3. pilihan dalam dunia

1.9K 531 22
                                    

Gitar klasik atau piano? Pilihan yang sangat berat bagiku. Mentor Moon memintaku untuk segera memilih, karena semua pelajar di dalam kelas Savior akan dibentuk menjadi sebuah band sementara. Ugh, tapi bagaimana caranya aku bisa memutuskan hal ini dalam kurun waktu kurang dari seminggu? Aku sangat suka keduanya!

"Noona, apa kau bisa membantuku? Ah Chenle jangan menggangguku, dasar gila."

Aku mengadahkan wajahku, menemukan Jisung yang tengah bergurau dengan Chenle. Mereka sepertinya sedang bertaruh tentang sesuatu. Ung—aku sedikit tidak yakin.

"Menurutmu aku lebih cocok dengan drum atau saxophone? Ah cepat Grace noona."

Jisung meminta manusia bimbang sepertiku untuk memilih.

"Kau lebih cocok memakan kukis dan susu cokelat buatan nenekmu dalam balutan pakaian tebal dan lembut, Park Jisung." Balas Chenle.

"Ya Zhongchen!"

"Noona—"

"Ya kau mengganggunya."

"Sebentar, sebentar." Pintaku mengisyaratkan mereka untuk berhenti sejenak. "Kenapa tidak kalian tanyakan pada mereka saja?" Ucapku seraya mengendikkan dagu pada manusia lain yang ada di dalam kelas ini.

"Apanya?"

"Tidak mungkin, mereka kurang peduli, mereka itu terlalu ambisius."

Alisku kembali bertautan. "Ambisius?"

Jisung menarik kursinya dan duduk di depanku, disusul Chenle yang memilih duduk di atas lantai tepat di sampingku. "Apa alasanmu masuk ke tempat ini?" Tanya Chenle.

"Karena—karena aku memang ingin melanjutkan pelajaran musikku."

"Apa prestasimu sebelumnya?"

"Tidak begitu menonjol, hanya ada di dalam lingkungan sekolah."

"Heol."

"Apa kau punya koneksi sehingga dapat diterima dalam kelas ini?"

Aku menggaruk pelipis karena ragu menjawabnya. "Tidak, tidak sama sekali. Kenapa? Aku rasa kursus dan kelas musik ini hanya tempat biasa."

"Wah, daebak. Ini bukan tempat biasa, Nona Osaki. Tidak sembarang orang bisa masuk kesini. Apalagi kau tidak melanjutkan kuliahmu, kan?"

Pertanyaan Chenle dan Jisung yang terus menyerbuku seolah menekan kepalaku. Apalagi mereka mengobrol dengan suara yang berbisik seperti tak ingin terdengar oleh yang lain, aneh bukan? Kukira tempat ini memang pure kursus musik biasa dan diperuntukkan untuk semua kalangan, tetapi pernyataan mereka selanjutnya cukup mengejutkanku.

"Sedikit informasi, tempat ini hanya menerima orang pintar dan berbakat serta mempunyai banyak koneksi. Apalagi kelas ini, kelas ini bukan kelas biasa. Kau sangat beruntung bisa ada di tempat ini dengan pemikiran dan kondisi seperti itu." Jelas Chenle.

Jisung lalu menunjuk Mark secara diam-diam. "Kau tahu? Dia masuk kesini karena sangat luar biasa dalam bermusik, juga karena keinginan orangtuanya. Dia terus dituntut untuk menjadi nomor satu, agak tertekan menjadi dia."

"Lalu Jaemin dan Jeno hyung, meski mereka bersaudara tapi mereka sebenarnya bersaing. Sudah terlihat dari wajah mereka, mereka orang kaya. Lalu Renjun, ah aku tidak tahu dia yang sebenarnya."

"Dia terlalu misterius untuk itu."

"Benarkah?"

"Dia terlalu hebat, hampir semua alat musik mampu ia mainkan secara sempurna. Suaranya terlalu bagus, anak pengusaha kaya, genius, tampan. Yang kurang dari dirinya adalah dia kurang berinteraksi, entah karena tidak ingin tersaingi atau—ah kami benar-benar tidak tahu tentang dia."

Oh, Privilege is still number one.

Kami hanya sedikit dan kami berada dalam ruangan yang sama, tapi rasanya seperti berada di ujung jalan tempat pembakaran sampah.

"Bagaimana dengan kalian?"

"Aku dan Chenle? Orangtua kami yang menginginkan kami masuk kesini. Tidak ada alasan yang berlebihan."

Dan mereka sudah pasti berada dalam keluarga yang terpandang, yang bisa melakukan segalanya. Yang tak beda jauh dari yang lainnya.

"Kau merasa baik-baik saja dengan kami?" Tanya Chenle.

"Ya, aku sudah terbiasa dengan laki-laki. Di rumah, aku satu-satunya perempuan dengan dua saudara laki-laki."

"Tidak, maksudku—"

Ucapan Chenle yang menggantung kembali menarik rasa penasaranku.

"Terkadang, kami harus melakukan apa saja untuk menjadi nomor satu."

"Apa—saja?"

"Sebenarnya belum dimulai, kelasnya baru saja melakukan pembelajaran untuk semester ini, tapi—"

"Kalian saja." Potong Park Jisung. "Aku tidak berselera untuk bersaing dengan orang hebat, aku tahu diri."

"Apa-apaan?"

Jika Jisung pun melakukan hal itu, maka aku sudah berada jauh di bawahnya. Aku masuk hanya untuk belajar, bukan bersaing. Lagi, aku tidak akan melakukan segalanya hanya untuk menjadi nomor satu. Biarkan saja orang-orang ini yang bersaing.

Kumainkan ujung kuku ibujariku dengan tenggelam dalam lamunan. Chenle dan Jisung mengobrol, tidak sadar akan diriku yang mulai tak fokus dengan percakapan kami. Baru di hari keempat, rasanya masuk ke dalam kelas ini adalah hal yang tidak tepat. Bagaimana bisa orang biasa sepertiku berada di tengah-tengah orang-orang seperti mereka?

"Sangat bahaya jika ternyata di dalam kelas ini ada vampir, hahaha."

Kepalaku reflek menoleh, mengamati ucapan Jisung yang baru saja menyebut vampir. "Maksudmu?"

"Kau tak tahu beritanya?"

Aku mengendikkan bahu.

"Sebuah penyakit, tidak—maksudku mahkluk vampir kembali muncul disini. Katanya mereka ada, namun kau tahu? Vampire nowadays, berbaur, bertingkah seperti manusia."

"Aku tak masalah, selama mereka tidak menyerang." Tambah Chenle.

"Sejak kapan mitos itu menjadi kenyataan?" Gumamku.

Chenle terkekeh. "Ayolah, apapun bisa terjadi di dunia ini, chill. Hehehe."

Jika memang ada, apa kelelawar pada malam itu bukanlah sembarang hewan? Lalu, siapa yang waktu itu memberiku buku catatan? Siapa orang yang aku lihat pada hari pertama yang menjadikan mereka terlihat bertujuh di mataku?

Tiba-tiba saja angin berhembus kencang membuatku menoleh, melihat sebuah jendela yang terbuka. Aku terus melihat ke belakang secara perlahan. Kemudian menemukan dua orang teman kelas yang secara bersamaan ikut menatapku.

Dunia macam apa ini?


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now