20. Berjuang dimulai

1.2K 420 47
                                    

Kita semua pernah berbohong. Seolah menutupi semua rasa penyesalan yang akan tetap berakhir dengan keburukan.


"Maaf jika tempo hari, pengumuman untuk lagu yang akan kalian bawakan diundur. Karena lagu kalian begitu bagus, pihak kami sulit menentukannya. Maka dari itu, cha— sekarang saatnya."

Mentor Seo tegerak menyalakan layar yang berada tepat di sampingnya, memperlihatkan dua judul serta penyusun lagu tersebut.


Bahuku yang masih lemah terjatuh untuk kesekian kalinya.


"Yap, urutan pertama diraih oleh Dear Dream milik Mark Lee, disusul Déjà Vu milik Osaki Grace Eun. Selamat untuk kalian berdua! Untuk kalian yang tidak terpilih, jangan menyerah! Kalian telah bekerja keras."

Di sela-sela penuturan mentor, aku tak sengaja memandang wajah Jeno Abraham yang menatap sinis pada layar canggih itu. Tangannya terkepal, berusaha meredam kekesalannya.

Aku tahu perasaannya, tapi inilah takdir yang mau tidak mau akan tetap terjadi.

Lihat, bahkan saat mentor menjelaskan keunikan laguku dan Mark, matanya semakin menajam di tempat.

"Mentor, apa kami bisa menciptakan lagu lewat studio lain?" Sahut Zhong Chenle dengan nada bercanda. "Ah, aku kesulitan hingga begadang untuk mengerjakannya."

Jaemin segera menanggapi Chenle. "Diamlah, kau lupa bagaimana Grace harus mengulang file dan liriknya dalam beberapa jam karena kehilangan tugas itu?"

"Hilang?" Tanya Mark. "Maksudmu?"

"Begitulah, aneh bukan? Tugas yang hanya memuat 8 orang harus hilang salah satunya. Anomali macam apa yang terjadi dalam kelas elit seperti ini?"

Jeno berbalik sepenuhnya, selayaknya tersinggung dengan ucapan kembarannya sendiri. Aku tak tahu, apa Jaemin sudah sadar atas kesalah Jeno. Tetapi untuk saat ini aku hanya berpura-pura santai, seolah tak terjadi apa-apa.

Begitu melihat ke arah kiri, aku menemukan wajah Huang Renjun yang masih tak mengerti. Ia memberiku isyarat, sepertinya bertanya tentang keganjalan waktu itu. Aku hanya menggeleng, menginginkan kejadian itu sebagai angin lalu dan tak ingin berurusan dengan Jeno lebih jauh.

"Sudah, jangan membuat kesalahpahaman." Cegah Mentor Seo. "Ini hanya ketidaksengajaan. Dan kerja keras Grace pun tidak mengkhianatinya, bukan?"

Aku tersenyum tipis, mengucapkan terimakasih pada mentor. Kini, wajah Jeno terlampau lebih kesal daripada Mark yang biasanya. Setelah mengumumkan lagu yang akan kami bawakan di kompetisi nanti, mentor berpamitan untuk pergi dan meminta kami latihan di studio. Jeno menjadi orang pertama yang keluar dengan rasa sebalnya, meski bukan dia yang menjadi leader untuk hari ini.

"Ya." Ucap Mark sambil menahan langkah Jaemin. "Ada apa dengan Jeno?"

Yang ditanya malah menyeringai. "Aku rasa orang ambisius seperti kau paham rasanya menjadi Jeno Abraham." Balasnya ringan, namun membuat Mark tetap tak paham.

Aku rasa Mark belum tahu tentang masalah waktu itu.

"Posisi posisi jahanam." Desis Lee Haechan yang mampu terdengar seisi kelas. "Tahta di kelas ini mungkin akan lebih mengerikan dibanding kasus vampir saat eclipse (gerhana) nanti."

Aku tersentak dengan ungkapannya yang blak-blakan. Sialnya, hanya aku yang terkejut. Mereka yang lain seolah menganggapnya sebagai perumpamaan biasa. Tak menunggu lama Haechan melangkah dengan tas ransel yang menyamping di satu bahunya. "Uri Graceun, selamat. Dan kau—"

Mata kami reflek mengikuti pandangan Haechan yang mengarah pada Chenle. "Jangan palsu."

Kutatap kepergian lelaki Lee itu, disusul dengan langkah yang lain. Aku melihat keanehan lagi usai Haechan menegur Chenle. Kupikir hanya sebatas candaan, tetapi Chenle sempat terdiam dan pergi menuju studio tanpa menunggu sahabatnya, Park Jisung.

Jisung? Ia berjalan kecil dalam balutan hoodienya seperti menyembunyikan diri. Seharian ini, ia seperti dijauhi bahkan saat matanya tampak sembab usai menceritakan separuh kejujurannya padaku.

Ia membuatku sengaja meperlambat langkah, tak ingin membiarkannya merasa kesepian.

Meski pada kenyataannya dia telah berbuat di luar nalar, setidaknya ingin kubantu Jisung untuk jujur dan mempertanggungjawabkan ulahnya.


Tetapi, entah kenapa aku mendadak teringat Chenle yang menyeringai saat berkunjung di rumah duka beberapa waktu yang lalu.


Apa ini ada hubungannya dengan gelagat Jisung dan Haechan tadi?


"Eun." Panggil Renjun membuyarkan tatapanku yang nyaris melamun. "Jalan lebih cepat."

"Itu—" aku menoleh sebentar ke belakang, menemukan Jisung yang berjalan sambil menunduk. "Aku sengaja menunggunya."

Renjun menghela nafas. "Jangan terlalu baik."

"Tidak seperti itu, aku hanya, aku hanya—"

Potongan-potongan clue yang terungkap dari mulut Mark dan Haechan sontak membenahi otakku. Meski tak tahu secara jelas, namun aku bisa menyimpulkan jika kehadiranku di masa lalu membuat mereka menjadi seperti sekarang.

"Aku hanya tidak ingin terlambat karena membuat kesalahan, membuatnya merasa sendiri. Itu saja."

Awalnya raut Renjun ibarat menolak keputusanku. Namun ia memilih mengangguk, berusaha menerimanya.


"Terimakasih untuk hadiahmu, Jun."


Renjun tersentak. "Itu—"

"Kau perhatian."

Tangannya menggaruk tengkuk. "Aku?"

"Ya, kau perhatian. Perhatin itu ada dalam dirimu, in Jun."

Lelaki ini menyentak nafasnya, berusaha untuk tidak tersenyum meski kuyakin dalam dirinya ia sedang senang. Tidak buruk, tidak seperti impression pertamaku melihatnya. Si pemuda dingin yang nyatanya selalu ada dan menemaniku, menjaga inhalerku bahkan mengantarku pulang. Lucu, bukan?

Mungkin jika dunia paralel itu benar-benar ada, maka di dunia lain kita adalah teman baik.

Tak berselang lama, studio pun terlihat. Setelah masuk ke dalamnya, kutemui teman satu teamku tengah bersiap dalam posisinya masing-masing. Dengan perasaan yang bercampur aduk ini aku masih harus berjuang hingga kompetisi nanti.

Bersama mereka, yang seolah merekayasa cover untuk meraih posisi dalam kelas kami.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now