24. Memaafkan

26 45 0
                                    

"Saat hati kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, ini akan membuat kita semakin tenang, nyaman dan bahagia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Saat hati kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, ini akan membuat kita semakin tenang, nyaman dan bahagia."

Jam sudah menunjukkan pukul 09.00, namun Ulya tidak kunjung bisa memejamkan matanya. Sejak pukul 08.00 ia sudah membaringkan tubuhnya. Sudah sangat niat mengistirahatkan badannya yang letih, pikirannya yang terasa semrawut.

Badannya terus bergerak-gerak. Dari miring samping kanan, samping kiri, terlentang, tengkurap. Membalik arah tidurnya sehingga kakinya bisa menyentuh tembok, menjauhkan bantal, guling dijadikan bantal, dan masih banyak usahanya untuk tidur.

Matanya seakan tidak ingin berkompromi.

Dengan kesal ia duduk kembali. Menatap langit-langit kamarnya yang terdapat lampu. Benda pijar itu bersinar sedikit menyilaukan. Ulya memang terbiasa tidur tanpa mematikan lampu. Sudah kebiasaannya sedari masih kecil.

Ia menatap gulingnya yang hampir jatuh. Pikirannya menata satu-persatu masalah yang hadir terus menerus.

Di mulai dari kejahilan Raihan yang tidak kunjung berhenti. Entah apa motif anak itu.

Hingga candaannya yang melewati batas. Membuat semuanya berubah.

Kemarahan Bu Lena masih sering terdengar di telinganya. Seperti sirine memalukan di otaknya.

Hingga tanggapan orang2 yang salah mengartikan semuanya. Padahal kan si biawak hanya mencium kening.

Dan sampailah semua cibiran hilir mudik seperti jalan raya yang tidak kunjung surut.

Kemaluan terus hadir.

Rasa lelah terus menyambangi.

Hatinya terasa diremas-remas saat memikirkan pikiran orang lain tentangnya.

Bahkan di saat semua hampir mereda dengan isu lain.

Ia masih merasa bersedih.

Tidak sadar ia meneteskan air matanya.

"Rasa malu ini terasa membekas," ucap Ulya di tengah tangisnya.

"Lalu salah ya? Ia tidak ingin memaafkan Raihan?" tanyanya kosong.

"Semua masalah ini hadir gara-gara dia."

"Bahkan tatapan merendahkan itu juga ada karena dia."

"Semuanya gara-gara dia," ucapnya bergetar. Dengan suara pelan ia tidak ingin mengganggu istirahat kedua orang tuanya.

"Gue nggak akan memaafin dia," gumam Ulya masih merasa kesal.

Ulya menghapus air matanya. "Tapi untuk apa aku menangis. Ini semua percuma," lirihnya kesal.

Ia harus mengalihkan pikirannya.

Harus!

Ia pun beranjak dari ranjangnya keluar kamar dengan mengendap-ngendap menuju dapur.

Dia #APHPWhere stories live. Discover now