The key

947 317 33
                                    

Pagi hari tengah menyambut seorang pemuda yang masih berkutat dalam mimpinya. Di tengah tidurnya, tangan pemuda itu terkepal. Peluh keringat membanjiri pelipisnya, bahkan sesekali kakinya ikut bergerak kesana kemari.


Mimpi yang tak cukup baik menjadi alasan utamanya.


Tok tok tok!


Tok tok!


"Renjun, waktunya ke akademi musik."


"Huang Renjun!"


Matanya mengerjap dalam sekejap, meninggalkan mimpi aneh itu dengan langit-langit kamar yang memenuhi pandangan. Renjun terhenyak beberapa saat, kemudian menghela nafas lega. Setelah itu ia bangkit dan menutup wajah dengan kedua tangan, mengingat jelas mimpi yang masih terbayang bahkan di saat dirinya telah terbangun.

Anak baru itu nampak persis dengan Grassie.

Gedung yang penuh misteri, teror yang terus merantai kehidupan, semuanya terasa nyata. Malam di saat ia mengatakan lelahnya, ada lelaki yang terlihat seperti Jeno Abraham datang untuk memisahkan dirinya dengan seorang gadis.







[Dikutip dari buku The Dream : Le Reve part 25. Bonne nuit]

"Grassie, kau manis, kau baik, kau ceria, kau kuat. Apapun mungkin bisa kulakukan jika kembali terlahir. Tetapi aku tidak yakin bisa mendapatkan orang lain sepertimu."

"..."

"Aku juga menyayangi kelima sahabat kita yang lainnya. Mereka benar-benar seperti saudara bagiku. Dan kau— entah sejak kapan rasanya sesuatu berbeda."

Berbeda? Berbeda apanya?

"Eum, itu— aku—"

"Ah, pantas saja kau tidak ada dikamar."

Grace dan Renjun reflek menoleh kebelakang, menemukan seorang Na Jeno tengah bersandar diambang pintu dengan tangannya yang menyilang. Tiba-tiba saja Renjun bangkit dan turun dari ranjang. "Aku akan segera tidur."










"Jadi bagaimana hatimu di dunia ini, Abraham?" Gumam Renjun. "Kalian tampak berbeda."

"Huang Renjun."

"Iya ayah, aku akan bersiap."

Lelaki Huang ini segera menyibakkan selimut yang melilit pahanya, turun dari ranjang. Tak dipungkiri pikirannya masih terbayang banyak hal, terhadap anomali yang sedang terjadi, ingatan yang lain, dan jalan cerita itu. Renjun menatap wajahnya melalui pantulan cermin. 20 menit berlalu ia pun menemukan dirinya telah bersiap menuju kursus musik yang telah diikutinya selama 3 bulan terakhir.

"Apa sesuatu telah mengganggumu?" Tanya Direktur Huang —ayahnya selagi mereka menunggu mobil yang akan membawa ke tujuan masing-masing.

"Tidak."

"Kau tahu ayah tak pernah menekanmu, bukan? Ayah ingin kau melakukan apa yang kau mau. Ayah tak ingin menuntut apa-apa darimu."

"Bukan itu."

"Lalu?"

"Apa aya percaya pada dunia paralel? Maksudku, kita bisa saja ada di dunia lain dan sedang menjalani kegiatan yang berbeda. Aku—"

"..."

"Ah, lupakan."

"Kau terlalu banyak membaca teori, Jun."

"Mungkin."

"Dengar." Tangan Direktur Huang menepuk pundak anaknya dengan lembut. "Tidak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan ini."

"Maksudnya?"

"Sebagai manusia, kita benar-benar tak tahu apa yang akan terjadi. Yang kau bisa hanya menjalani skenario itu, tak peduli apa yang sedang kau rasakan."

Renjun menatap bola mata ayahnya seraya mencerna perkataan itu. Tiba-tiba hembusan angin dari kedatangan mobil membuyarkan segalanya, membuat ia memutuskan untuk bergegas pergi bersama sang ayah. Begitu pula dalam menghabiskan waktu dalam perjalanan, Renjun hanya bisa melamun dan mempersiapkan diri usai merasakan keanehan.

Kakinya terus melangkah meski seluruh memorinya melayang entah kemana. Matanya seolah tak lagi fokus pada perjalanan menuju kelas karena pacuan jantung yang berdegup tak menentu.


Buk—


"Ups, maaf."

Jaemin Abraham tersenyum menyebalkan, sekadar menerima tatapan datar dari Renjun. Dasar abu-abu, batin lelaki dengan marga Huangnya itu. Jaemin tak terusik dengan wajah datarnya dan lekas masuk ke dalam kelas Savior. Terbukanya pintu tentu menampakkan semua teman sekelas yang telah berada di dalam lebih dulu.

Mark Lee yang tak jauh berbeda bersama sikap ambisiusnya, namun Renjun rasa akan ada yang hadir dari dirinya. Park Jisung dan Zhong Chenle, selalu bersama meski semakin hari gelagat keduanya nampak aneh. Jaemin, seperti batinnya tadi karena lelaki itu selalu terlihat santai. Jeno, yang diam-diam mengamati Grace entah karena ia memang punya 'sesuatu' dalam hati atau karena sebal posisinya telah tergeser. Sementara gadis itu sendiri tetap sama. Menjadi orang yang cukup berani dan akan terus diuji.

Dan disini, dirinya sendiri yang merasa lucu berkat menjadi satu-satunya tokoh yang menyadari letak keasingan cerita.


"Kau akan menjadi portal kelas?"


Renjun menoleh, menemukan Lee Haechan si anak baru yang satunya. "Minggir."

Langkah Renjun beranjak masuk ke dalam namun didahului oleh Haechan. Baiklah jika memang ini terasa sulit, mungkin berdamai dengan diri sendiri jauh lebih baik.

Saat meletakkan tasnya, secara tak sengaja Renjun menoleh dan mempertemukan pandangannya dengan Grace. Gadis itu tersenyum, membuatnya merasakan getaran bahkan hampir saja melepaskan tasnya sendiri.

Renjun segera menggeleng dan berdehim.

Tak lama setelah itu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, yaitu sebuah buku bacaan berjudul The Deadly Throne. Ia menghirup udara sedalam mungkin lalu memberanikan diri menghampiri Grace yang ada di sebelahnya.


"Ini—"


Grace mendongak.


"Hadiah untukmu, salam kenal."

Reflek Grace tersenyum manis dan menerima buku itu. "Terimakasih, Huang."

"Hm..."

Grace merasa Renjun akan menyampaikan sesuatu lagi, ia pun menunggu.

"Itu—"

"Ya?"

"Rambutmu bagus."

Grace terkejut. Si lelaki dingin ini agak aneh. "Terima— kasih." Balasnya ragu.

"Buku itu dibaca."

"Eh— tentu."

Renjun secepat mungkin kembali ke tempatnya, meninggalkan sedikit rasa canggung di antara mereka. Anggap saja itu adalah kesan pertama yang terlalu dipaksakan.

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang