11. Posisi kejam

1.3K 447 42
                                    

Pukul 19:30, yang seharusnya diriku telah bersendau gurau bersama saudara di rumah, kini harus kuhabiskan untuk kembali menulis lirik dan membentuk file. Teman-teman yang lain sudah pulang, berbeda dengan diriku harus berkutat pada tugas ini.

Aku tak boleh menyerah, aku harus terus berjuang.

Aku bukannya ingin mengacaukan posisi Mark Lee yang mungkin akan bahagia saat tahu deritaku tentang ini, namun di sisi lain aku juga mempunyai keluarga yang menggantung harapan pada impianku. Aku tak boleh menyia-nyiakan waktuku.

15 menit setelah melirik jam dinding, aku telah menyelesaikan semuanya, sangat bersyukur. Namun ini sangat melelahkan meski hanya dituntut untuk mengerahkan pikiran. Tubuh dan otak, kuharap kerja sama kalian bisa lebih baik ke depannya.

Hal baiknya, lewat jendela gedung, kulihat malam ini jalanan cukup ramai bahkan di sekitarku. Orang-orang masih berlalu lalang, membuatku tak merasa begitu kesepian. Aku melangkah dengan kaki yang terus kupaksa untuk bergerak.


"Grace."


Aku terhenti, mendengar panggilan itu yang berasal dari belakangku. Saat menoleh, kutemukan Jaemin Abraham yang berdiri dengan senyuman tipis. Aku berhenti, seolah memintanya untuk segera menyusul posisiku. Kukira dia telah pulang, karena ini sudah beberapa jam dari berakhirnya waktu latihan.

"Kau belum pulang?" Tanyaku.

Rautnya berubah melelah. "Aku kehilangan sesuatu."

"Hm?"

"Ponselku."

"Astaga."

"Aku baru kembali lagi setelah menyadari ponselku tak ada di rumah. Jadi aku memutuskan untuk mencarinya juga disini. Ah, bagaimana bisa?"

"Apa perlu aku menemanimu mencarinya?"

Bibir bawahnya terdorong lebih maju sebelum berkata, "jika kau tak keberatan."

"Tentu. Kita akan memulainya darimana?"

"Sudah kucari di studio, dan aku rasa juga tak ada di kelas. Aku akan mengeceknya kembali di tempat cctv, kau bisa menemaniku kesana?"

Aku mengangguk setuju. "Itu tak masalah."

"Baiklah, ayo kesana sebelum malam semakin larut!"

Tanpa mengulur waktu lebih lama, kami mencari tempat dimana rekaman kamera pengintai tersimpan. Sesekali aku melirik Jaemin, melihatnya khawatir karena kehilangan benda canggih yang sangat penting. Aku tak berniat untuk banyak tanya, mengingat emosi seseorang sering kali tak stabil jika sedang ada masalah.

Kami memang tak sedekat teman pada biasanya, tapi sebagai orang yang sekelas dan tak mempunyai masalah dengan Jaemin, aku tergerak untuk membantunya. Apalagi beberapa waktu yang lalu ia datang untuk menjengukku di rumah dan berjanji akan menjadi teman yang baik.

Abraham bersaudara telah banyak membantuku.

Setibanya di ruang penyimpanan, seorang petugas menyambut kami cukup ramah dan mengarahkan kami menuju ruang utama. Disana ada petugas lain yang tengah berjaga, mempersilahkan kami memeriksa rekaman di area kelas Savior serta lantai kursus musik hari ini. Jaemin meminta rekamannya dipercepat, yang sesekali aku melihat ke arah lain. Agak membosankan, sejujurnya.


"Uh—"


Kutengok Jaemin yang menggumam, menggantungkan sesuatu dan membuatku penasaran. "Ada apa?"

"Apa yang dia lakukan di depan tempat sampah?"

Kulirik layar yang Jaemin maksud, menemukan kehadiran Jeno yang sedang berdiri tepat beberapa meter dari ruangan mentor. Waktu menunjukkan jam pulang dan hari dimana tugasku yang hilang itu dikumpulkan. Kuamati Jeno yang masih terdiam, dan tak lama kemudian tangannya membuka lembaran-lembaran kertas yang sudah berada dalam genggamannya sedaritadi.

Jantungku berdegup kencang, ditambah saat lelaki itu menarik selembar kertas dari tengah-tengah tumpukan.


"Ya, mentor. Dia bersamaku sebelum mengumpulkan kertasnya. Aku rasa ada di tengah-tengah tumpukan kertas."


Tanganku reflek menutup mulut, melihat Jeno membuang kertas yang tadi ia tarik lalu mendongak dengan tatapan dinginnya. Wajah yang biasa tersenyum ramah padaku, yang tadi memintamaaf padaku karena mengaku teledor, juga membelaku depan Mark Lee, berbanding terbalik dengan ekspresi seorang Jeno Abraham yang kulihat saat ini. Rasanya sesak. Dalam sehari, dalam sekejap aku dikhianati.

"Grace, ada apa?"

Berat untuk menjawab pertanyaan Jaemin. Berat bahkan jika sekadar melihatnya sebagai saudara Jeno.

"Kau sakit? Apa kau telah melihat sesuatu?"

Ya, sesuatu yang tidak seharusnya kuketahui. Seseorang yang kukira bisa menjadi tempatku untuk percaya. Beberapa jam yang lalu aku bahkan tak tahu, aku tengah berbicara dengan orang yang telah menusukku semudah itu.

Sometimes, the best villain are the ones you didn't expect.

"Jaemin."

"Ya?"

"Aku akan pulang sekarang."

"Uh? Tapi—"

Kuhentikan ucapannya karena tak lagi bisa menahan rasa yang semakin membuncah dalam diriku. "Maaf, aku harus pulang."

Aku bergegas keluar dari ruangan, menahan tangis dan lelahku sendirian. Tak ada yang lebih menyakitkan dari mempercayai seorang yang licik. Tak hanya Mark, nyatanya Jeno juga tak suka dengan kehadiranku.

Kalimat itu memang benar, aku tak boleh percaya dengan mudah pada siapa pun disini.

Halte akhirnya muncul dalam pandanganku, bersama dengan angin malam yang menghanyutkanku dalam kepedihan. Finalnya air mataku sudah tak terbendung, benar-benar terkejut dengan apa yang telah Jeno lakukan. Ia membuatku begitu terjatuh, begitu terpukul hanya karena masalah posisi. Singkatnya, Jeno Abraham tak jauh berbeda dari Mark Lee.

Kusandarkan kepalaku pada dinding kaca halte, meluncurkan semua pilu ini sendirian. Tidak lagi, aku mohon tidak lagi.


Apa bumi memang sedang bercanda padaku?


"Bukan bumi yang menindasmu, namun hanya sebagian kecil dari isinya."

Suara hangat seorang Huang Renjun yang selalu bersikap dingin, terdengar beberapa jarak dari tempatku yang sedang menangis.

"Aku tak tahu semua kebenaran yang tengah terjadi. Yang aku tahu hanya terus melangkah, menikmatinya, untuk melewati segala kekejaman itu."

Ia menoleh, mempertemukan pandangan kami.

"Bagaimana denganmu? Apa hidupmu sudah memperlihatkan kebenaran?"


To be continue

[II] THE CLASS OF EVIL ✓Where stories live. Discover now