11. Merenungkan

52 71 3
                                    

"Bagaimana bisa semua masalah terjadi dalam satu hari penuh? Tidak bisakah nyicil satu kali sehari? Tidak tahukah otakku sudah mencapai dosisnya?"

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

"Bagaimana bisa semua masalah terjadi dalam satu hari penuh? Tidak bisakah nyicil satu kali sehari? Tidak tahukah otakku sudah mencapai dosisnya?"

Hari semakin siang, udara semakin memanas. Ulya berjalan ke kelas sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.

Jujur, ia masih bingung dengan apa yang terjadi tadi.

Kenapa Raihan memeluknya, bahkan mencium keningnya tadi?

Oh hello, tidak mungkin kan iseng?

Kalau benar iya? Dia memang benar-benar gila.

Tapi sudah dipastikan dia memang gila.

Bahkan dia pringkat terbawah kedua di kelas. Hebat, otaknya sepertinya perlu di program lagi.

Astaufirullah, nggak baik ngatain orang Ulya. Ingatnya berfikir ucapan Afifah.

Sampai di kelas ia langsung mendudukkan dirinya di bangku. Menatap papan tulis dengan pandangan tidak terbaca.

"Ul kenapa Lo?" tanya Nabila yang baru saja lewat bangkunya. Ulya tetap terdiam.

"Woi kesambet lo?" tanyanya lagi sambil menggoyang pundak Ulya khawatir. Bisa heboh satu kelas jika dia benar-benar kerasukan.

"Ha?" tanya Ulya menatap Nabila bingung. Nabila menyentuh dahi Ulya, membolak-balik telapak tangannya di sana.

"Ngga panas? Terus Lo kenapa?"

Ulya menatap Nabila datar. "Jauh-jauh sana kalau niatnya cuma mau ngeledek," kesal Ulya.

Nabila mendudukkan dirinya di bangku Erina menatap lekat wajah Ulya. "Tadi, habis Lo masuk ke kelas kan. Lo diam terus, kayak orang kemasukan. Kan Bila takut, secara nanti kalau pindah ke gue gimana? Hi ngeri," jelas Nabila membuat Ulya mengernyit. Ia tadi tidak sadar melamun.

"Masa sih?"

"Hooh."

"Ngibul yah?"

"Buat apa coba?" balas Nabila ikut kesal.

"Ya mana tahu," balas Ulya semakin menyebalkan di telinga Nabila.

"Dah balik?" tanya Erina baru datang bersama Afifah. Mereka berdua terlihat membawa dua es dan bungkusan nasi di dalam kresek putih.

"Udahlah. Kalau belum, Ulya nggak bakal ada di sini," bukan Ulya tapi Nabila yang membalas.

"Ya biasa aja dong, nggak usah ngegas," balas sengit Erina.

"Udah selesai. Nanti lagi ributnya, sekarang makan dulu," lerai Afifah.

Ulya menatap mereka lesu. Iakan juga lapar tidak peka sekali mereka. Ia pakai lupa bawa bekal lagi tadi. "Ke kantin dulu ya," pamitnya.

Dia #APHPKde žijí příběhy. Začni objevovat