24. Di rumah Sena

Start from the beginning
                                    

"Ini karena Gustira? Gustira yang melakukan ini semua terhadap kamu?" tanya Sena beruntun.

Aleta yang berada didekapan Alvaro mendongak, memandang bola mata yang hitam dan legam milik Alvaro sekilas. "Jawab Ale,"

Seakan terhinoptis, Aleta menatap Sena lalu menjawab pertanyaan Sena. Ia mengangguk lemah.

Dengan isak tangis yang terdengar jelas, Sena memeluk tubuh Aleta yang ringkuh. Ada rasa bersalah di dalam hati Sena karena tidak bisa melindungi Aleta saat disiksa Gustira. "Dia ngapain kamu aja, Aleta?"

Aleta menunduk, ia mati-matian menahan bulir bening keluar dari pelupuknya. "Dia hukum Aleta. Tante, ini salah Aleta juga, Aleta gak dapet juara satu di ulangan harian kali ini. Makanya Aleta dihukum sama Dady," jelas Aleta sambil terkekeh sendu.

Sena memeluk Aleta lagi masih dengan tangisannya. "Maafin tante, Aleta... Tante..."

Aleta melonggarkan pelukannya, ia menatap wajah Sena yang penuh air mata.

"Tante, gak perlu minta maaf. Tante gak salah kok." Aleta tersenyum lebar menandakan ia baik-baik saja. "Aleta juga gak pa-pa,"

Senyuman itu membuat hati Alvaro seketika berdenyut nyeri.

Sena mengusap air mata Aleta pelan. "Mami kamu pasti kasih hukum kamu juga, kan?"

Aleta masih dengan senyumannya mengangguk lemah membuat air mata Sena mengalir lebih deras dari sebelumnya. "Dia kasih hukuman kamu apa?"

Aleta melirik netra Alvaro sekilas. "Hukumannya ringan banget, kok, Tante!" jawab Aleta riang.

"Hukuman apa?" Alvaro yang bertanya membuat senyum dibibir Aleta luntur.

"Jangan makan apa pun, termasuk makan nasi selama satu minggu penuh," jawaban dari Aleta mampu membuat Alva mengumpati Helena didalam hatinya.

"Crazy," gumam Sena sambil terus menintikan air matanya.

Alvaro mengusap telapak tangan Aleta lembut, hidung Alvaro memerah entah kenapa. "Dengerin gue, sekarang lo makan, ya? Lupain hukuman mami lo itu."

Aleta menggeleng pelan. "Nanti mami marah, terus gue diberatin lagi hukumannya gimana?"

"Aleta!" Alvaro kelepasan membentak Aleta, ia juga tak sengaja membuat telapak tangan Aleta terluka hingga mengeluarkan darah.

"Alvaro," tegur Sena.

Aleta yang terkejut hanya mengedipkan matanya beberapa kali, ia tidak bisa dibentak oleh Alvaro. Maka, sekali saja ia dibentak oleh sepupunya itu, ia akan menangis.

Tatapan Aleta beralih menatap telapak tangannya yang mengeluarkan darah, ia tersenyum lebar tapi kedua netranya berkaca-kaca. "Tangan Ale berdarah lagi, haha!"

Alvaro merutuki kebodohannya, ia dengan cepat mengambil telapak tangan Aleta tapi lebih dulu Aleta menyentaknya. "Jangan disentuh, nanti tambah sakit!" omel Aleta. "Kenapa cuma tangan Ale doang yang Alva buat berdarah?"

Alvaro mengambil telapak tangan Aleta yang bergetar. Dengan cepat, laki-laki itu mengisap jari telunjuk dan jari manis Aleta yang mengeluarkan banyak darah. Setelah dirasa tidak ada darah yang keluar, laki-laki yang berperawakan jangkung itu mendekap Aleta yang tubuhnya bergetar hebat. "Maaf, gue kelepasan,"

Sena masih ada disana, ia tersenyum tipis. "Aleta, makan, ya? Kalo gak abis nanti biar Alvaro yang habisin," bujuk Sena.

Aleta mengangguk, ia akan makan atas bujukan Sena membuat wanita itu tersenyum lebar. "Tante buatin dulu, ya? Alvaro, jagain Aleta-nya!"

