidur Bima dan membuatnya terduduk.

"Bang, sabar," saran Alvin takut terjadi perang dunia kedua pagi-pagi buta begini.

Bima tak lagi terpejam sekarang. Ia langsung melepaskan tangan Nurdin dari kerah bajunya dengan kasar.

"Awas, ya, lo! Kalau gue liat lo ngomong kasar lagi, gue bakalan gosokin cabe rawit di bibir lo!"

Bima yang mendapat ancaman begitu dari Nurdin hanya mendecak sebal dan memutar bola matanya jengah.

Melihat itu, Nurdin merasa adik kelasnya itu menantang dirinya untuk ribut saat itu juga. Emosinya langsung tersulut melihat kelakuan Bima. Namun, Nurdin tidak lagi melampiaskan amarahnya, karena adik-adik kelasnya yang menyaksikan kejadian tersebut lekas melerai mereka.

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang