Tuan Dinata - 27

86 6 0
                                    

"Gak pa-pa lo kita tinggal dulu? Kita pengen beli takoyaki," tanya Rahma.

"Iya, gak pa-pa kok," balas Aliya.

Setelah Aliya menyetujui, Rahma dan Sabila pun langsung beralih tempat, ke kedai takoyaki berada. Letaknya selisih lima kedai dengan kedai Seblak+Bakso yang Aliya pilih.

"Pokoknya campur, tapi gak usah pake tangkar, ya, Bu," ucap Aliya menyebutkan pesanannya.

"Iya, siap, Neng."

Biasanya, setiap Pasar Kamis, Aliya selalu menghindari jajan seblak, meskipun ia sangat ingin. Sebab, kedai seblak selalu dikerumuni, paling ramai di antara kedai lainnya. Aliya suka malas jika harus berdesak-desakan dengan banyak orang.

Namun, kali ini, kedai ibu seblak masih belum ramai. Hal itu dikarenakan kakak-kakak kelasnya sedang sibuk mengerjakan tugas yang cukup banyak, jadinya mereka tidak bisa datang sesudah asar seperti biasanya.

Selain itu, teman-teman kelas sepuluhnya sedang ingin jajan minuman viral bernama "Boba". Sehingga, kedai Seblak+Bakso Bu Riri pun tidak seramai biasanya.

"Bu, mau baksonya. Bakso komplit, Bu!" pesan seseorang yang suaranya seakan tak asing di telinga Aliya. Lantas Aliya pun menoleh ke sumber suara, tepatnya di sebelahnya.

"Eh, Alvin!" ujar Aliya dengan penuh antusias. Matanya pun terlihat berbinar setelah mengetahui sosok yang hadir di dekatnya saat ini.

"Aliya!" balas Alvin tak kalah antusias. "Eh, waktu itu kamu sakit, ya? Sekarang udah lebih baik?"

"Oh, kamu tau aku sakit?"

Alvin menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sembari menunjukkan rentetan giginya. "Aku ngobrol sama Dokter Linda sebelum dia meriksa kamu. Jadi, aku tahu."

Aliya menunduk malu dan tersenyum lebar mendengarnya. "Ooh."

"Pedesnya berapa sendok, Neng?" tanya Bu Riri.

"Satu sendok aja, Bu."

"Wah, kalau sudah makan pedes begitu, kondisinya udah lebih dari baik, ya."

"Alhamdulillah. Begitulah."

"Kondisi hati kamu, udah lebih baik juga?" tanya Alvin, mengingat perbincangannya dengan Aliya dipinggir sungai saat itu terkesan mellow.

"Insyaallah. Doakan saja bisa selalu baik."

"Amin."

"Ujang, dikasih kecap, saus, sambalnya?"

"Sambalnya aja, Bu," balas Alvin sembari menuangkan sesendok sambal ke plastik berisi bakso komplitnya.

Pesanan Alvin selesai lebih dulu. Pria itupun lekas memberikan sejumlah uang senilai sepuluh ribu ke Bu Riri. Ya, harganya sangat terjangkau. Beda lagi kalau di kota, sepuluh ribu tidak mungkin dapat bakso komplit.

"Oh, iya. Waktu MTP, aku pernah liat kamu nangis gitu, kenapa?"

Aliya tidak menyangka, Alvin juga melihat keadaannya yang haru-biru saat itu. "Aduh, jadi malu. Gak pa-pa kok, Vin. Masalah temen aja, biasa. Sekarang udah baik-baik aja kok."

"Oh, alhamdulillah kalau begitu."

"Hey, Tuan Dinata! Sudah pdktnya? Gak baik lho lama-lama," tegur Ghani yang datang bersama Alpha. Ghani datang dan langsung merangkul bahu Alvin.

Setelah sekian lamanya, Aliya gembira, bisa kembali melihat wajah semringah Ghani dan gelagatnya yang petakilan. Wajah muram dan suram itu sudah sirna dari muka putih mulus Ghani.

