The kiddos

1K 315 74
                                    











[Setahun sebelum Gerhana]







"Jika boleh jujur tentang wajahmu, kau semakin jelek tiap harinya."

Park Jisung memincingkan matanya pada Zhong Chenle karena merasa kesal. "Jangan memancingku."

"Jadi kau bertengkar lagi dengan ibumu?"

"..."

"Biasalah."

Jisung meletakkan bukunya di atas nakas lalu merebahkan diri di atas ranjang dengan menutup wajah. Buku-buku pelajaran sekolah dan cerita-cerita memenuhi lantai, bahkan Chenle harus turun tangan untuk merapikannya.

"Jadi bagaimana?"

"Apa lagi?"

"Oh come on Andy."

Jisung hanya beralih meraih ponselnya untuk mengamati layar kosong. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Jemarinya menarik tipis pelindung yang biasa disebut anti-crack, menimbulkan bunyi karena ulahnya.

"Kau sudah tahu kan jika kita sebenarnya adalah saudara? Ayah kita sama dan idiotnya adalah aku diminta untuk bersaing denganmu."

"Ambil saja aset pria itu. Bahkan aku sudah tak memikirkan apa-apa selain bisa bernafas."

"Kau pintar tapi ibumu terus menuntut."

"Aku bodoh tentang harta."

"Tapi sebenarnya ibumu adalah simpanan."

"Berhenti sialan!"

Chenle terdiam dengan wajah tak berdosa itu, menatap Jisung yang sudah bangkit secara tiba-tiba untuk membentaknya. "Kau pun selalu berkata jika dia adalah orang yang paling menyebalkan meski selama ini kau harus terus hidup di bawah marganya." Tambahnya.

Nafas pemuda Park yang masih berada di atas ranjang sedikit memburu karena tersadar jika ia baru saja meninggikan suara.

"Seumur hidup aku baru mendengarmu marah, hahaha."

Dia tertawa.

Pemuda polos-polos bajingan itu merasa ringan mengutarakan pola pikirnya begitu saja. Jisung memutuskan untuk kembali tidur namun kini membelakangi Chenle, lantas mengambil sebuah bantal guna menutupi telinganya. Terkadang, apa yang diucapkan orang terdekatnya itu selalu berhasil menusuknya sedalam mungkin.

Suara buku yang semakin menumpuk karena inisiatif Chenle menghiasi keheningan kamar Park Jisung. Diam-diam sang pemilik ruangan menangis karena menahan kesalnya yang membabi buta. Kenyataan jika dia adalah anak dari mantan simpanan ayah sahabatnya sendiri sangat menghantam dirinya. Apalagi, ibunya terus memaksa agar ia bisa terlihat hebat di depan sang ayah meski telah bercerai lalu bisa mendapatkan setidaknya setengah dari aset keluarga Zhong.

Realita itu terkuak di masa-masa Jisung seharusnya masih bisa bermain bersama teman sebaya, tertawa tanpa harus dibebankan oleh yang namanya status 'perebut'.







"Jika tidak bisa menyingkirkan beban, setidaknya kau harus bisa menyingkirkan hal yang membuatmu terbebani." Kata Chenle yang masih bisa di dengarkan oleh Jisung.

Tidak kah adil jika dia hanya sendiri untuk menghadapi semuanya? Ibunya menggila, dan sahabatnya terasa semakin menerkamnya melalui kata-kata. Namun sekali lagi, tak dipungkiri jika memang ucapan Chenle selalu ada benarnya. Dan sumber beban itu terlalu mengarah pada ibunya sendiri.

"Kau juga membaca The Deadly Throne?" Tanya Chenle meski ia mengira jika Jisung telah terlelap. "Bacaan yang bagus." Kemudian usai semuanya rampung, Chenle duduk di sudut kamar seraya mendengarkan alunan musik melalui airpodsnya.

Ia selalu berusaha membuat Jisung menyingkirkan masalah berat, meski ia sadar jika itu berkaitan dengan nyawa.

Mungkin nanti, saat kehilangan, keduanya akan tersadar atau— mereka hanyalah seorang anak yang menjadi korban dari sikap kerakusan para orangtua.

Kau perlu kehilangan, agar kau tahu rasanya menyesal.

Kau perlu kehilangan, agar kau tahu rasanya menyesal

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now