2. in my home

2.4K 558 42
                                    

Ini bukan soal kebalikan, namun tentang apa yang seharusnya kau alami di semesta yang berbeda.


"Sedang apa?" Suara Yangyang membuyarkan fokus lamunanku pada buku catatan baru misterius yang kupunya.

Hingga detik ini masih terasa sama. Aneh. Aneh karena aku lupa siapa yang memberikanku bahkan wajah, namanya, postur tubuhnya, itu sama sekali tak ada dalam ingatanku.

"Hanya—hanya mengapresiasi hari pertamaku."

"Kau dirisak?"

"Tidak, bodoh."

"Lalu?"

"Lupakan, aku ingin beristirahat."

Baru saja aku ingin bangkit, seseorang datang menghampiri kami dengan sekantung ayam goreng Bibi Shon serta minuman dingin dalam genggamannya. Kulihat bibirnya yang tersenyum ceria seperti membawa hasil kerja kerasnya hari ini.

"Uh, dia benar-benar mentraktir kita. Tuan muda Taro, jangan berlebihan." Kata Yangyang.

Shotaro menggeleng. "Aku ingin kalian makan banyak malam ini. Bos memberiku gaji lebih karena ada yang mundur dari kerja paruh waktu kemarin. Ah, lelahnya."

"Kerja bagus, kau sudah berusaha sebaik mungkin. Terimakasih." Balasku.

Aku, Yangyang serta Shotaro merupakan saudara. Tidak, jangan kira kami adalah saudara kandung. Kami diadopsi oleh salah satu miliarder kota ini, tapi entah apa masih bisa kami katakan ia sebagai 'orangtua'. Sejak mereka akhirnya mampu memiliki keturunan, kami ditinggalkan. Dengan alasan mereka akan keluar negeri dan mengurus perusahaan di sana. Sayang, setelah setahun berlalu mereka tak kunjung pulang. Syukurnya mereka masih memberi kami bantuan finansial walaupun melalui perantara agar kami tak terus mencari tahu keberadaan mereka.

Kami tak tahu mereka masih bersedia menafkahi kami sampai kapan, maka dari itu Shotaro menjadi orang yang lebih dulu mencari penghasilan tambahan untuk ditabung. Oh ya, kami berada di bawah marga Osaki, karena ayah yang mengadopsi kami adalah orang Jepang. Yangyang dan aku berasal dari panti yang sama, namun kami berbeda marga.

"Bagaimana kelasmu?" Tanya Shotaro.

"Uh, biasa saja."

"Dia dibully~"

"Yangyang! Ah, menyebalkan. Tidak Taro, sumpah."

Taro hanya tertawa dengan mata kecil itu, lalu melanjutkan makannya, sementara diriku sendiri ingin memukul Yangyang.

"Oh ayolah Eun."

"Panggil aku Grace."

"Apa-apaan—kita sudah tidak tinggal di luar (negri)."

"Jangan menjadi manusia menyebalkan Yangyang, aku mohon."

"Euh, apa saja bisa terjadi di dunia ini. Kenapa aku tidak bisa menjadi menyebalkan?"

Ucapan Yangyang membuatku mengalihkan pandangan pada tas putih milikku yang terletak di pintu kamar. 'Dunia' yang tadi ia katakan membuatku teringat pada buku catatan tadi. Aku bangkit, lalu melenggang menuju tas untuk mengambil buku tersebut.

"Kemana?" Tanya Shotaro lagi.

"Ingin mengambil sesuatu, di tasku."

Setelah menjalani hari pertama dalam kelas Savior, aku merasa ada sesuatu yang sedang dimulai. Sesuatu yang tidak seharusnya aku alami. Jangan tanya apa, karena aku sendiri tak tahu secara pasti apa penyebabnya.

"Kau tidak pernah tahu siapa pembohong yang duduk di sampingmu—heol, sang Joker."

Kudorong Yangyang karena aku terkejut sekaligus tidak suka pada dirinya yang menyebalkan itu. "Pergi atau kutendang kau."

Shotaro tertawa, Yangyang berdecak kesal. "Baiklah, rasanya kau akan—"

Brak!

Kami bertiga reflek terdiam usai mendengar suara dentuman keras yang berasal dari jendela ruang tengah. Aku menatap Shotaro yang ikut terkejut, lalu Yangyang yang juga membeku di tempatnya.

"Aku rasa ada sesuatu dari sana."

"Ya."

Shotaro berdiri dan berjalan menuju sumber suara, diikuti olehku dan Yangyang. Jantungku berdebar cukup ekstrim, karena berpikiran mengenai perampok mengerikan datang pada kami. Bagaimana jika mereka akan membunuh kami?

"Jendela ini, bukan?"

"Tentu, kau bisa lihat itu—retak."

"Aku rasa sesuatu telah menabraknya, karena sudah tidak mungkin ada anak kecil yang melempar batu di malam hari seperti ini."

"Kau pikir seseorang bisa melemparkan sesuatu hingga mencapai lantai 10 ini?"

"Pikiran yang bodoh."

Perlahan Shotaro menggeser jendela itu agar retakannya tidak merembet atau bisa saja pecah dan membawa kami ke dalam musim dingin yang mengerikan. Shotaro maju dan melihat ke bawah, kemudian berkata, "astaga."

"Apa?"

"Itu kelelawar, sepertinya tidak sengaja menabrak jendela. Sudah mati menurutku."

"Eh?"

"Cukup besar dari ukuran biasanya."

Aku menggeser Shotaro dan ikut melihatnya. "Sejak kapan ada kelelawar di daerah ini?" Tanyaku.

"Entah."

"Apa mungkin itu—" Yangyang menggantungkan ucapannya, membuat kami melihatnya dengan serius. "Jelmaan vampir—woo."

Aku dan Shotaro menghela nafas. "Vampir apanya."

"Sudahku bilang, di dunia ini, semuanya bisa terjadi, apa saja. Memangnya kalian mengharapkan apa selain mahkluk mitos itu? Titan?"

Shotaro menggelengkan kepalanya dan beranjak lebih dulu untuk kembali makan. Yangyang menyusulnya dengan berceloteh tanpa landasan yang jelas. Aku sendiri berniat untuk menutup jendela, tetapi lebih dulu kulihat kembali hewan tadi. Namun—

Sret, sret!

Seseorang seolah menggantikan kehadiran kelelawar itu dengan pakaian gelapnya. Suara klakson dan keramaian kota malam hari menemaniku memperhatikan orang tersebut yang berjalan dengan langkah lusuh seperti tanpa arah.

Aku mengira dia membawa kelelawar tadi untuk dibuang, namun si hewan seperti lenyap tanpa jejak. Dan saat kualihkan pandanganku pada orang tadi, dia juga telah melihatku yang berdiri di lantai 10 ini. Aku tersentak, buru-buru menutup jendela untuk menghindari atmosfer yang menyeramkan dengan kembali ke tengah-tengah saudaraku.

Orang itu—sepertinya dia bukan orang biasa.


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now