5. Tindakan Manis

589 121 50
                                    

Guan mengusap dagunya sekilas sebelum memberanikan diri mengetuk pintu kamar hotel tempat Suryo dan Irene menginap. Pemuda itu akan bertingkah seolah-olah tidak mendengar apapun. Jika nama Jeka disebut entah kenapa hatinya mendadak panas. Meski kata Suryo pemuda itu tak sebanding dengannya, namun tetap saja sosok Jeka masih menguasai seluruh hati Unaya. Bahkan Irene sekalipun. Satu lawan dua, terlihat sesungguhnya siapa yang unggul diantara mereka.

Pintu kamar dibuka, nampak lah sosok Irene yang awalnya cukup terkejut dengan kehadiran Guan. Namun beberapa detik kemudian senyum tipis disuguhkan untuk Guan, hanya senyum biasa yang terlihat seperti basa-basi. Sekedar untuk menghormatinya saja.

"Halo Tante, Guan dateng buat ketemu Om Suryo". Sapa Guan dengan ramah.

"Kamu jauh-jauh dari Singapura ke Korea cuma mau ketemu suami saya? Ya ampun katanya dokter kok seselo itu. Pasti karena koneksi dari Papa kamu ya makannya kamu bebas lakuin apa saja". Guan tersenyum kecil menanggapi perkataan Irene yang cenderung pedas padanya. Cara bicaranya amat lembut tapi sukses menohok. Untung Guan sudah terbiasa.

"Maaf Tante. Kebetulan saya memang ada urusan di rumah sakit Korea jadi sekalian mampir. Boleh saya masuk?". Ujar Guan masih mempertahankan sopan santunnya. Kalau saja Irene bukan calon mertuanya, sudah pasti ia akan menyuruh ajudannya untuk melenyapkan wanita itu.

"Siapa Ma? Eh... ada calon menantu kesayangan Om. Sini masuk-masuk". Kata Suryo dengan begitu ramahnya. Irene memutar bola mata malas kemudian memilih keluar dari kamar hotel tanpa pamit. Mau cari udara segar. Kalau ada Suryo dan Guan di dalam satu ruangan, kayak ada bau-bau uang alias pasti bakal ngomongin soal bisnis.

"Hai Om, maaf Guan ganggu waktu Om. Kebetulan Guan ada urusan di Korea jadinya mampir". Suryo mempersilakan Guan duduk di sofa yang tadi ia dan Irene duduki. Lelaki itu membersihkan sofa terlebih dahulu sebelum mempersilahkan calon menantu yang selalu ia bangga-banggakan itu duduk.

"Gak ganggu kok. Malahan Om seneng kalau kamu mampir. Gimana urusannya lancar? Kalau urusan kamu udah selesai, Om harap kamu bisa ke Jakarta susulin Unaya". Kata Suryo langsung.

"Alhamdulilah lancar Om. Mungkin sekitar seminggu lagi semuanya kelar. Guan ke Jakarta kalau udah beres. Unaya aman kan Om di sana? Kan ada Mama-nya". Tanya Guan memastikan. Guan ini belum tahu kalau Unaya tinggal satu atap dengan Jeka, jadinya masih tenang-tenang aja.

"Ya ada Mama-nya sih. Maaf karena Om gak bilang kalau dia tinggal sama saudara tirinya. Om suruh kamu cepetan ke Jakarta biar bisa bawa Unaya keluar dari rumah itu". Guan terdiam mencoba berfikir tenang agar tidak gegabah mencaci maki Suryo. Lagi-lagi pemuda bernama Jeka itu yang menjadi momok mengerikan untuknya. Guan dengan begitu tulusnya mencintai Unaya, namun sayang tidak pernah ada timbal baliknya. Pemuda itu masih betah bersabar, setidaknya ia akan melakukan apapun demi tetap mempertahankan Unaya disisinya.

"Itu bukan masalah besar selagi Om ada dipihak saya kan?". Ujar Guan sembari menyunggingkan senyum mengerikan. Pemuda itu meraih ponsel disaku celananya kemudian menghubungi seseorang.

"Halo. Kerahkan semua anak buah kamu untuk mengawasi tunangan saya. Berikan laporan sedetail mungkin. Info lebih lanjut akan saya kirim lewat pesan. Ingat! Saya tidak suka perkerjaan yang cacat!". Setelah menelepon dengan nada mengancam, Guan menutup teleponnya. Suryo diam saja, tidak berani melarang atau sekedar memarahi Guan lantaran meminta ajudannya untuk menguntit Unaya. Ranah privasi Unaya pun seakan tidak ada, sungguh miris. Keposesifan Guan lah yang kadang membuat kepala Unaya mau meledak.

Bangsat Boys (Book 1&2)✔️Where stories live. Discover now