Maaf - 26

72 7 0
                                    

"Waktu itu, badan ini rasanya seperti sudah remuk, karena baru saja pulang tawuran. Saat itu, aku memilih nunggu di halte sekolah, karena sudah bilang Pak Brama, sopir aku, untuk jemput sekitar jam empatan dengan alasan ada kerja kelompok dulu."

"Karena Pak Brama lama datang, katanya kejebak macet, aku jalan mondar-mandir di depan sekolah. Dari ujung gerbang yang satu, ke ujung gerbang lainnya. Maksain mondar-mandir dengan kondisi badan yang remuk, buat ngurangin rasa bosen."

"Karena memang fokus aku saat itu ke jemputan, aku sama sekali gak ngeh kalau papan reklame besar yang terpasang di depan sekolah itu rusak dan mau roboh. Yang aku ingat, ada yang mendorongku dengan kasar ke jalan, sampai aku tertabrak mobil."

"Aku kira, ada orang yang mau balas dendam padaku. Tapi, sebelum aku gak sadarkan diri, aku sempat melihat Bagas tertimpa papan reklame itu. Dia mengorbankan dirinya, untukku yang suka merundungnya, agar aku tidak mendapatkan porsi rasa sakit yang lebih besar. Padahal, rasa sakit yang dirasakan Bagas itu pantas diterima oleh Ghani, gak seharusnya Bagas menderita seperti ini," papar Ghani di hadapan orang-orang sembari menangisi dirinya sendiri yang pernah salah, membully orang.

Ibu Ghani langsung memeluk Ghani. Ia merasakan, hawa perasaan bersalah dari diri Ghani begitu kuat.

"Gue kira, Ghani dengan sengaja mendorong Bagas agar tertimpa papan reklame itu. Tapi, rupanya Bagas yang mengorbankan dirinya untuk si PEMBULLY INI?!!" Tiba-tiba nada bicara Bima menaik tajam pada dua kata terakhir di kalimat yang ia ucapkan. Sontak orang-orang pun tercengang mendengar penuturan Bima yang semakin berani. "Benar kata Ghani, dia yang lebih pantas mendapatkan apa yang kamu derita, Gas. Kenapa kamu ngorbanin diri kamu buat dia?!" Bima menatap mata Bagas dengan tajam.

"Ah, sepertinya Bagas mau bunuh diri gara-gara capek dirundung Ghani terus!" lanjut Bima.

Ghani yang mendengar hal tersebut pun lantas terperangah, karena merasa opini Bima benar-benar gila, tapi masuk dalam ranah masuk akal juga.

"Kakak!"

Bagas yang merasa tertekan dengan apa yang diucapkan Bima, spontan berteriak dengan ucapannya yang jelas dan tegas.

"Istigfar ...," lirih Bagas.

Bagas pun menyodorkan buku kecilnya kepada ibunya.

"Dear Ghani Muhammad Fatih, kakak kelas yang selalu merundung. Aku telah membalasnya dengan cara terbaik yang aku bisa. Aku telah mencegahnya merasakan rasa sakit atas robohnya papan reklame itu. Walaupun ... aksiku justru membuatnya celaka juga, tapi aku harap keadaannya lebih baik dariku," ibunya Bagas membacakan apa yang telah dicatat Bagas pada bulan keempat Bagas terbaring di ranjang rumah sakit, setelah ia sadar dari komanya.

"Kenapa aku membalasnya dengan menolong bukan mencelakakan? Alasannya singkat, tapi bermakna besar, 'karena saya adalah Muslim'."

"Masyaallah ...."

Semua orang tertegun mendengarnya. Seorang Bagas, yang bukan lulusan Madrasah Ibtidaiyyah, tidak sekolah di MTS, bisa memiliki jiwa besar yang luar biasa. Sebuah realita yang menunjukkan, bahwa hidayah tidak selalu datang kepada santri saja, tapi hidayah akan datang kepada hamba yang Allah ridha kepadanya.

Bima pun bergeming setelah mendengar hal tersebut. Hatinya seakan disambar petir.

"Sekarang ... Bagas yakin, apa yang dilakukan Bagas itu benar. Kak Ghani, sekarang sudah berusaha memperbaiki dirinya. Tidak ada yang lebih baik, daripada seseorang yang berbuat salah, lalu membenahi dirinya agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya," ucap Bagas walau dengan suaranya yang agak lemah.

...

Ghani duduk di pembatas tembok yang ada di lantai dua—tempat jemuran—sembari memandang bintang-bintang malam yang bertaburan indah di cakrawala. Ia menghela napas panjang sembari mengingat kejadian tadi pagi di ruang BK. Kejadian, di mana Ghani bisa terbebas dari beban-beban yang mengusik kenyamanan hatinya selama sebulan lebih lamanya.

"Jika sudah begini, saya akan serahkan keputusannya kepada orang tua Bagas. Bagaimana pun, Ghani telah berbuat salah, telah merundung orang. Selain itu, kami juga berutang budi kepada Bagas, karena telah mengorbankan dirinya. Sudah selayaknya bagi kami, untuk memberikan sesuatu, meskipun tidak akan sepadan, kepada Bagas maupun keluarga," tutur ayah Ghani dengan bijaksana.

"Sejujurnya, saya sangat benci sekali dengan perundungan dan juga pelakunya. Terlebih lagi, anak saya yang menjadi korbannya. Sudah bisa Bapak bayangkan, bagaimana perasaan saya?" balas ayah Bagas.

Ayah Ghani mengembuskan napas panjang. Ia memahami bagaimana perasaan ayah Bagas.

"Ghani, saya sangat benci dengan kamu."

Ghani tersentak mendengarnya. Namun, ia juga sudah bisa menebaknya. Tidak akan ada orang tua yang tidak benci kepada pelaku perundungan, terlebih lagi anaknya yang menjadi korban.

"Tapi, waktu telah berlalu. Sosok Ghani yang saat ini berada tepat di depan mata saya, sudah berubah. Saat ini, saya bangga dengan kamu, Ghani."

Bibir Ghani yang melengkung ke bawah sejak tadi, kini terangkat. Senyuman tipisnya tercipta. Pertanda hal baik akan segera menghampirinya.

"Yaah ... permasalahan ini tidak baik terus-menerus kita perpanjang. Jika Bagas saja sudah ikhlas, mengapa saya harus mempermasalahkannya lagi?"

Embusan kelegaan pun keluar dari pihak Ghani. Senyuman yang tercipta pun semakin melebar.

"Perihal reward yang mungkin ingin Bapak berikan, sebaiknya Bapak tanyakan saja pada Bagas."

"Bagaimana, Nak Bagas?" tanya ayah Ghani.

"Aku tidak ingin yang macam-macam, Om. Kak Ghani bisa jadi orang yang saleh saja sudah lebih dari cukup untuk aku," balas Bagas.

Ghani sangat lega sekarang. Kesalah pahaman itu telah usai. Ia bisa menjalani hari-harinya dengan bebas tanpa ada tekanan.

"Gue minta maaf, Ghani."

Ucapan itu, lantas membuat Ghani yang tengah asik menatap bintang sembari melamun pun menoleh. Ia mengernyit ketika melihat orang yang berbicara hal tersebut datang sembari menggendong ransel.

"Lo-"

"Ya, sebelum gue bener-bener pamit. Gue mau, lo maafin kesalahan-kesalahan gue. Karena dendam, gue gak sadar, gue malah jadi seorang perundung. Menjadi sosok yang gue benci."

"Gue udah maafin lo kok, Bim. Tapi, kenapa lo bawa ransel begitu?"

"Gue mau pindah."

"Hah? Pindah?"

"Niat gue masuk ke pesantren ini sudah salah, karena dendam sama lo. Jadi, gue mau pindah dari sini dan masuk ke pesantren impian gue. Lumayan, ada beasiswa, dan untungnya, beasiswanya masih berlaku buat gue."

Bima tertawa kecil setelah mendengar alasan tersebut dari Bima. "Seniat itu, ya. Lo rela masuk ke sini, cuma buat bales dendam ke gue dan ngerelain impian lo."

Bima ikut tertawa kecil, menertawakan kekonyolannya. "Gitu, ya, Bro. Maafin gue dan makasih banyak udah effort buat nyelesain masalah ini baik-baik. Banyak hikmah yang bisa gue petik."

"Don't worry and enjoy your life aja, ya, pokoknya."

"Insyaallah, Ghani."

Mereka berdua pun saling bertos menggunakan tangan yang terkepal.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang