19. The evil of the innocent

1.2K 425 43
                                    

Tiga hari usai masalah yang melibatkan Park Jisung di studio, aku kembali hadir di dalam kelas dengan kondisi yang memaksaku seolah tak terjadi apa-apa. Dua hari kemarin kelas libur, menjadikanku dan beberapa teman yang lain tak bertemu selama itu. Usai keributan kecil kemarin, aku yang baru saja menginjak kelas hari ini merasa ganjal.

Satu persatu dari mereka —terkecuali Mark dan si dingin Renjun menyapaku, seperti kami telah menjadi teman dekat. Yang kulakukan hanya mengangguk ringan, melihat mereka sedikit kosong karena terkejut. Sebelum duduk di tempat, aku tak melihat Jisung, sepertinya ia belum datang.

"Eun."

Aku menoleh, melihat Huang Renjun baru saja memanggilku dengan sebutan 'Eun'. Awalnya ragu, tetapi kubalas panggilannya dengan berkata, "ya?"

"Bagaimana dengan lukamu?"

"Ah, ini?" Kuusap kulit kepalaku yang dibalut plester luka. "Bisa kau lihat, sudah baik."

"Hm, begitu rupanya. Boleh bicara sebentar?"

"Heol." Decak Jaemin. "Apa ada (masalah) yang lain?"

"Aku hanya ingin berbicara berdua dengannya."

"Masalah hati?" Sahut Haechan.

"Apa urusanmu?"

"Kuanggap jawabannya adalah ya."

Renjun berdesis sebal dan melangkah keluar kelas. Aku diam tak berkutik, hingga kudengar Jaemin kembali berucap, "hanya bercanda."

Ya, aku rasa kalian yang berpikiran terlalu jauh.

Karena tak ingin membuat Renjun menunggu, aku segera menyusulnya. Kulihat lelaki Huang itu berdiri tepat di samping kaca besar yang menghalangi ruangan dan pemandangan luar. Kupercepat langkahku dan begitu tiba di depannya, aku bertanya. "Ada apa?"

"Aku, aku hanya ingin memberi sesuatu. Tolong jangan salah paham."

Dahiku mengerut.

Awalnya Renjun menatapku dalam. Dia sepertinya gugup, tapi aku juga hanya diam agar ia segera mengungkap apa yang akan ia berikan. Beruntungnya, tak menunggu waktu lama Renjun mengeluarkan sebuah kotak dari balik rompi rajutnya. "Ini."

Kuraih benda yang memuat dua genggaman tangannya.

"Sebentar lagi akan kompetisi, dan posisi dalam kelas semakin tak menentu. Aku ingin kau bisa melindungi dirimu kalau saja kau sedang sendiri. Jika kau keberatan bisa kau kembalikan, aku akan ke kelas."

"Renjun, tapi— astaga."

Dia pergi, bahkan sebelum aku berterimakasih. Hari ini Renjun aneh, terlalu singkat tak seperti biasanya. Karena penasaran aku membuka kotak tersebut, menemukan sebuah taser yang bersebelahan dengan kertas dengan coretan senyuman berpipi.

Aku bahkan tak pernah berpikir untuk membeli ini, tapi dia lebih dulu menyiapkannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku bahkan tak pernah berpikir untuk membeli ini, tapi dia lebih dulu menyiapkannya. Kukira hanya sebuah taser, tapi di baliknya ada benda lain yang tersusun.

5 batang cokelat almond, dengan pesan bisa mengembalikan mood. Katanya. Hahaha, cukup lucu. Hanya karena ini Renjun mengira aku akan menolaknya.

"Akan kusimpan." Gumamku.

Sesaat setelah menyimpan semuanya ke dalam kotak, aku berbalik untuk kembali ke dalam kelas. Tetapi langkahku terhenti, melihat Jisung berdiri dengan wajah menekuk memandangiku di seberang sana.


Aku terdiam, bahkan saat ia mulai melangkah ke tempat ini.


Dia benar-benar mendekat,


semakin dekat.


Apa taser ini akan berguna sebelum sejam menjadi milikku?


Apa,


"Noona."


Panggilan Jisung membuat lamunanku buyar. Kulihat pemuda berpostur tinggi ini sudah berada tepat di depanku. Nafasku yang sebenarnya memburu berusaha kupelankan agar Jisung tak mengira kalau diriku merasa terancam.

"Noona." Ulangnya kedua kali.

"..."

"Aku—"

"..."

Ia menunduk dengan jemarinya yang saling mengait. "Aku mintamaaf."

Uh?

"Aku tak bermaksud jahat padamu, aku hanya ingin barang itu aman. Aku tak tahu kemana lagi harus kusembunyikan, maafkan aku. Bahkan aku telah melukaimu, aku benar-benar menyesal noona, tolong maafkan aku."

"Jisung."

Ia menatapku.

"Ini bukan karena kau telah mendorongku, tapi, tapi tentang apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku dan yang lainnya."

Ia tersentak.

"Aku paham jika saat itu kau panik, namun sepertinya kau tak pandai berbohong."

Rahangnya bergetar, berusaha menahan sesuatu dari dalam dirinya. "Aku telah berbuat kesalahan noona, aku jahat."

Dahiku mengernyit.

"Aku sangat menyesali semuanya, aku benar-benar bodoh." Lanjutnya lalu terisak, membuatku semakin kebingungan. Tak lama kemudian tubuhnya merosot turun, seolah terpukul dengan apa yang baru saja ia katakan. "Tolong aku noona."


"Euna—"

"Taro, tenanglah, aku disini."

"Aku lelah, tolong aku, jangan sampai aku menjadi mereka. Eun—"


Mengingat peristiwa yang melibatkan Shotaro, aku reflek meraih Jisung, berusaha menenangkannya. "Jisung, aku disini. Apa sesuatu terjadi padamu? Apa kau merasa sakit?"

Tak ada perubahan yang signifikan seperti wujud atau semacamnya, tetapi gelagatnya membuatku terus panik.

"Jisung, aku disini. Ada apa denganmu? Jangan membuatku bingung!"

Dia tetap menangis.

Bayang-bayang wajah kesakitan Shotaro terus menguasai memoriku. Rasanya aku tak bisa membiarkan ini terulang pada Jisung meski ia telah menyembunyikan sesuatu.

"Jisung, lihat aku."

Tetap sama.

"Jisung, lihat noona!"

Akhirnya ia berhenti, lalu menatap wajahku dengan mata yang berair itu.

"Ceritakan padaku, semuanya. Aku berjanji akan menjaganya jika kau keberatan orang lain tahu. Percayakan padaku."


"Noona."


"Hm?"


"Aku telah membunuh ibuku."


Tanganku terjatuh, melepaskan bahu Jisung karema tertampar oleh pernyataannya.


"Malam itu kami bertengkar, dan secara bersamaan penyakitnya kembali muncul. Noona, aku sengaja menyembunyikan obatnya karena sangat kesal, tapi, tapi aku tak menyangka dia akan berakhir seperti ini."


Tubuhku benar-benar melemah. Aku duduk sepenuhnya di hadapan Jisung, memandanginya yang kembali terisak dengan pikiran kosong yang terpukul keadaan.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now