"Zia maaf, gue gak tau kemarin itu lo. Gue mabuk zi gu,-

"Gue tau lo mabuk ar. Gue tau. Tapi gak seharusnya lo kayak gini ke gue. Lo ambil semua yang udah gue jaga baik selama ini. Lo," Zia tidak dapat meneruskan kata katanya sendiri. Semuanya terlalu tiba tiba. Hidupnya benar benar hancur sekarang.

"Kenapa harus gue yang ada di posisi kayak gini tuhan?" Zia menunduk pilu.

"Gak cukup buat Zia hancur karena kehilangan papa mama? Kenapa sekarang Zia harus kehilangan kehormatan Zia juga?"

Aron membuang pandangan ke samping. Hembusan nafas pelan keluar dari hidungnya. Kenapa ia harus menghancurkan hidup seorang gadis seperti ini?

"Lo kenapa tega banget sama gue sih ar? Kenapa harus gue yang jadiin lo korban? Hidup gue udah menderita Aron. Jangan buat gue tambah menderita." Aron menoleh kembali. Jujur. Ia tidak tega melihat tangis Zia seperti ini.

Zia menunduk kembali. "Hidup gue yang semula udah mulai membaik, sekarang hancur lagi karena lo."

"Gue tanggung jawab." kata Aron tegas dan bulat.

Zia tidak menjawab. Kepalanya menggeleng kuat dengan cengkraman di selimut. Aron memeluknya kini. "Gue tanggung jawab zi. Maaf." lirih Aron bersalah.

"Gak. Gue ada Gibran. Gue cinta sama dia. Dia pacar gue dan gak seharusnya gue kayak gini." parau Zia terisak penuh.

Aron melepas pelukannya. Wajahnya sedikit berambisi kini. "Lo gak sadar lo udah gak pantes buat siapapun sekarang?"

Zia menegakkan kepalanya kembali kini. "Sadar. Tapi gak semudah itu gue tinggalin orang yang gue cinta karena perbuatan bejat lo itu."

"Makanya gue tanggung jawab. Niat gue baik Zia." timpal Aron cepat sedikit meninggi.

"Gue bukan cowok brengsek yang udah ngerenggut kehormatan seorang gadis dan langsung pergi gitu aja."

Aron menggenggam kuat tangan Zia. "Gue, Aronald Damarion akan nikahi lo."

-Flashback off-

Aron menghempas kasar tangan Zia. Mata elangnya menatap Zia tajam yang sudah ia kunci di mobil sekarang.

"Iya terserah anggapan lo nganggep gue selingkuh atau terserah apa itu. Yang jelas gue belum bisa ngelepas Gibran." ucap Zia sedikit panjang mendahului Aron yang akan berucap.

Aron tidak sengaja melihat keduanya itu tadi. Sampai akhirnya ia menghampiri dan menyeret paksa Zia. Kejadian itupun juga pasti saat Gibran tidak ada.

"Gue emang gak akan pernah larang lo berhubungan sama siapapun itu. Tapi lo juga harus bisa mikir kalau lo masih tetap mau pertahanin Gibran, mubazir juga kita nikah kayak gini. Otak lo pake." balas Aron menusuk.

"Gue juga gak maksa lo tanggung jawab dulu. Lo yang kekeh mau tanggung jawab karena gak mau di cap cowok brengsek." timpal Zia malas.

"Oh jadi lo mau terus pacaran sama Gibran itu? Brengsek juga lo jadi cewek ternyata." Aron menyungging senyum remeh.

"Apa bedanya sama lo yang belum bisa move on masa lalu lo?" Zia menatap Aron dengan alis yang terangkat tinggi.

"Kita sama aja Aron. Lo yang belum bisa lepas dari bayang bayang Dista dan gue yang belum bisa lepas dari Gibran." lanjut Zia serius.

