Zia tersenyum gemas dan langsung mematikan ponselnya. Tanpa ia sadar, kini ia merebahkan kepalanya di punggung Aron.

Aron mengangkat kepalanya malas. Menatap istrinya yang enak enak meniduri punggungnya sedangkan ia berusaha tertidur kembali. Pengganggu.

"Minggir gak lo?"

Zia langsung menoleh. Wajahnya sedikit tercengang saat melihat posisinya. Segera ia memindahkan dan duduk kembali. "Gak sadar."

Tidak ingin menggubris, Aron kembali tidur. Zia pun. Gadis itu kini menidurkan dirinya kembali. Menarik selimut dan memiringkan tubuhnya membelakangi Aron yang masih tengkurap.

••••••

Zia berjalan sedikit tidak sabaran memasuki sebuah kafe yang terdesain klasik. Tidak terlalu ramai pengunjung dan Zia memilih tempat pojok sekarang.

Menaruh bawaannya dimeja sana dan langsung duduk tanpa ingin memesan lebih dulu. Ia memilih menunggu seorang yang sudah berjanjian dengannya.

Wajah riangnya sudah tidak bisa ia tahan. Entahlah, ia hanya terlalu senang hari ini. Kali ini harinya benar benar tanpa beban ataupun masalah.

"Hei,"

Zia tersenyum manis saat melihat sosok Gibran yang baru saja datang. Dengan kaos putih terbalut jaket dan celana panjang. Sederhana tapi menawan. Gibran duduk yang sebelumnya mengecup sekilas puncak kepala Zia.

"Happy birthday Gibran." seru Zia mengeluarkan senyum manisnya.

Gibran terkekeh pelan. Setiap kali melihat senyum itu, rasanya ia menjadi laki laki paling bahagia yang bisa mendapatkannya.

"Makasih sayang."

"Sama sama." balas Zia gemas dengan menyodorkan kotak bewarna cokelat dengan pita benang cokelat menghias ditengah.

"Buat kamu,"

"Apa ini, hm?" gumam Gibran tersenyum geli menatap Zia.

"Buka aja."

Gibran mengangguk. Ia lantas membuka tutup kotak itu. Lengkungan manis tercetak di jelas diwajah laki laki itu kini. Gibran tersenyum melihat foto polaroid yang terpampang jelas disana. Foto mereka berdua yang dirangkai begitu indah. Sederhana tapi baginya itu luar biasa.

"Kamu yang buat?" Zia mengangguk.

"Suka nggak?"

"Sini,"

Zia berdiri. Melangkah maju dan langsung di peluk oleh Gibran. Untuk saat itu Zia merasakan kebahagiaan yang tak terukur di posisi seperti ini. Tapi balik lagi jika ia mengingat ini semua kesalahan.

"Thank you baby."

"Geli!" seru Zia dengan kekehan ringan. Keduanya sama sama melepas pelukan dan Zia duduk disamping Gibran kini.

"Masih ada lagi itu," lanjut Zia memberitahu.

"Iya?" Zia mengangguk angguk.

Gibran mengangkat foto polaroid itu dan kini melihat satu kotak bening yang berisi jam tangan disana.

"Kenapa repot banget sih Zia?" bukannya tidak senang. Hanya saja ia tahu Zia pasti bekerja keras untuk membelikannya jam tangan seperti ini.

"Nggak suka ya?" Zia sedikit kecewa.

"Bukan itu," Gibran menoleh kembali pada Zia. "Kamu beliin aku jam tangan kayak gini pasti ngeluarin uang banyak kan? Atau buka celengan?"

Zia diam. Gibran terlalu tahu dan hafal sikapnya.

ZiAron [END]Where stories live. Discover now