Sena melangkahkan kakinya keluar menuju dapur hendak membuat makanan untuk keponakan tersayangnya.

"Jangan bentak-bentak," bisik Aleta dengan suara yang bergetar masih didekapan Alvaro. "Ale takut,"

"Iya, nggak lagi-lagi deh!"

Aleta melonggarkan dekapannya, ia memberi jari kanan kelingkingkingnya.

"Janji?"

Alvaro tertawa lucu, ia menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking milik Aleta dengan senyum tulusnya. "Janji!"

"Omong-omong lo tau gue kecelakaan pas gue kelas sepuluh sambil Durga gak?"

"Gue gak mau bahas itu,"

"Alva, gue mohon. Gue udah dua kali mimpiin Durga, gue jahat banget ya? Gue gak nolongin Durga, gue malah buat Durga meninggal." Aleta berceloteh riang namun hatinya rapuh.

"Gue udah inget Alva, gue baru sadar kalau Mami Helen nyuruh si Bibi buat campurin sesuatu yang buat gue gak inget sama sesuatu kejadian," lanjut Aleta.

"Pas Dady Gustira hukum gue, gue takut. Dia mau ngelecehin gue, dan pas gue gak kuat bayang-bayang dia hadir di kepala gue setahun yang lalu. Alva sakit, gue masih gadis kan?"

"Lo berhasil kabur, Ale. Karena lo kabur lo kecelakaan, lo dinyatakan amnesia sementara. Lo cuma inget Mami lo, dan inget gue doang tapi lo gak inget hari itu. Lo gak inget Sela, Sesil dan Feri. Ya Sela sama Sesil sih baru deket jadi wajar aja, tapi Feri? Namanya aja lo gak pernah sebut lagi." Balasan Alva membuat Aleta menunduk.

"Gue sadar Le, ada yang salah. Tiap gue nanyain Feri ke lo pasti Mami lo marah ke gue, gue nyari tau diem-diem karena kita dulu emang gak sedeket itu. Gue nemuin obat Benzodiazepin, gue cari tau lagi itu buat kecemasan karena tiap lo liat Dady Gustira pasti cemas takut padahal lo aja lupa siapa si Gustira, dan ternyata bener obat itu juga bisa buat si penderita hilang ingatan."

"Yang lebih parah lagi penjelasan Dady Gustira ke Mami lo itu setengahnya bohong, masa bilang dia bantuin lo bebas? Dia nolongin lo? Najong teuing, mana Mami lo percaya lagi. Sialnya gue juga awalnya percaya anjir!"

"Gue nyari taunya pas lo naik kelas 11, sekarang lo mau kelas 12 gue lulus deh!" Lanjut Alvaro.

"Yeuu lulus duluan, dasar tua!" ejek Aleta

"Ngeledek banget ni bocah," dengus Alvaro kemudian menggeletiki telapak kaki Aleta lalu ke perut.

"Hahahah, Alvaro udah! Geli anjir!"

***

"Than, ayok keluar dari sini!"

Thania mendongak, suara itu terdengar tidak asing.

"Ayo cepet keluar dari sini."

Markas Sea Lingga sepi, hanya ada dirinya dan seorang pemuda yang tentunya juga sebagai inti Sea Lingga.

"A—"

"Lo gak usah banyak omong, cepet keluar sebelum banyak orang."

Thania mengangguk patuh, sambil berjalan keluar dituntun oleh pemuda tampan ini karena kakinya sakit.

"Gue yakin, lo gak bakal setega itu biarin gue menderita di sini." Batin Thania puas.

"Dan pengkhianat kayak lo bakal terungkap sedikit lagi," lanjutnya.

Tubuh Thania kacau, kantung matanya hitam. Pipinya juga lebam karena tamparan belum lagi kakinya yang ditendang oleh Bima membuat tubuhnya semakin sakit. Sedangkan Fadhil sudah tidak sadarkan diri.

***

Haiiii!! Gimanaa sama part 24 nya?
Bagus ga? Bagus ga? Bagus ga?

Jangan lupa vote and komen ya 💗

Jangan jadi pembaca gelap ya geis-!

RATSELWhere stories live. Discover now