48. Permohonan Aleta

Start from the beginning
                                    

Aleta menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak, gue percaya sama kalian. Gue cuma nggak mau buat kalian khawatir," balas Aleta lemah. "Gue cuma beban kalian," imbuhnya.

"Lo nggak boleh ngomong gitu! Lo bukan beban, lo harusnya bilang sama kita kalo lo sakit!" tekan Abian, wajahnya sudah penuh dengan air mata.

"Lo adik kita, kita sayang banget sama lo. Dengerin gue, lo pasti bisa sembuh," tekad Ginjar.

Mendengar perkataan Abian, dan Ginjar membuat hati gadis ini berdenyut ngilu.

"Gue udah nggak punya harapan buat sembuh," gumam Aleta. Membuat hati ke empat lelaki ini seperti tergores, begitu perih.

"Nggak boleh ngomong gitu Aleta. Lo nggak boleh pergi, pokoknya. Kalo lo pergi, nanti kita semua sedih lho," sahut Alana sembari tersenyum pedih.

"Apanya coba yang sakit, hm?" tanya Ginjar, nadanya terdengar berat.

"Semuanya terasa sangat sakit," jawab Aleta dengan kekehan lirih.

Mereka semua terdiam, Aleta menatap Alvaro yang sedari tadi menunduk. "Alva tau semua tentang penyakit gue," ujar Aleta. "Tapi gue bilang ke dia buat jangan bilang ke siapa-siapa."

Alvaro menatap retina mata sepupunya, air matanya sudah mengalir dengan deras. Tatapannya melemah. "Gue minta maaf, harusnya gue nggak ngejauhin lo pas hari itu. Harusnya gue temenin lo buat kemoterapi... tapi gue malah nyuruh lo buat nikmatin rasa sakitnya," balas Alvaro lalu terkekeh pedih.

"Gue ikut kemoterapi pun, belum tentu gue bisa sembuh," sanggah Aleta pelan.

"Tapi setidaknya kita udah usaha!" sentak Abian. Abian benci ketika Aleta–gadis yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri lemah, bahkan putus asa seperti tidak ada harapan untuk hidup lebih lama lagi.

Aleta terdiam lalu menatap mereka dengan tatapan memohon. "Gue boleh minta sesuatu sama kalian?"

Alvaro, Ginjar, Alana dan Abian mengangguk kompak. "Gue mau keluar sebentar, gue mau liat bintang. Gue bosen di sini."

"Boleh, tapi nggak sekarang," tolak Ginjar cepat.

"Kondisi lo sekarang itu jauh dari kata baik, queen!" kesal Abian.

"Gue udah baik-baik aja!"

Aleta menatap Alana memelas. "Alan, gue mau keluar. Gue mau liat bintang," rengek Aleta dengan isak tangisnya yang mulai terdengar.

Alana berjongkok di hadapan Aleta, kemudian mengusap air mata ketua Sea Lingga itu lembut.. "Cep, cep, cep. Iya, nanti kita liat liat bintang. Tapi lo berenti dulu nangisnya," ujar Alana, laki-laki ini merasa tidak tega melihat Aleta nangis.

"ALANA!" bentak ketiganya emosi. Membuat Alana meringis pelan.

"Gue nggak tega liat Aleta nangis," jujur Alana sambil mengambil kursi roda yang memang sudah di sediakan di ruangan ICU ini.

"Bantu copot-copotin selangnya, Alan." pinta Aleta sembari tersenyum lebar. Bola matanya berbinar menatap Alana penuh harap.

Alana mulai mencopotkan satu persatu selang yang menempel di tubuh Aleta, lalu membantu Aleta untuk duduk di kursi roda.

"Kondisi lo itu belum pulih Aleta!" desis Abian.

"Biarin aja, nanti juga pulih sendiri," balas Aleta santai.

"Gue mau ketemu Aluna, boleh gak?" Aleta menatap Alana penuh dengan harapa.

"Boleh dong, apa si yang nggak buat Aleta," jawab Alana cepat.

Ketiganya cengo menatap Alana dan Aleta yang perlahan keluar dari ruangan ini. "WOI, GUE IKUT!" teriak Abian ketika melihat Alana dan Aleta yang perlahan menjauh.

RATSELWhere stories live. Discover now