Aron tertawa hambar kini. "Beda lah bodoh." Aron memajukan kepalanya dengan tatapan menusuk. "Dista udah gak ada sedangkan Gibran masih ada. Wajar kalau gue masih belum bisa move on. Sedangkan lo? Lo pacaran sama cowok lain padahal lo sekarang udah jadi istri gue."

Aron menyungging senyum smriknya. Memposisikan tubuhnya seperti semula dan bersandar pada jok dengan santai.

Zia terdiam sekarang. Matanya belum beralih menatap serius Aron. Disini ia yang korban tapi kenapa ia yang disalahkan?

Aron lah yang menjadi dalang dari kerumitan hidupnya. Jika Aron tidak berbuat gila dulu, mungkin sekarang hubungannya dengan Gibran akan jauh lebih baik baik saja. Tidak terselimuti kebohongan seperti ini. Dan pastinya tidak akan melakukan hubungan yang ia sadari tidak pantas di saat ia sudah menikah sekarang.

"Hidup numpang gak usah sok ngelawan."

Zia yang tadinya sudah melunak dan merasa juga bersalah itu, seketika menatap Aron tajam kembali.

"Maksud lo apa ngehina gue?" ucap Zia tanpa takut. Kini ia malah emosi mendengar Aron seperti meremehkannya.

Aron menggidik bahunya. "Nyatanya emang gitu kan? Disini lo cuma numpang sama gue dan keluarga. Bahkan buat keluarin duit sendiri lo gak bisa."

"Kenapa sih ar, lo selalu masalahin hidup gue yang di biayai semua sama keluarga lo?" wajah Aron sedikit melemah kebawah mendengar ini.

"Padahal gue juga gak minta apa apa sama keluarga lo. Mereka sendiri yang mau cukupi kehidupan gue. Mereka yang ngasih tanpa gue minta. Tapi kenapa lo selalu mempermasalahkan itu?" Zia menghela nafas pelan dengan membuang pandangannya sebentar.

"Lo mau semua uang yang dikasih sama ayah tadi? Lo mau mobil ini juga?" Zia terdiam sejenak. "Ambil. Gue gak butuh semua itu."

Zia menunduk kemudian. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Keadaan menjadi hening sekarang. Tidak ada yang bisa bersuara. Dan entah datangnya dari mana perasaan ini, tiba tiba Aron merasa iba dengan gadis itu.

Bukan iba karena cinta atau sebagainya itu, tapi karena iba merasa salah dalam perkataanya. Tidak seharusnya Aron meremehkan Zia seperti tadi. Ia tahu selama ini Zia bekerja untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Zia gadis baik hanya saja ia tidak suka dengan sikap Zia yang masih ingin mempertahankan Gibran.

"Zi,"

Zia menepis tangan Aron yang akan menyentuh dagunya. Zia mendongak sendiri. Saat itu Aron terhenyak saat melihat wajah Zia yang sudah memerah karena tangis.

"Lo mau gue hidup kayak dulu kan?" Zia tersenyum. "Gue bakal bilang sama orang tua lo kalau mulai sekarang mereka gak usah biayain hidup gue lagi."

"Tenang aja. Gue gak bakal bilang ini semua karena lo. Emang bukan karena lo juga. Gue sadar diri ar. Gue orang yang gak sengaja dan gak seharusnya masuk di keluarga lo." Zia menghembuskan nafas pelan kembali. Menenangkan dirinya sendiri dengan keadaan.

"Dan mulai sekarang juga. Jangan pernah larang gue buat berhubungan sama Gibran. Karena gue udah gak numpang lagi sama lo ataupun keluarga lo."

Zia turun kemudian. Pergi dengan tangisannya. Menerobos angin malam yang membuat tangisan itu semakin mengalir deras tanpa suara.

Aron terdiam cukup lama. Matanya juga terus menyorot kebawah. Mendongak keatas dan melihat punggung kecil itu yang terus menjauh.

Kenapa ia harus peduli?

Kenapa ia harus peduli?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

VOTE JANGAN LUPA.

HAPPY SATNIGHT AND SEE YOU.

ZiAron [END]Where stories live. Discover now