13. Lantai 15 : déjà vu

1.2K 447 41
                                    

Hari ini kami belajar sekaligus berlatih di dalam studio. Beberapa waktu mendatang, kami akan menampilkan lagu buatan kami di depan kelas. Sayangnya ada yang kurang dari kami hari ini, kurang seorang anggota.

Park Jisung.

Si termuda yang selalu mengakui nama Inggrisnya itu tak hadir, tanpa alasan yang pasti. Kulihat wajah Zhong Chenle sedikit murung, seperti tak punya sebagian jiwa yang biasa menemaninya.

Kami pun sibuk dengan lagu masing-masing. Mengaransemennya dengan baik, merevisi kata demi kata, hingga menentukan nada yang tepat. Untuk saat ini aku masih ragu pada judulnya, tepatnya masih mencari kata yang cocok. Ini bukanlah kali pertamaku membuat sebuah lagu, namun sekarang agak canggung karena harus membawakannya di depan teman-teman dan mentor nanti.


"Apa ada yang salah?"

Semua orang menoleh, melihatku setelah mengatakan sesuatu pada Renjun yang melamun dan menatapku. Aneh, karena tak ada apa-apa disini selaik diriku. Ya, hanya ada aku, gitar, kertas serta dinding polos. Dinginnya Renjun malah diam, tidak menampik sedikit pun yang kupertanyakan dan malah mengalihkan pandangannya.

Baiklah, mungkin aku memang terlihat aneh hari ini.

Aku kembali mencoret kata demi kata yang menurutku hanya 'menyampah', kemudian kembali memainkan gitarku dan memperbaiki keseluruhan nadanya.


"Geuttaega neul naegen geuttaero hope it never fades out. (That time will always be that time, hope it never fades out)."

Pandanganku berbalik, usai mendengarkan lantunan lagi dari orang yang berada di seberangku. Lagu buatan Mark Lee tadi menarik fokusku, membuatku malah tak bisa mengerjakan tugasku. Dalam bisik Mark menyanyikan karyanya, tampak serius meski masih bisa kudengar.

Lagu itu— lagu itu sangat bagus. Aku bahkan tidak menyangka orang seperti Mark Lee sangat hebat menulis lagu yang mampu meneguhkan hatiku. Bahkan selang beberapa detik berlalu, aku masih terpukau dengan nyanyiannya.


"Uh? 15th floor?"


Aku mendadak mendengar suara Zhong Chenle yang sedang membaca judul laguku yang sementara. "Tapi liriknya seolah kau terus merasa déjà vu. Apa maksudnya?"

"Ah, 15th floor aku ambil dari lantai tempat kursus ini, dan isinya— karena aku seringkali merasa déjà vu disini." Balasku ringkas.

"Hm? Kenapa? Apa kau pernah kursus seperti ini sebelumnya? Atau kau teringat pada teman-temanmu?"

Aku menggeleng. "Tidak, aku tak pernah kursus seperti ini atau semacamnya, aku tak tahu pasti. Hanya, hanya déjà vu."

"Benarkah? Tapi itu keren, membuatmu bisa membuat lagu."

"Keren apanya..."

Chenle terkekeh. "Bagaimana jika kau ganti saja judulnya dengan déjà vu? Aku rasa itu lebih singkat dan elegan. Apalagi liriknya seperti apa yang tadi kita bahas."

"Benarkah?"

Chenle mengangguk yakin.

"Baiklah, jika begitu—" kuraih penaku dan mencoret 15th floor, kemudian menuliskan kata Déjà Vu di sebelahnya. Aku setuju dengan Zhongchen, lebih cocok seperti ini. "Terimakasih, kau membantuku menentukan judul yang tepat."

"No prob! Kalau begitu aku akan melihat punya Jeno hyung. Sepertinya si tukang nomor 1 itu punya lagu yang keren juga."

Diriku terdiam mendengar ia menyebut nama Jeno. Kupaksakan bibirku mengukir senyuman setuju, lalu mengiyakan kepergian Chenle ke tempat lelaki itu. Sayangnya Chenle secara tak sengaja menjatuhkan kertas dan beberapa alat tulisku ke atas lantai. Secara bersamaan pula, milik Mark juga terjatuh sampai bersampingan dengan lagu milikku.


Déjà Vu punyaku, dan Dear Dream miliknya.


Agak lama aku melamunkan lembaran kertas itu, seperti ada yang berkaitan dalam situasi ini.

"Oh maaf." Ucap Chenle seraya membantuku meraih alat-alat yang terjatuh dan juga membuatku reflek tersadar. Tak ada ucapan apa pun yang keluar dari mulut Mark, masing-masing dari kami mengambil barang kami yang terjatuh.

Bahkan setelah menulisnya, aku tetap merasakannya. Aneh, bukan?


Pintu yang tiba-tiba terbuka dengan sedikit angin yang masuk mengambil alih perhatian kami. Disana ada Mentor Kim yang berdiri dengan raut sulit dipahami, membuatku agak terheran dengan gelagatnya yang tidak biasa.

"Tolong perhatiannya, ada informasi duka yang datang dari salah satu teman kalian."

Kami melihat satu sama lain karena melirik siapa yang tengah berduka. Hingga aku teringat, bahwa Park Jisung-lah yang tidak hadir hari ini.

"Baru saja seseorang menelepon jika Ibu dari Park Jisung telah meninggal dunia."

Bahuku terjatuh, mengingat si pemuda friendly itu ternyata sedang melewati masa-masa beratnya. Kutemukan Chenle yang juga sangat terkejut, menandakan dirinya merasakan hal yang teramat sama. Tentu Chenle adalah orang yang tampak begitu tercengang, karena ia merupakan sahabat terdekat Jisung bahkan di luar tempat ini.

Selagi Mentor Kim masih mengungkapkan segala tutur katanya di atas sana, aku menunduk, ikut merasakan kesedihan meski tak sedekat itu. Tak kubayangkan bagaimana jatuhnya perasaan seorang Jisung yang bahkan masih sangat ceria dihari kemarin hari.

Kuhembuskan hafasku lalu kembali mendongak, menemukan Chenle yang telah bangkit dan berjalan menuju sudut kelas. Lelaki itu terdiam sesaat kemudian mengusap wajahnya yang berakhir dengan usapan di tengkuk seraya menggumamkan sesuatu.

"Tidak mungkin."

Zhong Chenle begitu tersentak.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon