Fatherless - 34

68 6 0
                                    

Alvin mengernyit ketika matanya yang terpejam itu merasakan adanya kumpulan cahaya yang menyilaukan jika ia membuka mata. Perlahan, ia membuka matanya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah di mana cahaya menyilaukan yang berasal dari pantulan jendela kamarnya berada. Mengerjap-ngerjap ia lakukan, guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya.

"Hoaamm!" segera ia tutup mulutnya yang menguap panjang.

Nyawanya belum terkumpul dengan sempurna, membuat Alvin terlihat linglung. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya yang jelas tidak gatal, sembari memandang jam dinding. Pukul 09.15 ia baru bangun dari dunia alam bawah sadarnya, alam mimpi.

Ceklek

Pintu kamar Alvin terbuka, tampak jelas di depan matanya, Farah tengah membawa nampan berisi sarapan dan juga segelas susu hangat untuknya.

"Anak Mamah udah bangun ternyata, padahal tadi mau Mamah bangunin lho."

Alvin hanya membalas dengan cengiran.

Farah menaruh nampan tersebut di atas nakas, dekat dengan tumblr besar di kamar Alvin yang berisi air mineral. Kemudian, Farah pun duduk di sebelah Alvin sembari mengelus rambutnya yang acak-acakan.

"Cuci muka dulu gih, baru sarapan," titah Farah. Mamahnya terlihat semringah dan tenang seperti biasa, tidak seperti semalam yang tersulut emosi.

Alvin menurut. Dengan gontai, ia pun berjalan menuju kamar mandi. Lalu kembali, setelah usai mencuci mukanya.

Roti isi selai cokelat dan kacang, tak lupa ditambah dengan parutan keju mengisi ruang mulut Alvin, lalu dihancurkan oleh gigi-giginya yang mengunyah. Jika dengan roti isi, tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Lain jika sarapannya bubur, nasi kuning, atau lontong sayur yang biasa ia makan di pesantren, ia harus meraup waktu yang cukup lama untuk menghabiskannya.

Usai sarapan, Farah masih berada di kamar Alvin. Memanjakan putra sulungnya di pangkuannya.

"Bagaimana perasaan kamu sekarang?"

"Alhamdulillah, lebih baik," balas Alvin. Meskipun, hatinya sendiri tidak baik-baik saja. Bagaimana pun juga, merasakan fatherless selama 15 tahun lamanya, bahkan setelah ia tahu siapa ayah kandungnya, membuatnya tak pernah berhenti merasakan sembilu. Sebagai anak, ia juga ingin merasakan bagaimana kasih sayang seorang ayah, layaknya orang-orang di luar sana.

"Oh iya, kamu sudah dengar kemarin, kalau Papah mau berubah," tutur Farah, "Nah, tadi pagi, Papah nitip pesen ke Mamah, untuk menyampaikan dua hal ke kamu."

Alvin yang tengah asik bermanja-manja dengan ibunya pun mendudukkan tubuhnya. Ia duduk berhadapan dengan Farah, agar nuansa perbincangan pagi ini lebih merenah.

"Soal apa?"

"Yang pertama dulu, ya. Dulu, kan, kamu pengen banget sekolah di Great School. Tapi, kehalang biaya, karena Papah gak mau biayain kamu."

Alvin mengangguk, sembari mengingat pedihnya perlakuan Davin dan Omah Ranti kala itu.

"Sekarang, Papah udah bersedia biayain kamu sekolah di sana, Sayang," lanjut Farah yang membuat Alvin membulatkan mata bahagia. "Mamah mau tanya, gimana? Kamu mau pindah sekolah ke Great School?"

...

Bakda zuhur, Alvin berada di dalam mobil, ia sudah berpakaian rapi dan wangi. Rambutnya yang berantakan dan agak panjang, kini sudah dicukur rapi, membuat auranya terkesan lebih tampan. Baju koko berwarna abu-marun, dengan lengan pendek pun tak luput menghiasi ketampanannya.

"Great School memang impian Alvin, Mah. Alvin pengen jadi ahli sains sejak masuk SMP. Tapi ... itu dulu, Mah. Seiring berjalannya waktu, bisa saja ada yang berubah, kan? Begitupun Alvin, impian itu udah enggak semenggebu dulu, Mah. Sekarang, Alvin bener-bener nyaman tinggal di Pesantren Ar-Rahiim. Bagi Alvin, Pesantren Ar-Rahiim itu bukan pesantren biasa."

"Dulu, Alvin selalu menyesali hidup, pengen mati aja, benci dengan takdir Alvin sendiri. Jarang sekali Alvin bersyukur. Suka mendem kekesalan, iri, sama dendam. Tapi, setelah Alvin berada di pesantren, hati Alvin dapet hal-hal yang selama ini dibutuhin sama hati Alvin. Ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, kebersamaan yang masyaallah luar biasanya. Banyak hal yang Alvin dapet di pesantren. Saking banyaknya, Alvin gak tau harus nyebutin apa aja. Alvin benar-benar bersyukur, udah diberi kesempatan menjadi santri. Dan, Alvin akan berusaha menjadi seorang santri yang nyantri. Menjadi seorang hamba yang bertakwa. Sama, jadi sebaik-baik manusia."

Masih terbayang jelas percakapannya dengan Farah. Ibunya sampai meneteskan air mata haru karena bangga dengan putranya.

Farah kagum, putranya bisa sedewasa itu, kata-katanya begitu bijak. Padahal, satu semester di pesantren pun belum, tapi Alvin sudah sedewasa itu. Mungkin inilah, dahsyatnya pengaruh pendidikan Qur'ani dalam diri seseorang.

"Masyaallah. Mamah menghargai keputusan kamu, dan Mamah bangga dengannya. Mamah pasti akan dukung, selalu, dan doa Mamah gak akan pernah putus buat kamu."

Alvin tersenyum haru mendengarnya.

"Kalau begitu, hal yang kedua. Kalau kamu memilih tetap di pesantren, Papah mau dan bersedia untuk menjadi donatur tetap di Yayasan Ar-Rahiim."

Alvin tidak bisa menutupi kebahagiaannya. Kendatipun ayah kandungnya mengusir. Akan tetapi, ada hati seorang ayah sambung yang terbuka untuknya. Mungkin, luka hatinya karena kekurangan kasih sayang ayah selama ini, perlahan bisa terobati oleh ayah sambungnya itu.

Semoga Allah selalu merahmati Papah dan menjaga keistikamahan Papah.

"Alvin," panggil Farah, membuat Alvin menoleh, "Jangan lupa, kasih hadiah ini ke Aliya, ya. Mamah cuma bisa nganter sampai depan gerbang doang. Soalnya Arsen ngajak quality time bareng."

"Iya, Mah, gak pa-pa kok." balas Alvin.

"Eh, ngomong-ngomong, Mamah kok gak pernah bilang soal Aliya ke Alvin? Padahal, Mamah udah tau sejak dua bulan lalu."

"Maaf, ya, Sayang. Tadinya, Mamah tuh mau bilang hari ini, tau. Karena menurut Mamah, ini timing yang pas. Di perjalanan ke pesantren, kita ngobrolin Aliya. Jadi, pas tiba di pesantren, kita bisa langsung merasakan euphoria-nya."

"Yha, Mamah ... kalau tau dari dulu, kan, Alvin tinggal bilang ke Aliya, jangan jauhin Alvin. Alvin kan kakaknya."

"Lho, kalian lagi marahan?" Farah mengerutkan dahinya.

"Hmm, bisa dibilang begitu."

"Lho ... kok bisa?" Alvin hanya mengidikkan kedua bahunya. "Tapi, Alvin, kata Mbok Inah, Aliya sudah tau soal itu lho."

"Hah?"

***

Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now