Namun, di sisi lain, dahi Aliya jadi membentuk beberapa lipatan, karena merasa heran dengan panggilan Ghani kepada Alvin, "Tuan Dinata".

"Maksud lo 'Tuan Dinata' itu apa?" Aliya pun memberanikan diri untuk mempertanyakan maksud Ghani.

"Begini, Aliya. Nama belakang bokapnya Alvin itu 'Dinata'. Jadi, gue suka manggil dia pake nama itu, dari masa karantina," jawab Ghani.

"Karena Ghani kemarin-kemarin menyendiri, jadinya kamu baru dengar panggilan itu, Al," tambah Alvin.

"Ekhem, 'kamu'," goda Alpha pura-pura tidak enak tenggorokan.

"Minum, Pa. Takutnya kena flu," sambar Ghani yang ikut-ikutan menggoda.

"Apaan sih, kalian?" protes Alvin.

Aliya justru tidak bereaksi apa pun setelah Alpha dan Ghani bertingkah seperti itu. Ia bergeming. Mencerna kembali kata-kata Ghani, kalau nama belakang ayah kandung Alvin ada kata 'Dinata'.

"Al, kita pamit."

Aliya pun tersadar dari lamunannya, ia pun membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk pelan. Kemudian, setelah mereka bertiga berlalu, Aliya menatap punggung mereka yang berjalan beriringan dengan tatapan heran.

"Woy!"

"Astagfirullah!" pekik Aliya pelan.

"Ngapain bengong sih?" tanya Rahma yang sudah membeli takoyaki bersama Sabila.

Sabila yang baru saja mengikuti arah pandang Aliya pun tersenyum, senyum yang memiliki arti. "Ooh, ada calon misua, ya, Al?"

"Hah?" Aliya terkejut dituduh seperti itu.

"Hah? Siapa, siapa? Kasih tahu!" pinta Rahma kepada Sabila.

"Itu lho, Alvin, yang ikut eskul OAN."

"Serius? Yang keren itu?"

"Beneran."

"Wah, Al, gak nyangka lho."

"Apaan sih, jangan didengerin," ucap Aliya diakhiri dengan tatapannya yang jengah.

...

Setelah sekian lama, akhirnya, Aliya mendapatkan panggilan dari orang tersayangnya. Sosok yang kala itu tengah sakit, dan tidak bisa datang menjenguknya.

Rasa haru tentunya menyelimuti hati Aliya. Tidak pernah sedetik pun Aliya tidak memikirkan Mboknya itu. Perempuan hebat, yang telah mengasuhnya dengan sabar selama ini.

Tetes-tetes air yang menerobos bendungan pelupuk matanya, membasahi pipi. Rindunya begitu menyeruak. Belum satu tahun, rindunya telah membukit. Apalagi jika lebih? Aliya tidak bisa membayangkannya.

"Bulan depan bisa izin pulang, nggak, Neng? Mbok kangen banget sama kamu."

Aliya hendak cepat-cepat mengatakan "iya", tapi ucapan Vina yang tiba-tiba terngiang seketika mencegahnya untuk mengatakan hal tersebut. Lidahnya pun mendadak kelu. Aliya harus berusaha keras sekarang, mencari alasan yang tepat untuk diberitahukan kepada Inah.

"Emm ... enggak bisa, Mbok."

"Kenapa? Enggak boleh dulu pulang, ya?"

"Aliya ikut eskul tahfidz, Mbok. Dalam seminggu, setornya tiga lembar. Aliya harus nyiapin hapalan, sama memperkuat hapalan juga ...."

"Masyaallah ... gak pa-pa, Neng Aliya. Semangat terus menghapalnya, ya. Semoga bisa terus dimudahkan dan menjadi barokah untuk Neng."

"Amin."

Maafkan Aliya, Mbok. Aliya telah berbohong.

***


Bukan Pesantren Biasa✓Where stories live. Discover now