10. Take it slow

1.3K 441 26
                                    

At that stage of life where whatever happens, happens. Kau tidak perlu bersikeras menghindar, karena yang terjadi akan tetap terjadi.


Bahkan masih ada yang lain, yang juga tak suka padaku tanpa aku tahu apa kesalahan yang telah kulakukan. That's pretty good, untuk mereka yang ingin aku terjatuh karena mereka tak sendiri dalam membenci. Ucapan Huang Renjun benar-benar memasuki pikiranku dan membuatku sesak. Aku memang salah, karena m mengira mereka cukup baik untuk berteman.

Lalu, apa aku harus mempercayakan ini semua hanya pada Renjun?

"Noona."

Kulihat Jisung yang baru saja masuk ke kelas setelah memanggilku di luar.

"Mentor Seo memanggilmu ke ruangannya."

"Hum? Ada apa?"

Ia mengendikkan bahu karena tak tahu. "Aku hanya diminta untuk memanggilmu."

"Uh, baiklah." Jawabku kemudian bangkit dan melangkah keluar. Saat berbelok di pintu, tak sengaja aku berpapasan dengan Lee Haechan. Ia tersenyum, membuatku merinding, merasa lebih horor dibanding saat Mark Lee sedang mengancamku. "Hai." Katanya.

Aku tak menampik sapaannya dan segera pergi setelah membuang pandangan. Abraham bersaudara yang berada tak jauh di belakang Haechan melihatku agak heran, mungkin karena bersikap tak baik pada Haechan.

Andaikan saja mereka tahu apa yang terjadi dan apa yang kurasakan.

Begitu ruangan mentor terlihat, aku segera masuk ke dalam dan mencari Mentor Seo untuk menghadap. Saat aku muncul, beliau tersenyum tipis dan mempersilahkan diriku duduk di depannya. "Silahkan, Osaki."

Aku membungkuk sekali dan menuruti permintaannya.

Tak ingin membuang waktu, mentor langsung mengucapkan inti poin kenapa ia memanggilku kesini. "Osaki, apa kau tidak mengumpulkan file lagumu dan liriknya? Itu sangat berpengaruh untuk nilaimu."

Aku tersentak.

"Apa kau punya masalah? Ini kali pertamamu tak mengerjakan tugas."

"Tapi, aku sudah mengerjakan dan mengumpulkannya pada Jeno, mentor. Aku— aku sudah melakukan semuanya." Jawabku dengan terbayang bagaimana diriku yang harus terjaga dua hari untuk menyusunnya. Namun file tersebut tak sampai pada mentor?

"Benarkah?"

Aku mengangguk ringan.

Tiba-tiba pintu kembali terbuka, memunculkan seorang Jeno Abraham di samping kami.

"Uh, Abraham, apa kau yang menjadi leader saat pengumpulan tes informatif kemarin?" Tanya mentor pada lelaki itu yang segera mengangguk. "Apa Osaki telah mengumpulkannya juga?"

"Ya, mentor. Dia bersamaku dan Jisung saat mengumpulkan kertasnya. Aku rasa liriknya ada di tengah-tengah tumpukan kertas, filenya juga berada dalam disk yang sama."

"Ah, tapi—" Mentor Seo kembali memilah-milah kertas untuk memastikan apa punyaku hanya terlewatkan. Tetapi, "tetap tak ada. Bagaimana, Osaki? Jika tugasmu tetap tidak ditemukan, maka kemungkinan kau harus mengulangnya di kelas sendiri. Atau jika tidak, posisimu akan terjun. Jika seperti itu maka impianmu untuk menerima beasiswa akan tertunda karena satu tugas ini."

Bahuku melemah saat mendengar ucapan mentor. "Aku— aku akan mengulangnya." Balasku pasrah.

Kulihat pantulan wajah Jeno dari kaca meja Mentor Seo. Ia nampak iba, seolah ikut merasa bersalah karena satu derita yang kuterima. Mentor ikut menasehatiku dan menyemangatiku, kemudian mempersilahkanku keluar dari ruangannya.

Ya, kerja kerasku dalam beberapa malam lenyap begitu saja.

"Grace." Panggil Jeno begitu kami sudah setengah perjalanan menuju kelas. "Aku minta maaf, ini kesalahanku karena aku tak teliti saat mengumpulkannya. Maafkan aku."

"Tidak, ini bukan salahmu. Ini, ini hanya sebuah takdir yang tak bisa kita hindari." Balasku seraya tersenyum agar ia tak terus memikirkannya. "Ayolah, lagipula aku akan mengulangnya, aku ingat semuanya."

Jeno masih ragu, yang berakhir kuminta untuk tetap berjalan ke kelas bersamaku. Lagipula tak akan ada yang berubah jika itu memang hilang, bukan?


"Tidak, bu. Aku akan—"


Langkah kami terhenti, mendengar suara Mark Lee yang berasal dari toilet. Sepertinya sedang menelepon. Aku dan Jeno saling menatap satu sama lain, agak ragu untuk kembali berjalan.


"Ya, aku akan berusaha lebih baik. Aku akan menjadi yang pertama, aku akan melakukan apa saja."


"Percaya padaku ibu, aku mohon jangan beritahukan ini pada ayah."


"Posisiku akan—"


Mark mendadak berhenti berbicara. Kami menunggunya untuk kembali bereaksi, namun tak ada lanjutan sama sekali. Aku mengangkat satu langkahku untuk meninggalkan tempat tersebut, tetapi


Prang!


Suara hantaman yang begitu kuat menyusul suaranya. Aku dan Jeno sangat terkejut. Sepertinya, sebuah benda yang kuyakini adalah ponsel sengaja dilempar pada salah satu pintu bilik dalam toilet. Aku masih mematung karena keterkejutanku, dan secara bersamaan lelaki yang kami dengar muncul tepat di depanku.

Aku mendongak dengan perlahan, memandang wajah Mark yang tengah geram.

"Mau apa kau disini? Mendengarku menderita?"

Jeno segera melangkah maju, seperti menjadi tamengku dari kekesalan lelaki itu. "Kami hanya lewat, baru saja dari ruangan mentor."

"Aku tak bertanya padamu."

"Tapi kau seolah menindasnya."

"Lalu apa urusanmu?"

"Amarahmu padanya tidak akan berdampak baik pada posisi dan hidupmu. Berhentilah."

Kini bukan hanya diriku, namun Jeno juga menjadi orang yang ditatap penuh rasa geram oleh Mark. Kutelan salivaku dengan terpaksa, seolah menelan keberanian yang tak kunjung kuperlihatkan.


Sulit.


"Ada apa?"


Kami menoleh dengan serempak pada orang yang baru saja muncul. Dia Jaemin, sedang mengunyah sesuatu dengan bersandar pada dinding seraya menatap kami. "Kalian akan melakukan apa?"

Perlahan Jeno mundur dengan dehiman miliknya. Ia melihatku, lalu mengajakku kembali ke kelas. "Ayo, sebentar lagi pelajaran akan dilanjutkan." Ajaknya.

Kami berjalan setelah aku tak melakukan apa-apa, melewati Mark serta Jaemin yang terpaksa menyusul untuk masuk ke dalam ruangan kami. Tiba-tiba saja Jaemin menyalip langkahku dan membisikkan, "kau tahu? Semua beberapa temanku itu sedikit biadab, so take it slow."


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora