12. Worsen the pain

1.2K 428 49
                                    





Another day, another nightmare.


Malam yang ramai, tapi terasa menyesakkan. Suram, itulah hidupku yang semakin rumit sejak mengenal mereka. Detik ini aku masih berada di halte, melewati waktu bersama Huang Renjun yang duduk disana. Kami mengamati jalan besar, membiarkan kendaraan berlalu-lalang tanpa menyadari kami.

Masih terbayang di benakku bagaimana wajah Jeno Abraham berubah saat membuang tugasku, persis raut Mark Lee saat bertemu denganku. Kupikir ekspresinya yang mengintimidasi di hari pertama kami bertemu akan seimbang dengan kebaikannya yang tersembunyi. Ternyata tidak, dia lebih menakutkan dibanding Mark.

"Sendiri itu menyenangkan, bukan?" Tanya Renjun. Aku tak menjawab, ingin diam dalam waktu yang lama. "Tentu. Karena tak ada manusia lain yang akan mengecoh pikiranmu." Jawab Renjun pada pertanyaannya sendiri.

"..."

"Namun semakin tenggelam (memendam), akan semakin memperburuk rasa sakit."

Semakin dewasa, semakin banyak masalah yang datang tanpa diundang. Semakin dewasa, rasanya diri ini semakin tak bisa mengendalikan rasa tak ingin peduli.

"Jadi bagaimana kau akan menghadapi masalah ini? Melawan?"

Aku rasa tahu diri sudah lebih dari cukup.

"Mereka tak suka padamu, tapi ada yang tetap mengharapkan kehadiranmu."

"..."

"Aku."

Sontak aku menengoknya, menginginkan ucapan itu diulang atau mempunyai penjelasan.

"Aku suka kehadiranmu."

"Apa?"

"Maksudnya— aku suka pada dirimu yang seperti ini. Bisakah kau bertahan sedikit lagi? Untukku yang berharap akan terus melihatmu."

Aku bangkit, mengeratkan tanganku pada tali tas yang menggantung. Tiba-tiba saja Renjun ikut melakukan hal sama. Bangkit, tetapi juga datang padaku. Ia meraih tanganku, memperlihatkan wajah masam itu.

"Apa ada yang salah dengan perkataanku?"

"Tidak—"

"Lalu kenapa kau pergi?"

"Aku ingin pulang."

Satu alisnya terangkat.

Aku mengendikkan dagu, menunjuk kedatangan bus yang akan kutumpangi sebentar lagi. "Jika tidak, aku harus berjalan kaki kalau bus terakhir ini telah pergi."

Renjun menghela nafas berat kemudian menarik tangannya dariku. "Kau sendiri?"

Tolong, aku sedikit bosan menjawab pertanyaan itu.

"Aku akan menemanimu."

"Tidak, itu jauh."

Renjun berbalik, menghadap pada kedatangan bus yang kumaksud. Mendadak tangannya meraih diriku tanpa mengatakan apa-apa, membawaku masuk ke dalam kendaraan besi besar itu. Renjun benar-benar melakukannya, berada di dekatku hingga melihat kemunculan rumah.

Memoriku kembali mundur di saat pertama kali aku melihatnya. Tentang lelaki dingin yang tak gemar berinteraksi. Lucunya kini ia bersamaku dengan alasan ingin pulang bersama. Anak terpandang, berbakat, santai, yang kehilangan seorang ibu karena menderita penyakit sama denganku.

Ia sinis, tapi kuharap dunia tidak lagi membuatku terkejut.

Duduk bersamanya seperti ini, membuatku merasa déjà vu. Jika memang aku pernah melihatnya di tempat lain, kuharap itu adalah hal yang baik.


"Sudah sampai."


Aku menoleh melihat area rumahku. Kami berdiri lalu turun setelah Renjun menempelkan ponselnya pada mesin pembayaran otomatis. Dia, dia benar-benar bersamaku sampai di titik ini.

"Sudah sampai, dan—" aku berhenti, menghadapkan diriku padanya. "Terimakasih."

"Untuk?"

Aku mendengus. "Kau bertanya?"

Dia diam.

"Terimakasih karena telah bersamaku, sejak di halte. Sangat berarti bagiku meski kau tak tahu semua hal yang telah terjadi."

"Hm."

"Bagaimana dengan dirimu?"

"Aku akan pulang menggunakan taksi."

"Uh—"

Renjun segera menyergah, "tidak masalah. Karena aku yang ingin mengantarmu hingga rumah."

"Terimakasih." Ucapku sekali lagi, namun penuh tulus. "Huangren."

Sedikit, sedikit sekali sudut bibirnya melengkung yang membuatku merasa lebih baik. Tanpa pamit ia kembali berbalik meski baru sebentar berada disini. Aku menunggunya benar-benar pergi, agar aku bisa masuk tanpa tanggungan.

Malam tak perlu terang untuk menjadi saksi bagaimana ia telah menghiburku setelah dikhianati.

Grace, tersenyumlah.


Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka sebelum kuraih. Yangyang keluar dengan jaket tebalnya serta raut khawatir, tidak seperti dirinya yang selalu bercanda. "Kau darimana saja? Kami cemas."

"Maaf, aku pulang terlambat."

Nafasnya terdengar berat. "Tolong beritahu jika terjadi sesuatu, kami kira kau sedang tidak baik-baik saja."

Tak perlu orangtua untuk merasakan bagaimana rasanya dikhawatirkan. Tak perlu saudara sedarah untuk tahu bagaimana rasanya dicari. Mereka bahkan bisa memenuhi semua itu sepanjang hidupku.

"Masuklah, aku akan ke apotik. Taro sakit dan obat pereda nyeri sudah habis."

Aku terhenyak.

"Cepat, di luar dingin." Lanjutnya dan berjalan pergi. Kuturuti ucapan Yangyang dengan masuk ke dalam rumah, menyusul Shotaro yang katanya sedang sakit.

Kubuka pintu kamar lelaki itu, menemukan si pemilik bilik yang terus menahan sakitnya. Tidak ada lagi rasa takut untuk membuatnya jujur, tidak ada lagi rasa ragu karena peristiwa hari ini. Kudaratkan diriku di tepi ranjang Shotaro, berusaha meraih tangannya lalu berkata, "aku tahu kau sudah tak sama dengan yang dulu. Taro, katakan yang sebenarnya kepadaku, ya?"

Sepenuhnya aku yakin, Shotaro bukanlah manusia biasa. Masalah penyebabnya bisa kunomor duakan, yang terpenting saat ini adalah aku ingin dia jujur.

"Aku akan tetap bersamamu, aku tidak akan meninggalkanmu sendiri. Aku tetap saudarimu, maka dari itu beritahukan semuanya. Jangan menyimpannya sendiri, Taro. Kumohon."

Shotaro tetap menahan sakit, bersama dengan senyuman terpaksa yang menurutnya akan terlihat sama. "Maaf, Euna. Maafkan aku telah menjadi seperti ini. Maaf, aku tidak bisa menghindari kutukan ini."

Kutukan bajingan yang sangat merubah hari-hariku. Yang melibatkan orang-orang tanpa memperdulikan keadaan.

"Eun, tolong— jangan beritahu siapapun kebenarannya, apalagi Liuyang. Aku berjanji akan baik-baik saja— aku berjanji, akan terlihat— sama." Jelasnya tertatih-tatih.

Kutundukan pandanganku, menghindari bola mata sendunya yang menyakitkan.

Aku harus mencari kejelasan demi Shotaro. Meski ini semua seolah berkaitan dengan Lee Haechan, serta Kelas Savior-ku.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now