Pengakuan - 32

74 6 0
                                    

"Enggak sopan, kamu! Tengah malam gini mau namu?! Di mana tata krama kamu, hah?!"

Bryan terbangun tengah malam dan merasa tenggorokannya kering. Ketika ia meneguk air, ia mendengar ayahnya tengah mengomel di ruang tamu. Bryan pun jadi penasaran dengan siapa yang datang ke rumahnya malam-malam begini.

"Ganggu orang tidur aja!" tambah Vina yang berdiri di samping Deni.

Bryan mengintip di balik tembok. Ia cukup kesulitan untuk melihat penamu yang datang. Matanya pun disipitkan untuk bisa melihat lebih intens lewat celah kecil yang ada di antara mamah dan ayahnya.

Seorang pria jangkung dengan rambut ikal, mengenakkan pakaian koko berwarna sage, yang terasa tak asing di indera penglihatannya. Baju koko itu pernah ia lihat, entah dikenakan oleh siapa namanya. Bryan mencoba menerka-nerka dan mencoba meraba memori ingatannya.

"Jangan bertanya soal tata krama kepada saya! Bukankah Anda yang lebih tidak tahu tata krama?"

"Wah, berani-beraninya kamu. Bocah kemarin sore mau nantangin?!" respons Vina kesal.

Deni menenangkan Vina agar tidak terlalu tersulut emosi. "Maksud kamu apa?" tanya Deni terdengar dingin dan tajam.

"Anda telah mengusir seorang perempuan yang tengah mengandung anak Anda sendiri. Dan, Anda sama sekali tidak mau bertanggung jawab dengan anak Anda itu. Apakah begitu yang namanya beradab?!"

"Hah? Ayah pernah ngusir siapa?" lirih Bryan.

Sementara itu, Farah keheranan karena tidak menemukan putra sulungnya di kamar. Ia mencari ke balkon, tapi tidak ada siapa-siapa. Namun, ketika Farah hendak mencari Alvin di luar kamar, Omah Ranti datang menghampiri Farah.

"Lho, Mamah jam segini belum tidur?" tanya Farah.

"Belum, Mamah belum ngantuk," jawab Ranti, "Kamu pasti cari Alvin, kan?"

Farah mengerutkan dahi. "Mamah tahu Alvin ke mana?" tanya Farah curiga, takut putra sulungnya di apa-apakan oleh ibu mertuanya.

"Alvin pergi ke rumah ayahnya."

"Apa?!"

Farah sangat tercengang dengan apa yang dikatakan mertuanya. Karena kaget, Farah langsung menutup mulutnya yang menganga.

"Dia memaksa untuk dipertemukan dengan Denian setelah mengetahui sosok ayahnya dari medsos. Jadi, Mamah menyuruh sopir pribadi Mamah untuk mengantarnya ke sana."

Perasaan Farah jadi tak karuan. Sudah susah payah ia menjauhkan Alvin dari ayahnya, Ranti justru dengan santainya mengizinkan Alvin begitu saja untuk bertemu ayahnya. Bahkan, tanpa bertanya terlebih dahulu kepadanya, yang lebih berhak atas Alvin.

"Sudahlah, Farah. Sudah seharusnya dia tahu siapa ayahnya. Denian juga harus bertanggung jawab untuk anaknya itu, bukannya malah Davin!" Lanjut Ranti yang tak pernah berhenti skeptis jika membahas soal Alvin.

"Mah, percuma Alvin tau soal Denian, ayahnya itu gak akan peduli ke dia!" Farah tak peduli lagi, jika air matanya berderaian di depan mertuanya. Lelah sudah, ia menangis sendirian selama ini. "Farah jauhin Alvin dari ayahnya, karena Farah gak mau Alvin terluka terlalu dalam oleh Denian! Kenapa Mamah izinin Alvin ketemu dia?! Hiks."

Farah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Perlahan, tubuhnya beringsut ke bawah. Tahun ini, sepertinya adalah hadiah ulang tahun paling menyakitkan untuknya. Hatinya benar-benar terasa seperti disayat-sayat.

"Ada apa ini?" Rupanya, Davin yang sedang tertidur pulas, terusik dengan pertengkaran ibu dan istrinya. Sehingga, ia pun menghampiri keberedaan mereka berdua.

"Kamu sama aja, Mas! Kamu juga jahat!" cerca Farah masih dengan tangisannya yang belum berhenti.

"Ada apa, Mah?" tanya Davin kepada ibunya.

"Mamah hanya menuruti kemauan Alvin untuk bertemu ayahnya, Davin."

"Arrh!" Davin mengacak rambutnya kesal. Malam-malam begini, yang seharusnya bisa tidur dengan nyenyak, malah terganggu dengan sebuah problema.

"Ya sudah, kamu siap-siap, Farah. Kita berangkat sekarang juga ke rumah Denian."

...

"Kenapa kamu menghentikan Sabila?" tanya Ustazah Rara setelah melihat Aliya malah menghentikan tangan Sabila yang hendak menulis nama teman-temannya.

"Afwan, Ustazah." Aliya menjeda ucapannya terlebih dahulu, menghela napas panjang sebelum menjelaskannya. "Aku gak mau, masalah ini terus melebar dan melibatkan banyak pihak."

"Semua ini, salah aku, Ustaz, Ustazah. Kalau aku bisa bersikap lebih dewasa, mungkin gak akan begini kejadiannya."

Ghani, Alpha, dan Sabila, selaku pihak yang paling dekat dengan salah satu dari kedua tersangka kasus ini, dibuat penasaran setelah Aliya mulai mengatakan kronologi dari permasalahan yang terjadi.

"Mungkin, secara garis besarnya begini, kakek aku hanya memiliki satu anak, yaitu ayah. Setelah kakek pensiun, ayahku menjadi pewaris perusahaannya. Karena memang, ayah satu-satunya keluarga dan anak yang beliau punya. Lalu, beberapa waktu ke belakang, saya pernah mendengar Ghani memanggil Alvin dengan sebutan 'Tuan Dinata', dan katanya, ayah Alvin memiliki marga itu. Aku langsung cari tahu soal itu lewat Simbok. Ternyata, ada hal yang selama ini gak aku tahu soal ayah."

Alvin dan Ghani saling bertukar pandang tak mengerti dengan penuturan yang disampaikan Aliya mengenai keluarganya yang dikaitkan dengan Alvin.

"Ya, aku, Aliya Syakira Dinata, memiliki marga Dinata seperti halnya Alvin. Seperti yang udah aku sampaikan, ayah adalah anak tunggal, dan beliau juga satu-satunya keluarga yang kakek punya. Itu artinya ... Alvin adalah saudara se-ayah saya."

"Hah?"

Alvin dan Ghani sama-sama membulatkan mata. Begitu pun dengan Sabila yang selama ini dekat dengan Aliya, ia kaget karena baru mengetahui hal tersebut.

"Kamu gak lagi ngarang, kan, Aliya?" tanya Ustazah Rara dengan tatapannya yang intens.

"Enggak, Ustazah," jawab Aliya. "Memang udah aku duga kok, Ustaz-Ustazah akan sulit menerima fakta yang aku sampaikan. Tapi, catatan sipil, alias akta kelahiran kami, bisa menjadi buktinya."

"Baik, ana akan cari buktinya sekarang juga di TU," ucap Ustaz Akmal.

"Tafadhol, Ustaz Akmal," respons Ustaz Jamal.

Dua bulan sudah aku memendam soal hal ini. Mungkin, sudah tergariskan, kalau hari ini menjadi hari di mana orang-orang akan tau, kalau aku dan Alvin itu adik-kakak, batin Aliya sembari menghela napas panjang.

***

Bukan Pesantren Biasa✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt