7. Taro seolah sama

1.4K 494 47
                                    

Beberapa hari berselang, beberapa hari itu juga aku memutuskan untuk tidak hadir dalam kelas musik. Beberapa mentor telah menghubungiku, namun aku rasa aku masih ingin waktu sejenak untuk sendiri. Shotaro dan Yangyang kesulitan hanya untuk sekadar tahu apa penyebabnya, namun aku terus berusaha menutupi semuanya. Mungkin ini hanya perkara kecil, namun traumaku seolah berkepanjangan.

Siang ini aku berada di rumah, menunggu Shotaro pulang bekerja dan Yangyang yang sedang berbelanja di gerai terdekat. Pukul 1 siang, tiba-tiba saja bel rumah berbunyi. Awalnya kukira itu adalah Yangyang yang tengah jahil, namun ternyata bukan.

Mereka adalah Huang Renjun, serta Abraham bersaudara yang muncul dengan empat minuman dingin di tangan Jaemin.

"Uh, kalian—"

"Maaf kami baru datang menjengukmu."

"Ah, silahkan masuk."

Aku lumayan bingung, mengapa ketiga manusia ini bisa tahu tempat tinggalku? Bahkan tak ada sama sekali pemberitahuan tentang rencana kedatangan mereka.

"Maaf kami datang tanpa memberitahumu sebelumnya." Ucap Jaemin. "Kami hanya ingin menjengukmu."

"Tidak, seharusnya aku yang memintamaaf karena telah merepotkan kalian. Maaf, rumahku tidak begitu luas."

Usai mereka duduk di atas kursi, Jeno ikut membuka suara. "Kami mendapat alamatmu dari Mentor Seo. Kau sudah absen beberapa hari, dan kami pikir—Jun." Jeno menyikut lengan lelaki bermarga Huang yang duduk di sampingnya itu.

Renjun membungkuk beberapa derajat. "Maaf telah menyinggungmu waktu itu, aku tidak bermaksud apa-apa." Katanya dengan wajah datar.

"Ah, bukan karena itu. Hanya, hanya saja aku memang sedang berhalangan masuk kelas."

"Maaf Grace, kami jarang mengobrol denganmu." Sambung Jaemin. "Kami tidak menjadi teman yang baik untukmu."

Mereka membuatku merasa bersalah atas kesalahpahaman ini. Sudah jelas jika semuanya menyangkut desas-desus abnormal, Haechan, dan Mark. Tetapi malah mereka yang datang menghampiriku untuk meluruskannya. Mereka juga berjanji—aku sedikit tak yakin dari raut wajah Renjun—akan menjadi teman yang lebih ramah lagi ke depannya. Karena aku sebenarnya tidak begitu perlu, bagiku mereka tak punya kesalahan apapun sebelumnya.

Mereka mengobrol cukup lama. Mungkin sekitar sejam lebih? Rekorku mengobrol di rumah dengan teman. Abraham bersaudara tidak sedingin yang kubayangkanz Dan Renjun—masih menimbulkan sedikit keraguan akibat dirinya sendiri yang seolah sulit berinteraksi dengan orang lain.

Begitu mereka bangkit karena akan kembali ke kampus masing-masing, dengan senang aku mengantar mereka hingga keluar rumah. Singkat, namun cukup memberi figur teman yang baik.

Saat Jeno dan Jaemin sudah berbalik untuk pergi, Renjun tetap berdiri di hadapanku kemudian mengeluarkan sebuah inhaler dari saku celananya.

"Astaga, itu—"

"Ada huruf G, inisial namamu bukan? Mungkin terjatuh di dalam kelas saat kau pulang lebih awal waktu itu."

Aku meraih benda tersebut. "Terimakasih, aku kira saat itu aku tidak membawanya."

"Kau asma?"

"Seperti yang kau duga."

Renjun mengangguk ringan. "Jaga dirimu." Tambahnya sebelum benar-benar pergi dari tempatku.

Kutatap kepergiannya, kemudian beranjak ke dalam rumah, membereskan kursi dan beberapa benda yang bergeser. Setelah itu langkahku berlanjut ke dalam kamar, namun batal saat Shotaro muncul lebih awal dari biasanya.

"Uh? Taro, kenapa—"

Dia menunduk, namun bisa kutemukan jika matanya memerah. Kulitnya mendadak pucat pasih, sesekali tangannya bergetar.

"Taro, kenapa?"

Dia tetap tak menjawab, tetapi bergegas masuk ke dalam kamarnya.

"Taro, kau—"

Lelaki itu mendadak merintih, mengalirkan air mata tanpa sebab yang jelas. Aku sebagai saudarinya tentu panik karena Shotaro tak pernah bertingkah seperti ini.

"Euna, tolong."

Tanpa kusadari, air mataku ikut membendung karena kalut.

"Euna—"

"Taro, tenanglah, aku disini."

"Aku lelah, tolong aku, jangan sampai aku menjadi mereka."

"Mereka siapa Taro? Ya, lihat aku!"

Tetap sama, tak ada yang berubah. Aku menyandarkan bahu Shotaro pada ranjangnya untuk keluar, mencari Yangyang atau mungkin menghubungi ambulans. Aku terus berusaha mencari ponselku yang entah terletak dimana, juga terus menangis karena takut akan terlambat.

"Aku pulang."

Mendengar suaranya, aku segera berlari menghampiri Yangyang, menarik tangannya untuk segera masuk ke dalam. "Yangyang, kita harus melakukan sesuatu pada Taro."

"Eh? Ada apa? Bukannya dia masih kerja?"

"Tidak. Dia baru saja pulang, dan tadi—"

Sontak pergerakanku terhenti, menemukan Shotaro yang sudah terlentang di atas ranjangnya sendiri. Ia seperti lelap, benar-benar jauh berbeda dari dirinya yang tadi. Alis Yangyang mengerut, melihatku penuh curiga. "Kau membodohiku lagi?"

"Ti-tidak, tadi dia seperti orang aneh dan terus meminta tolong padaku."

"Tapi sekarang dia tidur."

Aku tak bisa berkutik.

"Taro, Osaki Shotaro." Yangyang memanggilnya, sembari mengguncang ringan sebelah bahu Shotaro. "Hey, kau kenapa? Sakitkah?"

"Taro."

"Kau pingsan?"

"Eungh—"

"Ya, kau kenapa?"

"Apa?"

"Apa-apaan ini, ya!"

Shotaro tersadar, seolah tak terjadi apa-apa dan hanya bangun dari tidurnya. Aku merasa dibodohi disini. Lantas apa yang tadi terjadi? Sudah tidak mungkin itu adalah ilusiku, bukan?

Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Taro?


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang