37. Ancaman Helena

Start from the beginning
                                    

"Mami tenang aja, Leta bakal pergi dari sini. Tapi kasih waktu Leta seminggu buat ujian kenaikan kelas. Kasih kesempatan buat Leta biar Leta bisa bikin mami bangga dan Leta harap mami bisa ngurangin rasa benci mami ke Leta," lanjutnya dengan pelan.

"Saya benci kamu karena kamu dari dulu selalu buat saya malu, tidak pernah membuat sedikit pun saya bangga!" hardik Helena.

Helena menunjuk wajah Aleta. "Kamu sadar nggak akan hal itu? Nggak, kan? Otak itu di pakai, jangan di jadiin pajangan doang!" Bentakan Helena mampu membuat bahu Aleta bergetar dengan hebat.

Napas Aleta memburu, ia menahan sakit yang berada di bagian jantungnya. Ucapan Helena itu sangat menyakiti hatinya.

"Aleta benci banget sama aku," ucap Alena sembari menyeka air matanya.

"Kasih dia waktu, dia pasti bisa nerima kamu sebagai saudaranya," Balas Helena.

"Kamu tenang , ya, Alena. Percaya deh, kalo dia bakalan bisa sayang sama kamu. Toh kamu kan adiknya," sahut Gustira.

Alena menangis, namun bibirnya membentuk senyum miring yang tidak dapat dilihat oleh Helena maupun Gustira.

***

Sampai di kamar, Aleta langsung menutup pintunya kelewat kencang.

Aleta menumpahkan semua obat yang berada di laci meja belajarnya ke lantai. "Buat apa gue minum obat? Obat enggak bakal bisa buat gue sembuh," gumam Aleta lirih.

Aleta mengeluarkan ponsel Feri yang dia simpan di saku jaketnya Alvaro.

Gadis itu membuka aplikasi perekam suara, lalu mulai menyalakan rekaman suara Feri di aplikasi tersebut dengan tangan yang bergetar.

"Halo, Aleta!" Suara Feri mulai terdengar di pesan suara itu, suaranya terdengar begitu ceria.

"Aku buat podcast kayak gini biar kamu bisa terus dengerin suara aku, walaupun aku udah engga ada di dunia ini," ucapnya dengan suara yang bergetar.

"Hei, kamu nggak boleh nangis, sayang."

"Masa nangis..."

"Jadi cewek tuh harus kuat, ya? Gaboleh dikit-dikit nangis."

"Semangat!"

Tangisan Aleta semakin kencang, sungguh rasanya begitu menyakitkan. Dia membekap mulutnya untuk menahan isak tangisnya. "Feri," lirih Aleta.

"Aku nggak akan pernah bosen, buat bilang ke kamu. Kalau aku, sayang banget sama kamu."

"Kenapa bintang bersinar saling berjauhan? Karena untuk menunjukkan kita bahwa jarak dan perpisahan bukanlah halangan untuk mencapai tujuan." Suara Feri berubah seperti menahan sesak yang berada di hatinya.

"Kamu mau tau ga tujuan aku apa? Tujuan aku itu cuma mau buat kamu dan ibuku bahagia," lirih Feri.

"Walaupun kematian yang akan memisahkan kita. Kamu harus tetep tenang, berdoa sama Tuhan, minta sama Tuhan supaya kita bisa bersama di Syurga sana," lirih Feri lagi.

Aleta mematikan pesan suara dari Feri itu dengan cepat, hatinya sakit mendengar ucapan lirih dari Feri. Dadanya begitu sesak, karena harus menahan isakkan.

****

Di luar, Alena masih meracau bahwa dia bukanlah pembunuh. "Aku bukan pembunuh, Mami!"

Helena menangkup wajah putrinya itu lalu berkata. "Kamu bukan pembunuh, nak. Feri meninggal karena udah taqdirnya."

"T-tapi, Aleta nyalahin aku. Dia tadi bilang aku pembunuh, Mami juga dengerkan tadi?" tanya Alena dengan suara yang terbata-bata.

"Aleta bahkan mau menjarain aku, Mi!" ujar Alena dengan nada tinggi.

RATSELWhere stories live. Discover now